11. Dia, spesial tanpa harus berusaha

6.7K 560 3
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Sudah hampir satu jam Rega berdiam diri disini, memandang lurus ke depan dengan pikiran menerawang. Ingatan tentang wanita itu kembali muncul seperti sebuah film usang yang di putar ulang. Salahkan otaknya yang terlalu baik dalam hal mengingat, mengingat kenangan tentang gadis kecilnya yang sudah tumbuh menjadi seorang wanita cantik dalam versi yang lebih dewasa.

Rega menghembuskan napasnya panjang lalu mengacak-ngacak rambutnya dengan kasar. Sepertinya ada yang mulai tidak beres dengan dirinya, pikirannya kacau setelah bertemu lagi dengan Hanindya.

"Lo punya hutang?"

Adit yang baru datang langsung mengambil posisi berdiri di samping kanan Rega, ikut memandangi jalanan yang penuh dengan kendaraan yang berlalu lalang dari atas gedung Liberio Architect. Dan bukan tanpa alasan Adit menanyakan itu. Sebelum memutuskan untuk menghampiri Rega, Adit sudah lama berdiri di belakang lelaki itu dan mengamati setiap gerak-geriknya yang terlihat seperti orang yang punya banyak masalah.

Mendengar pertanyaan Adit, Rega menoleh dengan satu alisnya yang terangkat.

"Kenapa tiba-tiba bahas hutang?" Tanya Rega heran.

"Dari tadi gue perhatiin, lo kayaknya banyak pikiran." Adit menoleh ke arah Rega. "Ada masalah?"

Rega kembali menarik lalu menghembuskan napasnya. Menumpuhkan kedua sikutnya di atas pagar beton. Pandangannya masih lurus ke depan.

"Kalo seandainya... lo tiba-tiba ketemu sama mantan yang udah lama lost contact, apa yang akan lo lakuin Dit?"

Adit mengernyit bingung, tapi memutuskan untuk tetap menjawab.

"Ya tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung hati gue. Masih berdebar nggak pas liat dia. Gue masih ikutan senyum nggak, pas liat dia senyum. Gue masih bisa marah nggak, pas liat dia sama yang lain. Simplenya sih seperti itu. Dan kalo gue masih ngerasain itu semua, fix! Gue masih ada rasa sama dia."

Rega mendengus, "Lo nggak bisa jadiin itu sebagai patokan. Bisa aja kan, kalo lo itu cuma senang ketemu lagi dengan orang yang pernah jadi bagian dari masa lalu lo. Mungkin aja, lo cuma penasaran sama kehidupan dia yang sekarang dan karena itulah lo lebih sering merhatiin dia." Rega terdiam beberapa saat, tatapannya berubah lebih hangat. "Dan mungkin aja, lo cuma ingin memastikan satu hal."

"Apa?"

"Bahwa saat ini, dia mungkin udah sama orang yang tepat. Orang yang akan menggenggam tangannya ketika berjalan, orang yang akan menjadi pundaknya ketika dia menangis, dan... orang yang akan menjadi alasan pipinya memerah." Ujar Rega tanpa sadar.

Adit tersenyum miring, "Kenapa gue harus peduli dia sama siapa sekarang? Kalo emang gue udah nggak cinta ya, bodo amat lah!" Ujar Adit dengan entengnya, sengaja memancing Rega untuk lebih terbuka.

"Brengsek emang!" Umpat Rega tajam.

Adit langsung tertawa terbahak-bahak. Dari awal dia sudah curiga kalau sahabatnya dari masa putih abu-abu ini pasti sedang membicarakan dirinya sendiri. Selama bertahun-tahun mengenal Rega, baru kali ini Adit mendapati laki-laki itu kebingungan menerjemahkan perasaannya sendiri.

Adit menepuk pundak Rega dua kali, mencoba memberikannya semangat meski saat ini Adit lebih ingin menanyakan banyak hal. Tentang sosok 'dia' yang sudah membuat Rega galau setengah mati.

"Raba lagi hati lo, Ga. Hati lo maunya gimana, maju atau mundur?"

Seakan tersadar, Rega langsung terkekeh sumbang. "Apaan sih! Kenapa jadi gue?"

"Ini masih 'dia' yang sama kan?" Tanya Adit langsung.

Rega mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, lalu kembali menghembuskan napasnya kasar. Percuma juga mengelak.

"Iya."

Adit kini terkekeh, "Dari dulu, bahkan sampe sekarangpun gue masih penasaran. Sehebat apa sih pengaruh 'dia' sampe bisa bikin lo galau kayak gini? Serius! Ini gue beneran nanya dan lo harus bisa jawab. Dari dulu, lo selalu nolak bahas 'dia' yang udah pernah bikin lo kacau setengah mati." Tanya Adit penasaran.

Pikiran Rega kembali menerawang, memutar kembali ingatannya bersama Hanin empat tahun yang lalu. Tidak mudah menyingkirkan kenangan bersama orang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Meskipun kebersamaan mereka terbilang singkat, tapi setiap momen bersama Hanin selalu meninggalkan kesan yang cukup dalam bagi Rega. Apapun yang berhubungan dengan Hanin selalu membuat Rega tertarik. Tingkah malu-malunya saat bertemu, di tambah lagi dengan pipinya yang memerah setiap kali di tatap dalam oleh Rega adalah hal yang paling Rega rindukan dari sosok Hanin.

Rega tersenyum misterius, "Dia hebat tanpa perlu berusaha. Dia selalu tau caranya menjadi special di mata gue."

***

Setelah perasaannya jauh lebih tenang, Rega memutuskan untuk turun. Adit sudah turun dari setengah jam yang lalu karena harus menemani Dika bertemu dengan salah satu klien besar yang sudah mempercayakan rumahnya di tangan Liberio Architect.

Lagipula ini sudah hampir jam makan siang, dan perutnya sudah mulai berteriak minta di isi. Tapi baru saja turun ke lantai dua, matanya kembali menangkap keberadaan Hanin yang baru saja keluar dari ruangannya bersama Saskia dan juga Raden. Hanin dan Saskia tampak serius mendengarkan Raden yang sibuk mengoceh lalu ketiganya mulai tertawa. Tapi fokus Rega saat ini hanya tertuju pada Hanin. Memperhatikan tawa lepas perempuan itu hingga membuat kedua matanya menyipit dengan lucu. Tanpa sadar, Rega ikut tersenyum.

"Woy! Dari mana lo?"

Raden yang pertama kali menyadari kehadirannya. Lelaki itu memperhatikan penampilan Rega dari atas sampai bawah dengan alis berkerut. Hari ini penampilan Rega jauh lebih santai. Lelaki itu menggunakan atasan kemeja warna navy yang kedua lengannya di gulung sebatas siku, yang di padukan dengan celana jeans hitam dan juga sneaker. Jelas itu bukan outfit yang pas untuk bertemu dengan klien.

"Lo nggak ikut Dika?"

Rega menggeleng, "Di ganti sama Adit." Jawab Rega santai. Matanya kini menatap Hanin yang masih saja enggan bertatapan dengannya. Sejak pembicaraan mereka di pantry waktu itu, Rega merasa Hanin sengaja menjaga jarak di setiap pertemuan mereka. Dan entah kenapa, Rega tidak suka di abaikan oleh wanita itu.

Saskia berdehem, "Mas Rega nggak makan siang?" Tanyanya basa-basi.

Rega melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Ini baru mau nyari makan. Tapi kayaknya, waktunya nggak akan cukup kalo harus nyari keluar."

Raden ikut melihat jam di pergelangan tangannya, "Tapi kalo keluarnya cuma di depan kantor, kayaknya masih boleh lah."

"Iya Mas, makannya bareng kita aja." Saskia ikut menambahi.

Sementara Hanin, wanita itu berdiri sambil menahan rasa gugupnya dengan susah payah. Munafik kalau Hanin bilang dia tidak bahagia setelah bertahun-tahun hanya bisa mengenang Rega dalam diam, sekarang Hanin punya banyak kesempatan untuk bersama lelaki itu. Selama beberapa bulan kedepan juga Hanin akan sering bertemu dengan Rega. Tapi setiap kali rasa bahagia itu datang, saat itu juga berbagai macam ketakutan mulai membayangi Hanin.

Lovestory - Patah hati terhebatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang