Chapter 6

2.6K 263 8
                                    

Gue terbangun saat gue samar-samar mendengar seseorang memanggil nama Tine. Dengan terpaksa, gue membuka kelopak mata gue yang terasa berat ini. Gue menyentuh pelan kepala gue yang masih terasa sakit di bagian belakang dan sesekali gue meringgis kesakitan karenanya. Dengan keadaan yang masih lemah, gue terpaksa membangkitkan tubuh gue buat duduk. Gue menolehkan kepala gue ke sekeliling ruangan dan mendapati gue berada di UKS. Bu perawat segera menghampiri gue saat tau gue udah sadar, dia mengecek suhu tubuh gue dengan alat termometer yang ada di tangannya. Setelah melakukan apa yang dia mau, dia mengambil beberapa pil obat untuk gue minum nantinya. Dia juga memberikan gue bubur ayam untuk gue makan sebelum meminum obat. Dan gue baru inget kalo gue belum makan dari pagi.

Type tersenyum ke arah gue saat dia tau gue sudah siuman. Wajahnya terlihat kusam dan kotor karena perkelahian tadi, gue merasa sangat berhutang budi padanya, beruntung banget gue punya sahabat seperti Type ini, dia selalu menjadi yang terdepan saat orang lain menyerang gue dengan kata-kata yang menyakitkan atau serangan fisik. Dia orangnya pemberani, dan selalu emosi setiap saat. Lo bakal liat dia selalu memasang tatapan ingin membunuh jika lo tidak terlalu kenal dengan Type. Tapi di sisi lain, dia adalah orang yang benar-benar peduli terhadap seseorang, apalagi seseorang tersebut adalah orang yang penting baginya, dia pasti akan selalu melindungi orang tersebut.

Hati gue meringgis melihat kondisi Type yang seperti itu, kali ini wajahnya benar-benar mengharukan untuk diliat, dia tersenyum tulus ke gue membuat gue jadi merasa gak enak dan seperti merepotkan?

"Lo gapapa kan, Tine? Gue bener-bener khawatir dengan kondisi tubuh lo setelah apa yang brengsek itu lakukan tadi" tanya Type panjang lebar. Dia mengambil posisi untuk duduk di sebelah gue.

"Gue selalu baik-baik aja, Type. Gak perlu terlalu khawatirin gue, khawatirin diri lo sendiri. Sejujurnya, gue merasa sakit saat dia nendang bagian vital lo tadi. Gue marah, gue pingin melampiaskan amarah gue dengan menonjok wajahnya juga, tapi apa daya, gue gak sanggup buat ngelakuin itu-" jelas gue padanya. Gue menghentikan ucapan gue sejenak lalu mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan jiwa gue yang tergoncang.

"-gue minta maaf, Type. Gue gak bisa ngelakuin apa-apa saat mereka menginjak-injak harga diri lo di depan anak sekolahan. Yang bisa gue lakuin cuman memperkeruh suasana dan membuat lo kacau sekarang. Maafin gue, Type!" gue melanjutkan ucapan gue yang terpotong dengan sendu. Sebisa mungkin gue menahan air mata yang sudah mengembun di pelupuk mata gue.

"Gak perlu minta maaf, Tine. Gue memang gak suka sama mereka, gak ada alasan buat gue untuk enggak nonjok wajah brengseknya yang sok kegantengan itu" Type menarik satu tarikan kecil di bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman. Dia tersenyum dan sesekali tertawa.

"Ah, ini makan dulu bubur lo terus minum obat yang udah bu UKS kasih! Apa perlu gue suapin? tapi pake kaki" katanya gurau. Gue tertawa mendengar ocehannya yang receh tersebut

"Gaklah, gue bisa sendiri"

Segera gue raih mangkok yang berisi bubur ayam di sebelah ranjang. Gue meraihnya dengan hati-hati karena buburnya masih panas. Makanan ini cocok buat gue yang lagi males ngunyah makanan, jadi gue bisa langsung nelen tanpa harus repot-repot ngunyah. Setelah beberapa menit gue makan, akhirnya bubur yang ada di tangan gue ludes karena gue bener-bener laper sekarang. Gue meletakkan mangkok itu ke atas meja di dekat ranjang. Type menyodorkan pil obat yang udah Bu Perawat kasih tadi, gue mengambil obat tersebut lalu segera meminumnya. Bu Perawat sama sekali gak peduli tentang kenapa gue dan Type bisa dalam kondisi buruk seperti tadi, yang dia peduliin hanya ngobatin kami yang terluka dan bukan untuk ngepoin tentang alasan kenapa kami bisa terluka. Sadis emang, tapi yasudahlah.

Selesai dengan itu semua, Type pamit ke gue buat masuk ke kelas. Gue ingin ikut ke kelas juga namun dia melarang gue buat ikut ke kelas, Type takut gue akan pingsan lagi di kelas dan itu sangat merepotkan dia. Terpaksa gue hanya bisa menurut perkataan sahabat gue yang satu ini. Dia sudah menghilang dari ruangan UKS setelah melewati pintu keluar yang ada di sana.

Namun seseorang kembali masuk ke ruang UKS. Awalnya gue kira itu Type, tapi ternyata dia adalah seorang cowok yang gue tau adalah adik kelas, adik dari Sarawat lebih tepatnya.

"Kak Tine, tolong maafin perlakuan kakak gue, Sarawat. Dia bener-bener hilang akal karena baru putus dengan pacarnya!" ucap Phukong tiba-tiba ke arah gue. Gue gak tau apa yang dia lakuin sekarang, dia bahkan membungkukkan tubuhnya sambil memohon maaf.

"Apa yang lo lakuin di sini?" tanya gue keheranan melihat aksi yang dibuatnya. Dia menaikkan kepalanya yang semula menunduk, mata kami saling bertemu satu sama lain.

"Gue sebagai adik dari Kak Sarawat memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Kak Tine. Gue tau yang dia lakuin bener-bener keterlaluan sampe nyelakain Kak Tine, tapi dia sebenernya baik kok. Dia cuman lagi ada problem aja sama idupnya. Gue mohon, Kak, jangan aduin hal ini ke guru atau siapapun yang bisa membuat kakak gue lebih buruk lagi!" pintanya lagi kepada gue. Dia membungkukkan tubuhnya lagi namun kali ini tubuhnya semakin ke bawah. Gue masih bingung dengan apa yang akan gue lakuin kedepannya, apa gue harus memaafkan Sarawat atau membiarkannya seperti angin lalu dan ngejalanin kehidupan gue seperti biasanya. Tapi dia gak bakalan ngebiarin gue hidup tenang, karena pada awalnya dialah dalang dari semua nasib buruk yang menimpa gue.

"Hey, angkat tubuh lo!" perintah gue ke dirinya. Dia menegakkan kembali tubuhnya.

"Gue gak bakalan ngelakuin apa-apa ke kakak lo. Bukannya dia sendiri yang mencari masalah dengan orang lain? Dan lagian harusnya lo yang ngomong gitu ke kakak lo. Jangan buat seseorang terlihat lebih buruk lagi daripada sebelumnya. Idup gue udah ancur karena gosip itu, jadi jangan repot-repot buat ngancurin idup gue lagi!" final gue dengan mantap. Gue menjelaskan apa yang gue rasa selama ini ke Phukong walau tidak semua. Gue menjelaskan seperti ini agar Phukong tau bahwa orang yang pertama kali harus disalahkan adalah Sarawat, bukan gue ataupun orang lain.

Setelah mendengar penjelasan gue barusan, Phukong hanya menampilkan wajah bersalah dan mengangguk pelan. Dia memberikan salamnya ke gue lalu berjalan menjauh dari ruang UKS.

________________________________

________________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
VACHIRAWIT - BRIGHTWINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang