Nadine- Maa.....

3.9K 357 14
                                    

Aku melirik Arvin yang masih tertidur pulas di sampingku. Dengan gerakan sangat pelan, aku memakai kembali pakaian yang tadi malam dilepaskan oleh Arvin. Selalu seperti ini. Bertengkar karena sikap posesif Arvin, dia datang dan membawaku pergi secara paksa, dan kemudian endingnya ya begini. Bagi orang-orang pada umumnya, make up sex adalah yang terbaik namun bagiku ini yang paling mengerikan. Mungkin karena kulakukan dengan orang yang tidak tepat atau ya memang karena Arvin memang semengerikan itu.

Pelan-pelan aku melangkah ke dapur dan membuatkan secangkir teh untukku dan kopi untuk Arvin. Sebenarnya aku langsung ingin kabur, tetapi kuurungkan karena aku tidak ingin kembali memancing kemarahannya. Tadi malam saja, dia hampir memukul Axel karena aku ingin ikut ke bar dengan Axel.

Duduk di kursi balkon apartemen Arvin dengan angin pagi yang masih terasa dingin, membuat perasaanku meringan, meskipun sangat sedikit. Jalanan di bawah sana masih terlihat sepi karena ini hari minggu. Menghirup aroma teh dan juga sinar matahari yang hangat, membuatku memejamkan mata. Aku benar-benar merindukan ketenangan seperti ini dan entah kapan terakhir kali aku menikmatinya. Tidur larut malam karena bekerja dan memulai pagi dengan perasaan berat karena harus berangkat kerja dengan Arvin, membuat hari-hariku selalu terasa penuh tekanan.

"Kamu kenapa gak bangunin aku?" Pelukan Arvin di pinggangku, membuatku tersenyum miris. Belum lima menit dan ketenangan itu sudah terenggut. Mungkin memang aku ditakdirkan seperti ini.

"Kamu tidurnya nyenyak banget," jawabku pelan. Arvin tertawa kecil dan kemudian mencium pipiku.

"Kamu tau kalau aku gak pernah kenal istilah tidur nyenyak kan?"

Aku menepuk pelan tangannya yang bertengger memeluk pinggangku.

"Aku udah buatin kamu kopi. Aku ambil ke dapur sebentar ya," kataku dan dia mengangguk. Aku berjalan ke dapur dan menghela napas panjang. Hari berat sudah dimulai kembali.

"Kemarin aku ketemu mama kamu," kata Arvin ketika aku sudah menyusul dia duduk di sofa yang ada di balkon. Aku terpaku sambil menanti kelanjutan ucapan Arvin selanjutnya.

"Yang aku lihat mama kamu belum ada keinginan untuk berhenti, Nad. Aku sih senang aja, berarti kamu gak akan pernah bisa lari dari aku. Kecuali, kamu ingin semuanya berantakan."

Arvin menyeringai dan membuatku ingin sekali mencakar wajanya. Jika aku bisa.

"Kamu ketemu di mana?" tanyaku datar meskipun air mataku sudah mulai menumpuk, meminta untuk dikeluarkan.

"Di sini. Di penthouse sebelah. Aku juga gak nyangka bisa ketemu. Rejeki memang gak kemana, kan? Aku ada fotonya, kalau kamu pengen lihat."

Aku langsung menggelengkan kepalaku.

"Tapi kemarin mama seharian di rumah sama papa," jawbku berusaha berkelit.

"Aku ketemunya pagi. Waktu aku habis jogging, ya sekitar jam 6 pagi."

"Mama lihat kamu?"

Arvin menggeleng dan kemudian tersenyum puas sekaligus meledekku. Seolah mengatakan dia baru saja mendapat kemenangan besar.

Ya Tuhan, mama. Sudah sebegitunyakah kelakuan mama. Perasaan sesak di hatiku rasanya semakin menjadi-jadi disusul dengan perasaan benci, baik kepada mama, maupun orang yang ada di sampingku saat ini.

"Aku mau pulang dulu," kataku akhirnya karena tidak tahan lagi berada di sini.

"Enggak. Aku mau kamu temenin aku di sini."

"Vin, please. Aku...aku butuh istirahat, aku ada meeting besok pagi-pagi."

"Kamu lagi berusaha bohongin aku, Nadine?" Pelototan mata Arvin membuat nyaliku mendadak menciut. Hanya ada kami berdua di ruangan ini dan tidak menutup kemungkinan Arvin kembali mengasariku jika aku tidak menurut.

Begin Again [COMPLETED] Where stories live. Discover now