03. Perjalanan

100 23 0
                                    

Musim dingin ini rasanya jauh lebih dingin dari yang lalu.

Entahlah karena faktor kesendirianku tahun ini yang biasanya selalu ditemani oleh Laura, mantan pacarku, di setiap musimnya. Menyadari bahwa gadis itu pergi, membuatku tiba-tiba merasa jauh lebih dingin lagi. Mantel ini seperti tidak ada guna.

Aku memasuki café tempatku bekerja. Kulihat Jinhyuk sudah tersenyum lebar ketika melihatku melewati pintu. Seakan-akan ia sadar bahwa sebentar lagi ia akan terbebas dari neraka yang malah terasa seperti surga bagiku.

Tapi mengingat sifatnya yang sangat hiperaktif, tempat yang super tenang seperti ini tentu saja bukan habitat aslinya. Entah apa yang masih membuatnya bertahan.

"Kenapa lama sekali? Hari ini aku sendirian, sial."

Aku yang memasuki pantry sambil memasang celemek langsung memandangnya, "Yeseul kemana?"

"Dia sakit. Sepertinya sempat terkena hujan salju ketika pulang."

"Oh, begitu."

Dia kali ini mendekatiku yang sedang mencuci beberapa peralatan yang ada di wastafel. Kebiasaan Jinhyuk yang selalu kuselesaikan setiap saat kami berganti sif, "Hanya Oh saja? Apa kau tidak mau menanyakan bagaimana kabarku hari ini?"

"Kau terlihat baik, Jinhyuk."

"Apa salahnya kau menanyakannya padaku? Bisa saja aku merasakan hal yang berbeda kan?"

Aku tiba-tiba saja ingin merutuki diri sendiri. Entah apa yang membuatmu bertahan berteman dengan orang ini sejak SMA.

Kumatikan keran dan kuusap tanganku yang masih basah pada kain yang ada di dekat wastafel. Kutatap sebentar Jinyuk lalu seketika ia sadar bahwa aku sedang tidak berminat pada kelakuan konyolnya hari ini.

"Biasakan buat mulutmu itu berguna sialan. Jangan hanya menatap begitu." Ujarnya sambil melepaskan celemek, "Ya sudah, aku duluan. Jangan lupa bersihkan pembuangan di belakang sebelum kau pulang."

Dia selalu berkata untuk menggunakan mulutku, tapi ketika kulakukan, Jinhyuk akan jauh lebih cerewet lagi karena ia merasa punya tanggung jawab untuk membuatku merasa baik-baik saja.

Padahal bukan itu mauku.

Bekerja di café ini adalah salah satu hal yang paling kusyukuri di muka bumi. Apalagi karena manager café ini sering memperbolehkanku mengambil sif akhir dimana sif ini memang hanya dilakukan oleh satu pegawai laki-laki karena bukan termasuk jam sibuk dan harus menutup café.

Café ini sangat tenang, tidak seperti café tengah kota yang lainnya. Membuatku bisa sambil mengerjakan tugas kuliah dan menikmati coklat panas. Karena itulah aku merasa sangat bisa mendapat tempat di café ini.

Tak lama setelah Jinhyuk pergi, dari sekian banyak kursi, hanya ada dua tempat yang terisi. Mungkin karena di luar juga sedang bersalju, jadi tidak banyak orang yang mau keluar rumah dan menikmati waktu di café seperti ini.

Kuputuskan untuk mengeluarkan beberapa buku tugasku dan mulai mengerjakannya. Semua tugas-tugas ini benar-benar terbengkalai karena selama dua minggu aku tidak bisa berhenti memikirkan kepergian Laura.

Dimana salahku? Apa kurangku? Apa kelebihan orang itu sampai Laura benar-benar tega membuang kenangan kami selama enam tahun begitu saja?

Tidak mungkin aku bisa melanjutkan hidupku tanpa melalui fase mengerikan ini kan?

Bukan, bukan fase dimana aku harus merelakannya pergi. Melainkan fase dimana aku harus melupakan fakta bahwa kota ini dipenuhi oleh kenanganku bersamanya. Aku harus terbiasa untuk tidak tersenyum lagi ketika mengingat bahwa aku pernah melalui jalan-jalan kota ini bersama mantan kekasihku.

Aku merasa kosong dan tidak tahu arah.

Setidaknya itu yang kupikirkan sampai seorang gadis memasuki café tanpa mantel, tanpa syal dan tanpa penutup telinga lalu dengan keras berteriak, "TOLONG AKU."

__________

"Dimana rumahmu?"

"Untuk apa aku memberitahumu? Itu privasiku."

Kuhembuskan napasku keras-keras, memang sengaja agar gadis ini bisa mendengar bahwa aku sudah lelah menghadapi tingkah konyolnya selama dua jam ini.

Ketika ia berteriak minta tolong, kukira akan ada adegan dimana aku akan menjadi pahlawan yang menolongnya dari pencuri atau penculik. Atau setidaknya akan ada bagian dimana ilmu taekwondoku akan berguna untuk menyelesaikan masalahnya.

Tapi nyatanya gadis ini hanya kedinginan dan meminta coklat panas. Ia berjanji akan mengganti semua biayanya ketika di kampus nanti.

Awalnya aku tidak sadar, tapi setelah diperhatikan lagi, ternyata gadis ini Ha Seojung, anak konglomerat pengagum seni Korea Selatan, sekaligus anak dari pemilik sekolah seni tempat aku berkuliah sekarang.

Bertemu anak problematik ini sebanyak dua kali dalam sehari rasanya bukan suatu keberuntungan bagiku.

Di luar sedang turun salju. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya ketika keluar tanpa menggunakan kain untuk mehangatkan tubuh selain sweaternya yang tidak berguna itu. Ditambah tanpa uang sepeser pun dan ponsel.

Tapi aku bisa merasakan kalau sebentar lagi aku akan kerepotan luar biasa. Ini adalah perasaan yang sama ketika Jinhyuk putus cinta dan ia menggedor-gedor pintu apartemenku semalaman. Aku tak akan lupa rasanya ketika akhirnya ia kubiarkan masuk dan berujung semua stock ramenku habis karenanya.

Sambil merapikan meja yang baru saja ditinggalkan pengunjung, aku terus berdoa agar jangan sampai itu terjadi. Kalaupun akan terjadi, aku mohon jangan saat ini.

Waktunya sangat tidak pas dan aku sedang tidak ingin diganggu siapapun.

Walaupun tubuhnya sudah tidak sebergetar tadi, tapi bisa kulihat kaki Seojung masih bergerak aktif. Mencoba mencari kehangatan melalui udara di sekitar sini.

Apa pemanasnya mulai berulah lagi, ya? Gumamku dalam hati.

Namun bukannya memeriksakan keadaan pemanas tersebut, kakiku malah melangkah menuju ruang staff dan mengambil mantelku sendiri lalu meletakan benda tersebut di hadapannya.

"Pakai ini."

Ia sempat menoleh padaku setelah melihat benda tersebut, "Terus kau pakai apa?"

"Bukan urusanmu."

Aku mengutuki diriku sendiri, lagi, entah untuk yang keberapa kalinya hari ini.

Mulai sejak aku tidak menyadari bahwa Seojung memergokiku di ruang musik, sampai diriku yang bersikap sok baik memberikan mantelku padanya.

Apa yang kau pikirkan Kei ...

"Tunggu, Kei." Tanganku ditahan olehnya, setidaknya kali ini lebih terasa hangat karena sejak tadi ia memegang gelas coklat panasnya.

Kedua alisku bertaut, "Ada apa lagi?"

"Boleh aku menumpang di rumahmu untuk malam ini? Hidupku sedang rumit, jadi aku tidak bisa kembali ke rumah hehehe."

Cengiran bodoh di akhir kalimatnya membuatku sadar bahwa gadis ini sedang memulai perjalanannya untuk menjungkirbalikkan duniaku.

- 03. Perjalanan end -

yey!
sampai sini dulu ya publishnya.
see you setiap hari selasa✨
/doakan aku konsisten/

follow on instagram
@chasingthesunproject

사랑해!

Chasing the SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang