24. Kedatangan Paling Mencengangkan

224 71 16
                                    

Berlin
Satu bulan kemudian

Hiruk pikuk kelab malam di pinggiran kota menggetarkan gendang telinga. Seorang pria tersenyum penuh arti sambil menyangga diri di meja bartender. Dia bukan sedang ingin menari-nari untuk membakar kalori dengan cara yang menyenangkan. Bukan sedang ingin berkelahi menunjukkan eksistensi. Tidak satu pun dari hal apa pun yang umum dilakukan di kelab. Bunyi musik yang menggelegar bukanlah alasan senyumnya. Apalagi para wanita liar yang memandangnya seduktif. Pria itu bukan di sana untuk alasan pesta pora, menggoda wanita, atau bahkan menyeret mereka ke ranjang. Bukan, bukan sama sekali.

Hingga matanya menangkap sebuah siluet gadis yang begitu cantik, bermandikan sorot lampu aneka warna. Literally, gadis yang ia tahu akan datang malam ini. Pria itu sudah lebih dulu menyeringai iblis sebelum mengubah ekspresinya menjadi begitu terpukul. Tapi demikianlah keadaan jiwanya saat ini. Begitu terpukul.

Gadis itu akhirnya juga sadar kalau pria itu ada di tempat yang sama tepat ketika sang pria berpaling. Saat ini, si pria sedang duduk menunduk, seperti  mabuk. Perempuan itu memang tidak menyangka akan kebetulan itu, tapi rasa senangnya jauh lebih besar karena selama ini dia sudah menantikan kehadiran pria itu.

Tanpa pikir panjang, dia langsung saja bergabung dengannya di meja kelab. "Harvleon," tegurnya dengan nada prihatin.

Pria itu menoleh dengan ekspresi nanar. Begitu mudahnya meyakinkan kalau suasana hatinya masih diselubungi badai. Seakan dia masih meringkuk di titik terendah kehidupannya.

"Oh, hai, Belle." Ia bahkan menambahkan kondisi bersendawa seolah-olah alkohol sudah sukses melayangkan akal sehatnya. "Selamat tahun baru," kata Harvleon masih pura-pura meracau. "Well, aku tahu ini terlambat."

Belle tersenyum. Terlepas dari kenyataan pria itu mabuk, Belle tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu. Jauh dari sikap dingin yang sudah sekian lama ia dapatkan. Hatinya menghangat dengan asumsi publik bahwa alkohol menjadikan orang-orang mengatakan kebenaran, atau bertingkah tanpa kebohongan.

"Selamat tahun baru juga, Harv. Oh God, kau tampak kacau sekali." Belle mencondongkan tubuh untuk melihat wajah Harvleon yang sedikit menunduk. Ia bergumam lalu berkata, "Aku tahu kau tidak menyukaiku. Tapi untuk kali ini, terlepas hubungan pribadi kita baik atau tidak, mungkin kita bisa kembali seperti masa kecil kita dulu. Aku mendengarnya, Harv. Aku turut sedih."

Harvleon menenggak langsung botol anggurnya. Di luar pengetahuan Belle, dia sebenarnya muak dengan kata-katanya barusan yang tentu saja adalah omong kosong. Imitasi keprihatinan yang bagus. Tapi Harvleon tetap berterima kasih pada Belle Morgan, sama-sama palsunya.

Cukup lama diam, Harvleon mencoba basa-basi. "Kau masih di sini rupanya, ya?"

Apa itu pertanyaan tentang rencanaku atau sebuah pengusiran? Belle terpaku beberapa saat. Sebenarnya, ia tak ingin menjawabnya. Dan untuk menggantikan itu, ia ingin memeluk Harvleon, erat dan lama. Kemudian ingin berbisik meminta Harvleon membawanya pergi—jauh dari Berlin. Belle akan mencurahkan segalanya, masalahnya, ketidaksenangan hatinya. Ini akan begitu, jika belasan tahun yang lalu.

"Aku di sini sampai winter berakhir," gadis itu berkilah. "Kontrakku sudah berakhir pada Desember, tapi Jerman terdengar seperti liburan yang menarik. Aku akan ke California setelah ini."

"Aku tidak peduli."

Belle tersenyum. Hilang sudah sedikit kecurigaan yang sempat muncul tadi. Harvleon baginya adalah Harvleon yang dingin dan ketus. Dan ia masih begitu. Gamblang, sekalipun menyakitkan. Tapi artinya ia jujur bukan? Dan sedikit keramahannya barusan juga jujur bukan?

"Aku mengerti," balas Belle. "Kau menemukan potensi bisnis baru di Jerman atau apa?"

"Jerman dan dia," ujar Harvleon sekenanya. Tapi itu kenyataan, Jerman selalu mengingatkan tentang pujaan hatinya.

Memories and Salvation ✓Where stories live. Discover now