versi bahasa.

259 6 2
                                    

".......ngie."

".......aengie."

Jari yang dingin bersentuhan dengan pipiku. Ah, rupanya ada seseorang yang berusaha membangunkanku pagi ini. Siapa pun kamu yang sedang berusaha membangunkanku, percayalah, itu adalah hal yang sia-sia karena aku tidak mau sedikit pun membuka mata ini.

"Chaengie, bangunlah."

Tidak mau. Batinku.

Tunggu. Aku sangat mengenal suara ini.

"Maaf, aku harus membangunkanmu sepagi ini."

Ah, jari-jari lembutnya bermain dengan rambutku. Tanpa sadar bibirku membentuk sebuah senyuman. Aku terkekeh senang dalam hati. Apa sebaiknya aku pura-pura tidur saja?

"Aku tahu kamu udah bangun." Jari lembutnya mencubit pipiku pelan. "Kalau masih pura-pura tidur jatah morning hug kamu aku hapus ya."

"Jangan!"

Aku melempar selimut tebalku ke sembarang arah, namun naas, selimut itu justru mengenai wajah Minari.

Aduh bodohnya.

Aku bergegas bangun dari tempat tidur dan berdiri tepat di hadapan Minari yang sedang melipat selimut tebalku.

"Maaf," Ucapku pelan. "Aku nggak sengaja."

Minari menyerahkan selimut yang sudah berhasil dilipatnya padaku, memintaku untuk menaruhnya di atas tempat tidur.

"Aku ada kelas pagi ini, sarapan kamu udah aku siapin. Kamu juga ada kelas kan dua jam lagi?"

Aku mengerutkan keningku. Mencoba mengingat ada kelas atau tidak pagi ini.

"Aku tahu kamu lupa. Nanti cek skejul kelas kamu lagi ya, aku berangkat dulu."

Aku menarik lengan Minari sebelum ia benar-benar keluar dari pintu kamarku. Minari menoleh, ia menatapku bingung. "Ada apa?" Katanya.

"Morning hug aku mana?"

Minari berdecak kecil. "Kalau aku nggak mau?"

"Kamu mau jantung aku nggak sehat?"

Minari tertawa kecil mendengar ucapan asal yang keluar dari mulutku. "Sehari nggak dapat morning hug bisa buat jantung kamu nggak sehat? Aku baru tahu."

"Suer, kamu emangnya mau lihat jantung aku nggak sehat?"

Minari mengerutkan keningnya, ia terlihat berpikir lalu berkata, "Minta mamah aja peluk kamu, aku telat."

"Nggak bisa, harus kamu."

Minari mengangkat alisnya, menatapku bingung. "Kenapa harus aku?"

"Karena..."

Minari berjalan pelan ke arahku. "Karena apa?"

"Karena aku sayang sama kamu?"

"Terus?"

Jaraknya yang semakin mendekat denganku, membuat jantung ini mulai tidak terkontrol. Degupannya mendadak cepat dan kencang. Aku rasa Minari bisa mendengarnya.

"Aku mau meningkatkan kadar hormon cinta aku!"

Aduh gue ngomong apaan sih...

"Kadar apa?"

Wajah bujur telur itu berada tepat di depan wajahku. Aku tertegun dibuatnya. Minari sangat cantik. Lihatlah, betapa cerah dan jernihnya kulit gadis di hadapanku. Tatapan matanya begitu lembut, senyumnya sangat manis.

"Lidah kamu digigit kucing?" Godanya.

"Morning hug aku ih..."

Minari mengecup pipi kiriku, lalu memberikan pelukan hangatnya. Walau hanya dalam hitungan detik, tapi itu membuatku bahagia. Setidaknya hormon oksitosinku akan terus meningkat selama terus bersama Minari.

Ah, hormon cinta sialan.

"Sudah kan? Aku pergi dulu."

Lagi-lagi aku menarik lengannya. Ia pun bingung.

"Apa lagi?"

"Aku sayang sama kamu." Ucapku malu-malu. Apa ada rona merah yang menjalar di sekitar pipiku?

"Aku juga sayang sama kamu, banget malah."

Sialan. Hormon cinta sialan.


•••
Kalau gue ulang ke versi bahasa gimana? Ada orang indo? Malu gue anjir inggrisnya ngaco semua tiga tahun yang lalu wkwk.

She Is My WifeWhere stories live. Discover now