Chapter 6

4.9K 245 3
                                    

Dante berjalan menuju apartemennya. Ia membuka pintu dan ia langsung disambut oleh kegelapan yang mencekam. Hal yang sama selalu terjadi setiap hari. Tidak banyak yang berubah dari masa lalu. Walaupun kini ia sudah berada di Amerika. Kegelapan itu tetap mengikutinya di mana saja ia berada. Ia berjalan masuk dan menyalakan lampu, di hadapannya hanyalah beberapa peralatan dan perabotan kosong yang menatapnya kembali. Tidak ada kehangatan sama sekali disana. Yang ada hanyalah kesunyian dan udara dingin yang menusuk kulitnya. Ia berjalan masuk, meletakan jaketnya di rak dan masuk ke kamarnya, ia melihat ruangan yang berwarna abu – abu. Mulai dari dinding, lantai dan tempat tidurnya, semuanya dihiasi dengan berbagai macam warna abu – abu. Ia sendiri tidak tahu apa yang ia pikirkan ketika ia memilih warna – warna itu sebagai warna rumahnya namun warna gelap tersebut hanya membuat kamarnya terlihat lebih gloomy.

Ia membuka pakaiannya, membiarkan tubuhnya terekspos ke udara. Bertahun – tahun dirinya berolahraga membuat tubuhnya menjadi semakin dan semakin kekar dari hari ke hari. Ia tidak pernah punya maksud untuk membentuk tubuhnya seperti itu, hal itu terjadi begitu saja. Ia memang suka olahraga, baginya olahraga adalah salah satu caranya melepaskan semua tekanan yang ada di hidupnya, saat olahraga lah ia bisa mengeluarkan semua emosinya. Dalam hidupnya ia hanya pandai dua hal. Yang pertama adalah soal keuangan yang kedua adalah olahraga, sisanya ia payah, terutama dalam masalah wanita.

Seumur hidupnya ia jarang sekali bergaul dengan wanita karena dulu sewaktu masih kecil ia adalah seorang anak yang pemalu. Ia masih ingat ketika ia masih berusia enam atau tujuh tahun, ia sedang mengamati beberapa anak perempuan yang sedang bermain di halaman sekolahnya saat istirahat. Dia tidak dibesarkan di kota besar seperti New York, dulu sekolahnya masih terbilang tradisional, sehingga umumnya anak laki – laki bermain dengan anak laki – laki, sementara anak perempuan bermain dengan perempuan. Sewaktu kecil, Dante tidak terlalu pandai bergaul, sehingga anak laki – laki lainnya tidak suka bermain dengannya, ia disudutkan sehingga ia biasanya sendirian. Namun ada yang berbeda hari itu, ia tidak ingin merasa terlalu kesepian, jadi ia menghampiri beberapa anak perempuan dan menanyakan ke mereka apakah ia boleh ikut main.

Anak – anak memiliki kecenderungan untuk terlalu jujur, mereka menengok dan memandang Dante yang saat itu menunduk tersipu malu karena ketidakpercayaan nya bahwa ia baru sanga mengajak mereka bermain. Salah satu dari perempuan itu, gadis kecil berambut coklat muda tiba – tiba berdiri dan mendorongnya hingga ia jatuh ke tanah. Gadis kecil itu menunjukan jari telunjuknya kepada Dante dan berteriak hingga semua orang mendengarnya, katanya.

"Jangan dekat – dekat, kau ini jelek. Dasar anak kurus jelek. Pergi sana! Kami tidak ingin kau berada di sini." Dante tidak menyangka ia akan mendengar kata – kata seperti itu keluar dari mulut gadis kecil berwajah manis itu. Ia langsung berdiri dan lari meninggalkan taman tersebut, ke belakang bangunan dimana tidak ada yang bisa melihatnya. Di sana ada sebuah panel kaca yang sudah dibuang, namun masih diletakkan di tanah sebelum tukang sampah mengambilnya, Dante dapat melihat pantulan dirinya sendiri di kaca, air matanya mulai berlinang ketika ia memandangi penampilannya sendiri.

Saat itu ia memang kurus dan kecil, lebih kecil dari anak laki – laki lain seumurannya, ia juga tidak menarik sama sekali, selama ini ia tidak tahu apakah wajahnya bisa dikatakan tampan atau tidak, tetapi ia tidak pernah mendengar siapapun mengatakan bahwa ia jelek sebelum hari itu. Ia memandangi dirinya sendiri dan bertanya – tanya apakah yang dikatakan oleh gadis kecil itu adalah hal yang sebenarnya. Kemudian ia mulai bertanya – tanya lagi apakah orang lain juga memandangnya seperti itu. Ia tidak mengerti apa yang salah dalam dirinya. Hari itu ia tidak kembali ke kelas. Seharian ia duduk di belakang gedung hingga akhirnya ada salah satu petugas yang menemukannya dan membawanya kembali ke gedung.

Ketika ia sudah sampai, ia melihat ayahnya berada di sana, wajahnya terlihat sangat marah, ketika salah seorang gurunya menyerahkannya kepada pria itu, ia mengucapkan terima kasih lalu langsung membawanya masuk ke dalam mobil dengan wajah kesal. Tentu saja, seorang pengusaha kaya yang sibuk seperti dirinya sedang disusahkan oleh putranya yang membuat ulah di sekolah. Ya, memag secara teknis ia tidak melakukan kesalahan apapun, namun karena ia belum pulang hingga sore, akhirnya ia harus dicari juga.

"Lihat saja nanti ketika kita sampai rumah." Kata pria itu dengan nada rendah.

Dante membuka matanya dan membersihkan wajahnya dengan air. Ia benci ketika tiba – tiba ia mengalami nostalgia tentang masa kecilnya. Memori semacam itu sudah ia kubur dalam dalam. Namun sesekali ketika ia sedang sendirian, memori itu kembali menghantuinya. Ia benci perasaan seperti itu. Makanya kebanyakan ia tidak memikirkannya, karena ketika ia memikirkannya, ia merasa dirinya menjadi semakin gila dan ia tidak membutuhkan hal itu.

Ia keluar dari bathub dan berjalan menuju kamarnya, ia mengganti pakaiannya dengan sesuatu yang lebih nyaman dan berjalan menuju tempat tidurnya. Ia sudah cukup merasakan kerja hari itu. Yang ia inginkan hanyalah istirahat. Ia ingin istirahat. Ia sudah lelah. Ia memejamkan matanya sambil berbaring di ranjang, berusaha menghilangkan pikiran tentang masa lalunya. Ia tahu ketika hal ini terjadi, ia harus mengalihkan pikirannya untuk mengingat sesuatu yang lain.

Tiba – tiba yang pertama muncul di benaknya adalah wajah Eve, ia membayangkan wajah wanita itu sedang tersenyum kepadanya. Ia membayangkan rambut pirang wanita itu digerai, mata birunya, serta senyuman dari bibirnya yang manis dang menggoda. Melihat bayangan Eve langsung menghilangkan semua pikiran negative yang tadi muncul, tanpa disadari, Dante tiba – tiba tersenyum sendiri seperti orang gila. Dalam keadaan matanya masih ditutup ia mengulurkan tangannya ke langit – langit untuk menyentuh wajah Eve yang ia lihat dalam bayangannya. Seketika ia menjadi tenang. Wajah Eve memberikan kedamaian dalam hatinya.

Namun tiba – tiba realita bahwa Eve sudah resign dari kantornya pun muncul di benaknya. Ya, ia ingat semuanya. Tiba – tiba semuanya ini menjadi sangat nyata. Eve sudah bukan sekretarisnya lagi. Dia sudah mengundurkan diri. Kenyataan ini membuat hatinya sakit, ia tidak mau kehilangan Eve. Ya, memang ia baru mengenal Eve, namun Eve memberikannya ketenangan. Ketika ia bersama Eve, ia merasa seperti manusia, wanita itu menyenangkan. Ia sangat menyukainya, walaupun caranya salah.

Dalam kesunyian, ia memutuskan bahwa ia akan mendapatkan Eve kembali bagaimanapun caranya. Ia ingin wanita itu. Ia hanya ingin Eve. Sebuah perasaan gelap muncul di dalam hatinya. Ia ingin Eve. Eve adalah miliknya. Tidak boleh ada yang lain. Eve tidak boleh pergi. Eve harus tetap disampingnya.

Akhirnya ia memutuskan untuk membuka laptopnya dan mulai menggali semua informasi yang ia miliki mengenai Eve. Dante melakukan ini sambil memandangi foto Eve yang ia dapatkan dari kantor, yang sudah ia potong dan ia pajang dengan rapi menggunakan bingkai, kemudian ia letakkan di samping mejanya sebagai pengingat.

Eve hanyalah milikku. Tidak ada yang boleh mendapatkannya selain aku.

Sebentar lagi, ia akan bertemu kembali dengan Eve, namun Dante tidak akan menyukai apa yang ia lihat nanti.

The Devil ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang