SATU (Harapan!)

600 278 529
                                    

Sejatinya dunia adalah tempat pelarian yang terbatas.



Seorang pria bertubuh jangkung mengenakan kaos oblong bewarna hitam serta celana pendek selutut dengan warna yang sama.

Kaki panjangnya melangkah dengan gontai melewati dua kamar yang masih tertutup. Kamar saudara nya yang kemungkinan masih tertidur lelap.

Setelah tiba ditujuannya, tangan lentiknya meraih gelas, menuangkan air disana, lalu meminumnya.

Pria itu terdiam setelah meneguk secangkir air putih, lalu menaruh gelasnya di meja makan, kemudian menghirup dalam-dalam udara pagi hari.

Pria bersuari legam itu kemudian melangkahkan lagi kakinya menuju pintu utama rumahnya, lalu membukanya lebar-lebar. Seketika semilir angin pagi penerpa wajah sendunya.

Udara pagi hari memang sangat menyejukkan dan mampu menenangkan hati.

"Lintang, kamu sudah bangun Nak." terdengar suara perempuan yang lembut, sedang berjalan ke arah Lintang.

"Kamu, udah mandi yaa?." ucap mama lintang sembari mengelus rambut anaknya.

Mengangguk, "Iya... Ma." balasnya sembari tersenyum simpul.

Senyum yang terlihat begitu pilu, senyum kaku yang mampu menutupi sendu hatinya.

Pria itu selalu saja teringat akan kenangan manis bersama mamanya jikalau ia membuka pintu di pagi hari.

"Aku Kangen Ma." lirih Lintang sembari menengadah, menatap langit-langit teras, berusaha menahan air bening yang menggumpal di ujung matanya.

Perlahan-lahan matahari mulai menampakkan diri dari sela-sela ranting pohon dan dedaunan, bersinar terang menerpa wajah pria di hadapannya.

Pria itu mengernyit, kemudian bergegas meninggalkan tempatnya berdiri.

Baginya matahari terlalu terang untuknya, ia lebih menyukai bulan. Walau Cahaya bulan tak secerah mentari, tapi bulan mampu menyejukkan hati jika dipandang.

Ketika ia menuju kamarnya dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah, mendadak abangnya menghadang langkahnya.

Ia tersentak, kemudian berpikir apakah abangya sedari tadi memperhatikan dirinya?.

"Dari mana, Lin?" Sapa Bagas ke Lintang.

"Dari depan doang bang." balasnya

Mengangguk, "Wulan sudah bagun belum?."

"Kayaknya belum." melirik pintu kamar Wulan.

"Bangunin dia gih." mengendikkan dagunya ke pintu kamar Wulan.

Mengernyit, "Idih, ogah banget ntar juga bangun sendiri." masuk ke kamarnya meninggalkan Bagas.

"Abang tunggu di meja makan ya!" teriaknya kencang.

Bagas Permadi, abang Lintang yang cukup populer di kampusnya, tapi biasa saja di mata kedua adiknya, sedang melangkah menuju meja makan.

Abang yang sangat menyayangi kedua adiknya, baginya adik-adiknya adalah sumber kebahagiannya setelah mamanya pergi.

Setibanya di meja makan, ia menarik kursi kemudian duduk menuggu kedatangan Lintang, Wulan serta papanya.

Ia menaikan kedua alisnya, ah di meja itu sama sekali tidak ada makanan, dengan terpaksa ia harus menyiapkan semuanya.

Cukup aneh rasanya, karena biasanya di meja makan itu kalau pagi seperti ini, sudah penuh dengan berbagai makanan yang telah disiapkan oleh mamanya. Tapi... kini tidak lagi.

CANDALA [Lebih Dari Sekadar Minder]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang