27. Catatan Hutang

61.4K 7.1K 338
                                    

Mentari:
Syad, dimana? Tolong, Ibuk hilang.
Syad, lo ada uang yang bisa gue pinjem nggak?

Mentari:
Dokter ... Tari bisa pinjam uang? Maaf, cuma sekali ini aja. Saya buntu. Untuk Ibuk.

Dua pesan darurat aku kirimkan pada dua lelaki yang aku kenal baik itu. Aku sudah nggak punya rasa malu lagi sekarang. Ini untuk kelangsungan hidup keluargaku. Mereka sedang berupaya bertahan tanpaku, yang nggak pernah sekalipun meninggalkan mereka selama ini.

Telepon masuk setelah sekitar dua jam aku mondar-mandir nggak tentu arah menunggu jawaban. Pikiranku melayang kemana-mana. Buntu.

Aku menatap sendu layar handphone retakku.

Nomor yang tak dikenal.

"Halo? Ini dengan keluarga Ibu Rasmiyati? Saya dari Polres Pamulang, Mba?"

"Ya?" tanyaku ragu.

Debar jantungku sudah mengencang. Rasanya mau lepas. Mungkinkah pikiran buruk yang sejak tadi terngiang di kepalaku, kini menjadi nyata?

"Maaf Mba, saya mau mengabarkan, sepertinya ... Ibu Mba jadi korban kejahatan. Saya tadi sudah telepon Bapak, tapi Bapaknya Mba langsung nutup teleponnya tadi."

Aku terdiam. Menelaah satu per satu kalimatnya. Aku nggak mengerti maksud dia apa. Aku nggak mau mengerti apa yang ingin dia katakan padaku. Entah mengapa, perasaanku jadi makin nggak karuan. Tenggorokanku tercekat. Aku kesulitan mengambil nafas.

"Halo? Halo Mba? Maaf ... kami turut berduka cita."

Aku menjauhkan handphoneku dari telinga. Aku nggak mau mendengar ucapan bela sungkawa itu. Maksud dia apa?

Tanganku mendingin, sekaligus gemetaran. Aku ambruk dari berdiriku. Bersandar punggung pada tepian ranjang. Aku sudah nggak mampu lagi, bahkan hanya untuk menyerahkan handphone ini pada Naya yang sedang sibuk membaca di ranjang itu.

Ku pukul-pukul dadaku.

Berat.

Sesak.

Rasanya semakin berat untukku menarik nafas. Berbongkah-bongkah kesedihan seperti sedang menindihku. Menekanku kuat-kuat, hingga aku nggak sanggup mengelaknya.

"Nay ... Naya? Tolong ... tolong angkat ... "

Naya bangkit dari ranjang dengan ekspresi tanyanya. Dia turun ke lantai, lalu duduk mensejajariku. Manik matanya menatapku lekat. Kekhawatiran itu, bisa aku lihat dari bayangan mata Naya. Juga bayangan diriku, yang ikut terpantul di sana. Ternyata, sekilas wajahku mirip dengan wajah yang hari ini begitu ku rindukan. Wajah Ibukku. Wajah yang mungkin, nggak akan aku lihat lagi.

"Lo kenapa?"

Aku menangis. Genangan yang sejak tadi tertahan di mataku mulai mengalir dengan derasnya.

Aku menangis. Menumpahkan segala sesakku dalam nafas yang masih terpatah-patah.

Naya mengambil handphone dari genggamanku yang telah lunglai. Masih terdengar kasak-kusuk suara di sana. Orang itu, belum mematikan sambungannya.

Dalam hati, aku terus merapalkan doa.

Dia salah. Ya, semoga saja dia salah. Pasti yang dia maksud Ibu Rasmiyati yang lain. Pasti seseorang sedang mengerjaiku. Tolong, semoga kalian benar-benar sedang mencandaiku. Ah, ini bulan Mei. Ya, kalian pasti sedang menyiapkan kejutan ulang tahun untukku. Bukankah biasanya seperti itu?

Naya mengangguk beberapa kali, sebelum akhirnya memutus sambungan. Dia mengembalikan handphone itu padaku.

Ibuk ... tolong jangan menyerah, Ibuk. Tari masih butuh Ibuk. Ini bukan Ibuk, 'kan?

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)MASIH LENGKAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang