19 - warna itu perlahan hilang

75 21 5
                                    

Mahesa termenung. Mengingat kembali percakapan lewat ingatan. Antara teman yang hubungannya di dapat dari sekadar pertemuan ketika petang pada halaman, dan berlalu begitu cepat.

Bahkan Mahesa tidak pernah menyangka. Bahwa satu kalimat itu benar-benar ia dengar. Atau mungkin untuk yang terakhir kalinya.

. . .

"Memang cuma kamu yang bisa tau kalo aku mau ngagetin kamu walau nggak lihat ke belakang."

Tidak. Tentu saja Mahesa itu itu hanya gurauan. Lagian, temannya itu gemar bercanda. "Bodoh. Aku kan, nggak bisa lihat. Untuk apa noleh lagi?"

"Padahal aku udah diem-diem loh."

"Mana ada. Kedengaran jelas tau. Suara rumput sama napas kamu itu nggak bisa dibohongin. Lagipula kamu satu-satunya orang di daerah sini yang suka bikin orang kaget. Udah ketebak."

"Iya iya deh."

Lantas Mahesa rasa, temannya ikut duduk di samping kursi tempat ia menikmati penghujung hari. Namun tak seperti biasa. Suasana kali ini sedikit canggung. Keduanya hanya saling menutup mulut. Sedangkan diam bukanlah kebiasaan yang bisa Mahesa wajari.

Sampai pada waktunya, Mahesa paham.

"Jadi ... udah waktunya, ya?"

Pemuda itu mengangguk lemah. "Iya. Pagi tadi cek terakhir. Katanya aku harus ambil keputusan besar. Mama sebenernya nggak mau cepet-cepet, tapi aku yang sekarang ini nggak punya banyak pilihan. Lebih lama lagi juga nggak ada beda."

Mahesa mengerti. Semua arah pembicaraan ini, Mahesa amat sangat mengerti. Tapi satu yang membuatnya merasa resah. Sepatah kata membeku diujung lidah. Baginya untuk bicara saat ini begitu berat. Kelu. Mahesa kehabisan sejuta frasa khasnya.

"Esa."

"I-Iya?" Mahesa menoleh ragu.

Mahesa memang tidak bisa melihat. Tapi dirinya tahu, lawan bicaranya itu tengah tersenyum tipis. Sebelum akhirnya permintaan itu keluar.

"Kalo nanti aku gagal, tolong ambil aja, ya? Aku nggak mau itu jadinya sia-sia. Dan oh! Satu lagi."

"Apa?"

Pemuda itu menatap langit. "Senja."

"Eh?"

"Senja. Tolong jaga dia, ya? Dia keliatan lemah, tapi sebenarnya dia sangat kuat. Dia bakal bahagia sama kamu. Jangan bikin dia nangis, oke. Janji sama aku."

Lengang sesaat. Sampai akhirnya Mahesa mengangguk dan menjawab. "Iya. Aku janji ... Allen."

. . .

Suatu hari.

Sera menggila.

Hari itu sudah menunjuk pada angka lima sore. Tapi Sera sama sekali tidak menemukan tanda-tanda kehadiran atau sekadar sehelai surai adik kembarnya. Sama sekali tidak.

Sera ingat pesan Senja. Katanya akan menunggu di tepi lapangan dan sampai ia selesaikan bimbingan. Namun begitu Sera hadir, Senja tidak ada disana. Raib. Hilang entah kemana. Dan Sera dibuat panik setengah mati karenanya.

Napasnya menderu tak keruan. Keringat dingin tak ayal mengucur deras dan membanjiri seluruh seluk tubuhnya. Senja hilang dalam pengawasannya. Tak ada yang menjaga. Termasuk Allen yang absen--tak masuk sekolah.

Sera berlari. Kini ke kelas Senja. Derap langkah kaki menggema di seluruh koridor sekolah. Menarik perhatian siswa-siswi yang masih berkeliaran di sekolah sambil meninggalkan tanda tanya mengapa.

Namun usahanya kembali tak berbuah. Nihil. Hanya ada tas di bangku kosong yang ia ketahui milik Senja. Hanya ada beberapa orang yang sedang mengerjakan tugas kelompok.

Tiara! Disana ada Tiara!

Setengah emosinya membrutal, Sera mendekati gadis itu. Gebrakan meja tak luput dilakukannya. Lima orang termasuk Tiara semuanya bergidik ngeri. Sebab untuk pertama kalinya mereka melihat Sera begitu marah. Sera terlihat amat murka dengan wajah merahnya.

"Mana Senja?" tanyanya dingin dan penuh penekanan.

"S-Senja?" ulang Tiara ketakutan. "Gue nggak tau dimana dia."

Sera berdecak. "Bohong. Lo pasti tau Lo nggak mau ngaku, hah? GUE TANYA DIMANA SENJA SEKARANG?"

Salah satu lelaki, berdiri cekatan. Berusaha menenangkan Sera yang terlampau emosi. "Sera tahan! Lo harus denger penjelasan Tiara dulu!"

"LEPASIN GUE!" Ia menepis tangan lelaki itu. Membuat kelima orang tadi membulatkan mata terkejut. Baru kali ini mereka dengar Sera membentak penuh amarah.

Lantas langkahnya melesat. Memojokkan Tiara yang sama sekali tidak bisa berkutit. "Ayo ngaku. Lo sering bikin adek gue kumat, kan? Sekarang bilang Senja ada dimana Tiara! Dimana adek gue!!!"

Benar. Sera yang ia lihat benar-benar Sera yang sedang berputus asa. Namun Tiara sama sekali tak tahu. "Sera, tolong percaya gue sekali ini aja. Gue nggak tau dimana Senja. Demi apapun, tolong percaya Sera!"

Harapannya seakan melebur bersama debu. Perlahan kakinya hilang tenaga. Sera yang elelaha tersungkur di lantai sambil menyumpahi dirinya sendiri. Bodoh. Ia mengacak rambutnya. Frustrasi yang dirasa.

Sedang mereka berlima sesak melihatnya. Di sekolah itu, hanya Sera yang benar-benar peduli pada Senja. Yang khawatir dan tak pedulikan dirinya sendiri demi melindungi seorang gadis yang mereka jauhi dan abaikan.

Ada sesal. Hinggap dalam hati mereka. Malu. Sera selalu baik pada mereka, dan itukah balasan mereka atas semua bantuan yang Sera berikan selama ini?

"Reva...," gumamnya.

Spontan, Sera kembali bangkit. Matanya menyalang tajam bak pisau terasah. Ia melirik sekitar. "Reva! Mana anak itu?! Pasti dia! Tiara ... bantu gue. Dimana biasa Reva gangguin Senja?"

"Eh? E-Erm.... Biasanya di gedung bela--"

Belum selesai Tiara bicara, Sera sudah kembali melesat. Menyusul adik kembarnya.

Mereka berlima sadar. Mungkin menjadi saksi pula. Sepasang anak kembar itu, sungguh mengubah pandangan mata mereka. Harusnya mereka tak sejahat itu pada Senja. Harusnya.

Tiara. Melihat Sera, membuat ia rasa gejolak tak biasa. Entah karena apa, tapi tadi itu ia lihat sesuatu. Barusan ... Sera menangis. Penuh sakit hati.

Tunggu aku ... Senja. []

. . .

an.
hehehehe aku mau tanya dung sebelum
final conflict. cerita ini menarik gak sih?
dan kenapa kalian mau baca buku ini?
aku kepikiran soalnya wkwkwkw :v

[✓] Cerita Tentang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang