21. Kisah :: 31 Desember 2012

43 1 0
                                    

Jangan lupa vomments :)

Selamat membaca

Lamongan, 31 Desember 2012 pukul 17.03 WIB

Penderitaan ibuku, adikku, dan aku tidak lantas berakhir sampai di mana ibu bercerai dengan ayah. Selama lebih dari satu tahun ini, mungkin kami masih bisa hidup tenang. Bahkan kami bisa merayakan hari lahir adikku secara kecil-kecilan bersama keluarga kami. Tentu saja, di mana aku dipandang remeh, tidak termasuk hitungan. Aku sudah mulai terbiasa dengan tatapan-tatapan aneh dari orang-orang sekitar. Meski terkadang ibu menatapku tak tega, aku hanya bisa tersenyum, menandakan jika aku baik-baik saja.

Aku tidak peduli orang lain mau menganggapku bagaimana. Yang jelas, keluarga inilah yang paling mengerti dan percaya padaku. Itu saja sudah cukup untuk menguatkanku.

Ketenangan itu benar-benar terasa sampai ketika ayah datang dengan mengendarai sebuah mobil berwarna putih. Aku tidak tahu ayah dapat dari mana mobil itu. Mungkin punyanya sendiri, meminjam teman atau tetangga, aku tidak terlalu peduli.

Tanpa berbasa-basi atau menjelaskan maksud dari kedatangannya, ayah mendekati ibu yang saat itu tengah duduk di teras bersamaku dan emak yang sedang menemani adikku bermain. Dengan cepat, ia menggendong adikku, mengabaikan sikap shock ibu.

"Kamu mau apa?" Ibu bertanya sembari berusaha mengambil alih adikku, Damar.

Damar yang saat itu masih terlalu kecil untuk memahami situasi hanya bisa menangis kencang.

"Ini anakku. Kamu nggak berhak untuk memisahkanku dengan dia," jawab ayah.

"Kamu nggak malu berkata seperti itu setelah membuang kami?"

Ayah tersenyum sinis. "Aku hanya membuang yang tidak perlu. Anak ini tidak termasuk hitungan."

Karena kejadiannya di teras rumah, beberapa tetangga pun bisa menyaksikannya. Seolah menonton sinetron versi nyata. Salah seorang kerabatku yang biasa kupanggil pakde datang. Maklum, rumahnya berada tepat di depan rumahku.

Ia merebut Damar dari gendongan ayah lalu menyerahkannya pada ibu. Pakde kemudian mendorong ayah hingga ayah tersungkur.

"Kamu nggak punya muka? Atau urat malu kamu putus sehingga berani buat nginjakin kaki di sini?" Pakde bertanya.

Ayah menjawab, "Dia anak saya. Saya berhak untuk datang."

"Hei, ayah mana yang nggak datang di saat anaknya lahir? Ayah mana yang tega anaknya tumbuh semakin besar tanpa makan nafkah dari ayahnya?" Pakde berkacak pinggang. "Pergi kamu dari sini atau saya panggil polisi?"

Ayah menggertakkan gigi. Berdiri mematung sebentar kemudian pergi bersama mobilnya yang semakin tak terlihat. Ibu memelukku erat sambil mengajakku masuk ke dalam rumah. Detik itu juga aku mendengar suara tangis emak, ibu dan adikku menyatu dengan berbagai macam pemikiran di kepalaku yang tak mampu aku suarakan.

Tbc

3 Agustus 2020
Tertanda,

Erina Putri

Akan Kuceritakan Semua Tentangku [COMPLETED]Where stories live. Discover now