?¿ 1

11.6K 512 23
                                    

'Perawan Janda (?)'

Hmm... kedengarannya tidak terlalu buruk sih.

Setahun lagi... tidak tidak! Mungkin hanya 6 bulan lagi, maka gelar itu akan disematkan kepadaku.

Bagi seorang gadis yang bernama Quella Princessa yang biasa dipanggil Ela, menilai seseorang bukanlah hal yang sulit.

Aku tidak sebodoh itu untuk membedakan mana tatapan suka dan mana tatapan tidak suka.

Dari awal sampai akhir, seorang pria yang bernama Xavier Agriel yang biasa dipanggil Xavi, tidak pernah mengubah raut wajahnya. Bahkan saat dia mengucapkan janji suci saja, raut wajahnya tetap datar. Tidak memberi jawaban apakah dia bahagia atau tidak menyukai situasi ini. Aku rasa jawaban yang paling tepat adalah opsi terakhir sih.

Soal akting, jangan tanyakan padaku. Aku cukup lihai di bidang itu. Mungkin para tamu undangan mengira aku sangat bahagia akan pernikahan ini. Padahal kenyataannya, siapa yang tau? Hanya aku dan Tuhan yang tau jawaban atas pertanyaan itu. Tapi aku rasa kalian juga tau bagaimana perasaanku dengan perjodohan ini. Kebanyakan orang tidak suka dengan perjodohan, lain cerita jika itu adalah sang pujaan hati.

Dan tidak sedikit dari gadis-gadis yang hadir menatap iri padaku dan mencibir. Maybe, karena mereka tidak rela melihat Xavi si sang pujaan hati (mereka) bersanding denganku.

Mereka yang selalu membandingkan Xavi dengan aku. Xavi yang sudah memiliki perusahaan yang bergerak di bidang fashion yang dia rintis mulai dari nol sedangkan aku yang mereka anggap sebagai pengangguran, tolong siapapun yang sedang membacanya ada baiknya kalian menggaris bawahi kata 'pengangguran'. Aku tidak tahu apakah penulis novel dianggap sebagai pekerjaan atau tidak.

Sudahlah, mereka hanya iri melihat seorang pengangguran bisa bersanding dengan seorang pengusaha. Benar bukan?

Setelah seluruh rangkaian acara selesai, tanpa pamit pada siapapun aku masuk ke salah satu kamar hotel yang telah disewa dalam 2 hari ke depan. Kamar ini sangat mewah, aku bisa tebak pasti Xavi mengeluarkan banyak uang untuk menyewa ini. Mengapa dia harus menyewa hotel ini, padahal tidur di rumah orang tuanya atau tidur di rumah orang tuaku juga tidak masalah, atau malah ini adalah usul orang tuanya dengan orang tuaku? Tapi menyewa kamar hotel seperti ini tidak akan membuatnya jatuh miskin, lain ceritanya jika itu aku.

Saat ini aku sangat menyesal tidak mengajak sahabatku Gladis, yah Gladista Christabel, mungkin Gladis bisa membantuku membuka gaun pengantin yang seharian ini membungkus tubuhku dengan sempurna. Gaun yang bagian punggungnya terbuka memperlihatkan punggung putih mulus milikku, itulah penilaian orang-orang tentang gaunku, dan tentu saja dengan bagian dada yang tinggi, aku tidak suka jika bagian dada yang rendah, karena itu bisa saja mengundang nafsu pria, walaupun aku sudah tau pasti bahwa tidak ada yang tertarik dengan tubuh triplek ku ini, iya triplek 'rata depan belakang'. Itulah sebutan yang biasa ku gunakan untuk menyebut tubuh ini. Hahah, tenang saja aku tetap bersyukur memiliki tubuh ini.

Saat aku sedang berusaha membuka gaun tiba-tiba Xavi masuk, tanpa sepatah kata dia masuk kedalam kamar mandi. Sungguh, apakah dia tidak menyadari ada seseorang yang butuh bantuan? Hahahaha, tidak mungkin juga dia akan menawarkan bantuan meski dia tahu aku butuh bantuan. Dan pastinya aku juga tidak akan menerima bantuannya. Jadi apa sebenarnya yang kuinginkan?

Aku membuka pintu kamar hotel, aku ingin meminta bantuan Gladis saja. Semoga saja Gladis masih di sini. Akhirnya aku sampai di roof top hotel. Tadi, saat di pesta Gladis memberi tahu bahwa dia ingin ke roof top untuk menemui seseorang, siapa lagi kalau bukan pacarnya. Dia terlalu menempel dengan pacarnya bukan sepertiku yang tidak punya pacar, ups tapi punya suami. Hahahah

"Eh, pengantin baru kesini ngapain? Bukannya lagi sama suaminya ya?" Gladis berucap seraya menggodaku.

"Hm, jangan-jangan kalian..." Rafly sama persis seperti Gladis yang sangat hobi menggoda. Mungkin mereka memang jodoh. Amin. Soalnya mereka cocok, sangat malah.

"Lo bisa diam gak sih? Gue kesini karena gue butuh bantuan lo ." Jika berbicara dengan mereka, aku biasa menggunakan gaya bahasa 'Lo-Gue' .

"Minta tolong? Minta tolong bikin suami supaya makin jatuh cinta sama istrinya begitu?" Satu lagi hobi Gladis yang selalu membuat ku kesal yaitu mencubit pipi. Padahal pipi ku tidak chubby sama sekali. Sangat menyebalkan, tapi masih kalah menyebalkan dari Xavi yang hanya masuk kamar mandi tanpa melihat kearah ku.

"Jangan ngarang, bantuin gue buka gaun ini."

"Lo jauh jauh kesini cuman mau minta tolong itu doang? Astaga, kenapa ngak sama suami lo ajah," Andai mereka tau cerita aslinya.

"Hm, gak! Ada Gladis yang bisa gue repotin. Udah, ayo!" Aku langsung menarik tangan Gladis. Dan dengan cepat kami telah sampai di kamar hotel.

"Buruan dong, udah gerah banget ini" Aku mengibas-ibaskan tanganku sebagai kipas manual. Tidak panas bahkan cuaca diluar mendung. Tapi rasanya memang gerah, ntah itu suasananya atau perasaanku.

Karena kebanyakan gerak, Gladis terlihat kesal.

"Minimal lo diem lah. Lo makin banyak gerak gue makin susah buka gaunnya." Ucap Gladis geram. Aku mulai diam melihat pantulan Gladis di depan cermin yang menampilkan wajah geram dan kesal atas gerakan ku yang berlebihan. Setelah selesai aku menggerai rambutku.

Cklek

Seketika pandanganku dan Gladis tertuju pada sumber suara. Ternyata Xavi baru saja keluar dari dalam kamar mandi.

Rambutnya basah, sepertinya dia keramas eh bukan itu yang penting, untung saja dia sudah memakai pakaian lengkap, tidak bisa ku bayangkan mata suciku akan ternodai tanpa aba-aba.

"Udah, gue keluar dulu ya. Bye." Gladis melambai kepadaku dan tersenyum kepada Xavier. Xavier hanya membalas dengan senyuman tipis.

Mendadak aku teringat bahwa gaun yang ku kenakan sudah hampir terbuka, dan resleting nya terbuka sampai ke pinggang. Mampus, bagaimana aku bisa masuk ke kamar mandi jika harus melewati Xavi?

Akhirnya, aku beranjak dan berjalan mundur melewati Xavi. Xavi sempat mengernyitkan dahinya beberapa detik. Dan setelahnya dia seakan tidak peduli.

Tiga puluh menit kemudian aku keluar. Aku melotot melihat Xavi yang sedang berkutat dengan laptopnya. Bukankah tiga hari ke depan dia cuti? Sebegitu tidak pedulinya kah dia akan pernikahan ini? Memangnya aku berharap apa respon dia atas pernikahan ini?

Aku berjalan menuju kasur, aku tidak peduli apa yang sedang dikerjakan Xavi. Toh Xavi juga tidak peduli dengan keberadaan ku.

Aku baru menyadari bahwa di kamar ini ada single bed, kenapa tidak double bed saja sih? Selimutnya juga hanya satu, kenapa tidak dua? Haruskah aku meminta kasur tambahan?

Tapi tidak tidak, apa yang akan orang katakan padaku? Sudahlah, ngak mungkin juga baru nikah udah pisah ranjang, mending langsung pisah kamar atau sekalian pisah rumah, hahah aku sedang bercanda dan sedang menginginkan bercandaan ini menjadi kenyataan, kalau tidak bisa hari ini setidaknya suatu saat nanti.

"Mau tidur?" Ini 'tidur' dalam artian beristirahat ya, jauhkan pemikiran kalian dari hal itu, hahaha. Karena aku tahu bahwa tidur memiliki arti lain.

"What? Ku pikir kau tidak bisa bicara. Mengingat setelah dari awal acara dimulai sampai resepsi, kau tidak pernah mengajakku berbicara." Tapi, kata-kata itu tidak sampai ke permukaan, kata-kata itu masih berada di dasar laut. Intinya dia tidak bisu, itu sudah lebih dari cukup wkwkwk.

"Iya." Kata-kata inilah yang paling pantas yang bisa ku sampaikan ke permukaan.

Tanpa menoleh Xavi bersuara "Kenapa gak minta bantuan sama saya saja?"

"Hah?" Kenapa otak ku mendadak bingung? Harus merespon dengan jawaban seperti apa ucapannya barusan? Pertanyaan lebih tepatnya. Bantuan apa yang dia maksudkan?

Yang berbaik hati, tolong bantu aku memberikan alasan yang logis.

Cerita kedua udah meluncur.
Voment nya guys jangan lupa.

ilo-man3

10-09-20

Why Not ?¿  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang