Chapter 7

1K 136 7
                                    

Diam dan tenang, itulah kata yang pas untuk menggambarkan suasana kelas 11 Mipa 6 saat ini. Kelas tersebut berisi anak-anak yang tidak terlalu pintar dalam hal akademis, tapi mereka memiliki bakat terpendam masing-masing.

Dalam hal akademis, mereka adalah yang terbawah dari kelas lainnya, namun itu tidak membuat mereka patah semangat. Meskipun tidak pandai dalam hal materi, tapi bakat yang mereka miliki melebihi kemampuan otak mereka.

Suasana kelas yang begitu tenang bukan berarti mereka memahami apa yang guru sampaikan, justru mereka diam karena mereka tidak tau.

"Jadi gimana? Sudah paham, kan, apa yang barusan bapak sampaikan?" Seorang guru yang bernama Sir Cecil bertanya setelah dirasa cukup menjelaskan materi pelajaran.

"Sama sekali engga, pak," jawab mereka kompak. Bahkan salah satu di antara mereka ada yang mengantuk.

"Yah, percuma saja bapak jelaskan panjang lebar gini, tapi kalian tidak paham. Dasar b-e be g-o go,"

"Bego!" jawab mereka serentak. Mereka tertawa terbahak-bahak karena satu kelas semuanya siswa bodoh. Sementara Sir Cecil hanya bisa tersenyum ngeri melihat kelakuan anak jaman sekarang yang bangga karena bodoh.

"Baiklah, cuma itu yang ingin bapak sampaikan hari ini. Kali ini, bapak tidak memberi tugas karena percuma saja, pasti tidak dikerjakan. Ya sudah, bapak pergi dulu."

Suasana kelas menjadi gaduh saat seorang guru yang sedang mengajar keluar dari kelas. Mereka bersorak bahagia. Wajah mereka yang sebelumnya kusam kini sudah kembali cerah.

"Pufffttt... Akhirnya selesai juga. Otakku jadi panas gini." Bill merebahkan kepalanya ke atas meja dan menggercapkan matanya beberapa kali.

"Baru segitu saja sudah ngeluh, dasar lemah!" sinis Steven dengan santai.

"Terserah... Terserah... Aku lapar. Ayo pergi ke kantin. Aku ingin mengisi ulang tenaga dan otakku yang sudah terkuras habis."

"Harus. Karena kali ini adalah giliranmu untuk mentraktirku dan Mew. Kemarin kau sudah janji, jangan pura-pura lupa!" ingat Steven dengan nada sinis.

"Huh? Kenapa aku berjanji seperti itu kemarin? Mulutku memang tidak bisa dijaga kalau berbicara," batin Bill dalam hati.

"Hm, iya-iya, aku traktir. Tapi jangan pesan makanan mahal, kalau yang murah saja sudah cukup bikin kenyang!" ingat Bill.

"Terserah."

Bill dan Steven melihat ke arah Mew yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan mereka tanpa berniat berucap satu kata pun. Mew sedang melamunkan sesuatu.

"Mew, kau ikut tidak?" ajak Bill. Mew masih diam tak bergeming sampai akhirnya Bill memukul kepala Mew.

"Hey, kau dengar tidak?"

"Ouch. Apa yang kau lakukan, sialan?"

"Aku dan Steven mau ke kantin. Kau ikut atau diam di sini seperti orang gila?"

"Huh, tidak. Aku tidak ingin, kalian pergi saja. Aku ingin sendiri."

Bill dan Steven merasa heran dengan tingkah Mew yang tidak seperti biasanya. Dia terlihat agak... menyebalkan hari ini.

"Ya, ya. Baiklah, raja. Terserah raja saja. Babu mau ke kantin dulu. Hey, babu, ayo kita ke kantin dan makan sepuasnya!" ucap Bill pada Steven meninggalkan Mew sendirian di kelas. Tidak ada satu orang pun yang betah berdiam diri di kelas, apalagi saat jam istirahat. Mereka lebih suka pergi mengelilingi halaman sekolah daripada diam dan tidak melakukan apa-apa.

Entah apa yang dipikirkan Mew hingga seperti itu. Biasanya dia selalu pergi dengan Bill dan Steven, tapi kali ini dia menolak.

"Kenapa aku terus memikirkan si preman itu, hah? Sadarlah, Mew, sadar! Dia orang yang tidak baik untukmu, jangan memikirkan dia terus! Dia itu tempramen, kau tidak akan sanggup menghadapi orang seperti dia!"

Di alam bawah sadarnya, Mew terus merutuki dirinya sendiri yang terus-menerus memikirkan si cecunguk itu. Siapa lagi kalau bukan Gulfi. Berandal yang suka berkata kasar dan berperilaku buruk. Tapi ada satu hal yang membuat Mew tidak bisa melupakan dia, yaitu... Wajahnya.

Menurut Mew, wajah Gulf sangat kharismatik hingga mampu melelehkan hati Mew yang seperti batu sekalipun. Sebenarnya Mew bukan Gay, atau semacamnya. Dia masih suka dengan wanita. Tapi entah kenapa saat melihat Gulfi, semua kekurangan tersebut lenyap begitu saja.

Sudah kukatakan, bukan kalau Gulfi sangat berkharisma?

Di saat Mew yang masih termenung melawan pikiran dan perasaannya, secara tidak sengaja Mew melihat Gulf sedang berjalan di luar kelasnya. Mew merasa terganggu dengan hal tersebut.

"Dia mau kemana? Itu kan jalan ke arah atap sekolah. Ada yang tidak beres di sini. Aku harus memeriksanya." Mew segera bangkit dari duduknya, namun sedetik kemudian ia mematung.

"Tunggu, aku ini sedang apa, sih? Kenapa aku ikut campur masalah orang lain? Ikut campur masalah orang lain bukanlah sifat Mew yang biasanya. Lagipula kalau terjadi apa-apa, dia tidak akan meminta bantuanku. Dia kan berandalan, dia pasti bisa mengatasi masalahnya sendiri. Baiklah, sudah kuputuskan. Aku akan duduk dan menikmati pemandangan bangku dan meja yang ada di depanku," ucap Mew sambil mendudukkan tubuhnya kembali.

Namun Mew kembali melihat beberapa orang lain yang juga pergi ke jalan yang dilalui Gulfi beberapa saat lalu, yaitu jalan menuju ke atap sekolah. Mereka adalah anak buah Jack. Perasaan tidak enak kembali menghantui hati Mew dan dengan cepat Mew berlari mengikuti mereka.

"Sial, apa yang kulakukan? Mengikuti mereka? Lalu setelah itu apa? Ah, masa bodo lah. Anggap saja ini demi membantu sesama murid yang sedang kesusahan. Bukan karena yang lain."

Mew menuju ke arah atap sekolah secepat yang dia bisa.

"Sial. Pintunya dikunci. Aku harus bagaimana ini? Pergi ke security dan bilang ingin meminjam kunci atap sekolah? Tidak-tidak, itu pasti tidak akan sempat. Aku harus mencari cara lain."

Mew berinisiatif untuk mendobrak pintu tersebut dengan kekuatan yang dia miliki. Namun sebelum ia melakukan itu, ia samar-samar mendengar percakapan Gulfi dan beberapa orang lainnya.

"Wah, lihat siapa yang datang. Berani juga kau datang kemari, meskipun kau tau kalau kau akan kalah."

"Cih, tutup mulut. Dan siapa yang harus kutakutkan di sini? Kau? Atau anak buah cecungukmu ini? Jangan membuatku tertawa, Jack!"

"Jadi Gulf sedang adu mulut dengan Jack. Apa mereka bertengkar? Dan apa alasannya?" ucap Mew yang sedang menguping pembicaraan mereka dari balik pintu.

"Aku ingin menjadi penguasa sekolah ini. Saat tanganku berhasil mendarat di rahangmu kau akan tau siapa yang lebih kuat di sini. Kau atau aku? "

"Ck. Terserah. Tutup mulutmu dan lakukan!"

"Astaga, mereka akan berkelahi di sana. Aku harus menyelamatkan Gulfi- ah salah. Aku harus mencegah mereka berbuat perbuatan yang tidak terpuji di sini. Aku harus cepat." Mew dengan cepat membuka pintu yang terkunci tersebut dengan tubuhnya.

Suara bogeman dan teriakan anak buah Jack terdengar semakin kencang setiap detiknya. Dan hal itu membuat Mew semakin gencar mendobrak pintu tersebut.

"Ini pintu sekolah atau pintu surga, sih? Kenapa susah sekali dimasuki."

Dengan satu kali tendangan, pintu tersebut berhasil terbuka. Dengan cepat, Mew segera berlari menuju arah Gulf dan Jack berkelahi.

"Gulf, apa kau tidak papa? Aku di sini untuk memban... tu... mu..." Mew mengentikan langkahnya secara perlahan dan mematungkan tubuhnya saat melihat pemandangan yang membuat Mew merasa agak... berlebihan?

"............?"

GULFI - MEWGULFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang