Bagian 10

21 8 22
                                    

Bismillah

Mohon koreksinya

Minta votenya

Selamat membaca :)
.
.
.
.

Sore itu, setelah ashar aku dalam perjalanan pulang. Kebetulan mengemudi dlsendiri. Tanpa di temani Mang Dayat. Orang yang biasa mengantar jemput aku. Awalnya aku bersama dengan Rio, tapi dia menolak untuk ku antar sampe ke rumah, katanya tidak ingin merepotkan. Alibi dia saja sebenarnya, agar bisa bertemu dulu dengan gadis incarannya.

"Drtt..."

Suara ponsel ku berdering, nama Umi yang tertera. Segera aku menepi, menjawab panggilan Umi.

Rupanya Umi memintaku, untuk menjemput Sifa, di rumah sakit pulang kerja. Setelah menikah, aku memang tetap mengizinkannya bekerja. Bagiku bukan masalah. Asalkan tidak melupakan kodratnya sebagai seorang istri. Karena menikah bukan untuk merubah diri kita menjadi orang lain, kan? Tatap menjadi diri sendiri, tugas pasangan hanya melengkapi. Jika ada yang salah, saling mengingatkan.

Aku kembali melanjutkan perjalananku, menuju rumah sakit, dimana Sifa bekerja, dia adalah perawat khilusus di bagian anak. Umi tadi bilang katanya dia sudah menungguku. Selama aku pergi, biasa Mang Dayat yang akan mengantar jemput Sifa. Meski kadang, dia menolak, tapi aku memakasanya. Entah kenapa Umi bilang katanya hari ini, Mang Dayat sedang tidak bisa menjemputnya. Aku jadi berpikir, kalau ini memang akal-akalan Umi, yang ingin mempertemukan aku dan Sifa, yang sudah berpisah sejak satu pekan penuh.

Aku jadi senyum-senyum sendiri, untunglah aku sedang berada di dalam mobil. Sehingga tidak ada yang bisa melihatku dan beranggapan aku bukan orang waras. Semakin mendekat dengan tujuanku, semakin gugup pula perasaanku. Saat aku bertemu dengan dia, sikap apa yang harus aku tunjukkan? Mendadak aku jadi salah tingkah begini, sih memikirkannya.

***

Setelah aku markirkan mobil, lalu turun. Kuedarkan pandangan kesegala arah, namun tak ada sosoknya. Merogoh saku celana untuk mengambil ponsel, mencoba untuk menghubunginya, belum sempat aku menekan tombol panggilan. Suara yang aku rindukan, menyapaku terlebih dulu.

"Mas, Malik. Maaf sudah membuat kamu nunggu, Sifa tadi abis dari toilet dulu soalnya",
Ucapnya dengan lembut, bernada penyesalan, sambil menghadap ke depanku. Deg..jantunggku berdetak makin kencang, gugup.

"Oh, iya. Saya juga baru sampai, belum lama"

Jawabku sambil tersenyum, menyembunyikan kegugupanku.
"Yuk, kita berangkat sekarang!"
Ajakku, sambil berjalan di depannya. Aku seditlkit melirik ke arahnya terlihat seperti ingin menyampaikan sesuatu, tapi di tahannya. Sampai detik berikutnya dia memanggilku.

"Emm..mas Malik?"

"Iya, apa ada yang teringgal?"

"I-tu..e-e.. Sifa belum sa..li-m"

Ucapnya terbata, sedikit malu-malu. Dan itu mampu membuatku tertegun, hatiku jadi menghangat. Ada perasaan bahagia saat mendengarnya, betapa tidak, dia berusaha menghormatiku sebagai imamnya. Dia mendekat ke arah ku. Sambil tertunduk.

"Jadi kamu mau mencium tangan,saya?"
Tanyaku sedikit menggodanya, dan benar ada sembraut merah di pipinya, sambil mengangukkan kepala. Lalu mengulutlrkan tangannya, dengan cepat aku menyambutnya, saat kedua tangan bertemu dia bawa ke hidungnya, menciumnya ta'jim. Seketika aku merasakan keharuan, mendadak aku berubah jadi cengeng sekaligus merasa bahagia secara bersamaan.

Saat dia melepaskan tanganku, segera aku pindahkan tangannya ke kepala, memengang ubun-ubunnya sambil membacakan doa kebaikan dan keberkahan baginya. Ada genangan air di matanya, apa dia jiga merasakan seperti yang aku rasa?

"Allahuma inni as'aluka, min khairina wa khairi ma jabaltaha'alaihi, wa a'udzubika min syarriha wa syarrima jabaltaha'alaihi."

Ku kecup keningnya dengan lembut.
Perlahan air itu mulai turun ke pipinya, aku menghapusnya dengan jariku. Aku sudahi dengan membawanya berjalan menuju mobil. Aku baru menyadari ternyata kami masih berada di parkiran, membuat kami jadi pusat perhatian, beberapa orang berlalu lalang melihat ke arah kami dengan tatapan iri.

"Mas, kita jdi di liatin orang",

"Ah, iya biarin aja, palingan mereka iri sama kita"

Ucapku santai sambil menggenggam tangannya. Ah, seharusnya aku tidak mengecup kening istriku di depan umum seperti tadi, di parkiran pula, tidak ada kesan romantisnya, apa tanggapan Sifa kira-kira?
Tapi aku bahagia melakukannya, biarlah tempat parkiran menjadi saksi awal dari kebahagian kami.

"Tapi kan malu."

"Kenapa harus merasa malu, Khai, kita kan udah halal" aku mengodanya, dia langsung masuk ke dalam mobil sambil salah tingkah, aku menyusulnya.

Aku melajukan mobil. Selama di perjalanan kami hanya saling diam. Jalanan macet membuatku mendesah lelah, rasanya aku ingin segara sampai di rumah segera istirahat. Swskali aku menoleh ke sebelahku,  melihat istriku yang sedang asik menatap ke arah luar dengan wajah yang terlihat lelah.

Allahu Akbar..Allahu Akbar..

Adzan maghrib  berkumandang.

"Kita shalat dulu, ya, Khai?di masjid yang ada di depan",

"Iya mas",
Jawabnya singkat.

***

Dua puluh menit berlalu, kami kembali ke mobil.

" mas," mengulurkan tangannya ke arahku, kembali menciumnya membuatku makin jatuh cinta di buatnya.

"Khai, saya lapar kita mampir cari makan dulu ya?"

"Sifa juga lapar",

Disinilah kami, berada di tempat makan lesehan bernama 'lele tebang' menawarkan menu makanan dengan lauk  ikan lele, ayam, samabl terasi, lalapan, sayur asam. Aku memesan nasi berlauk Ikan lele, beserta temannya, sedangkan istriku memilih dengan lauk ayam. Rupanya dia tidak suka lele, membuat ku bahagia, karena tahi satu hal tentang nya.

Kami menikmati hidangan yang tersaji.

"Mas, kenapa kamu panggil aku dengan nama tengahku?" tanyanya penuh penasaran






Hai, assalamualikum 






Tentang SetelahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang