Ketika aku berumur 15 tahun.

101 3 0
                                    

"Berhenti!"

Aku mempercepat langkah kakiku sambil menatap tajam pada pria di hadapan Minari. Keduanya menatap satu sama lain dan terlihat bingung. "Ada apa?" Kira-kira seperti itulah yang aku tangkap dari mimik wajah mereka.

"Chaengie, kenapa kamu berteriak? Ada ap-- "

Aku memotong ucapan Minari, menariknya untuk bersembunyi dibelakang tubuh kecilku.

"Lo siapa berani-beraninya cium istri gue?!!"

Pria itu membelalakkan matanya. Ia terlihat kaget dan juga bingung. Matanya berusaha berkomunikasi dengan Minari dibalik tubuhku. Ia seperti meminta penjelasan padanya.

"Kayaknya ada kesalahpahaman di sini, Chaengie."

Aku menaikkan alis kananku, menatapnya bingung. "Maksud kamu apa?"

"Dia," Jarinya menunjuk pada pria yang masih terlihat kebingungan. "Dia cuma nolongin mata aku yang kemasukan debu."

"Nggak mungkin, jelas-jelas aku lihat dia mau cium kamu."

Ah, sepertinya Minari sudah tidak bisa menahan tawa yang sedari tadi dibendungnya.

"Kok ketawa? Emang ada yang lucu? Aku bener kan? Dia mau cium kamu kan? Jujur aja, biar aku tendang sekarang juga masa depannya."

Minari masih belum merespon ucapanku. Ia masih asik dengan tawanya. Aku menggaruk leherku yang tidak gatal. Apa gue salah lihat? Pikirku.

"Bisa berhenti ketawa nggak? Aku serius nih."

"Kalau bunda nggak salah denger tadi ada yang teriak 'istri istri'." Pintu rumah terbuka. Bunda menatap ke arahku, lalu Minari, dan terakhir menatap pada pria yang masih saja terlihat bingung.

"Dia siapa sayang?" Pertanyaan itu bunda ajukan pada Minari.

"Dia Jackson bunda, kakak kelas aku di sekolah."

Bunda mengangguk lalu berkata, "Kalian nggak mau masuk kedalam? Bunda baru selesai masak loh. Jackson mau makan?"

"Nggak! Dia nggak boleh masuk ke rumah." Aku kembali melayangkan tatapan tajamku pada pria bernama Jackson itu. "Dia mau cium istri aku, bunda. Aku nggak suka."

Bunda menggaruk pelipisnya yang memang tidak gatal. "Istri kamu? Istri kamu yang mana?"

"Minari bunda, Minari istri aku."

Bunda meletakkan tangannya di dada, ia memasang wajah kaget sambil menatapku. "Sejak kapan kamu menikahi Minari? Kok bunda nggak tahu?"

"Bunda...."

Bunda tertawa melihat aku yang hampir merengek. Tangannya mengacak-acak rambutku. "Buru masuk, bunda masak makanan kesukaan kalian berdua. Pasti laper kan sepulang sekolah?"

Aku mengangguk mengiyakan. "Tapi Jackson nggak boleh masuk, dia harus pulang."

"Kamu bilang ke istri kamu." Bunda mengedipkan mata kirinya padaku, lalu kembali masuk kedalam rumah.

Aku menoleh ke arah Minari, mendapati dirinya sedang menutupi mulut dengan tangan kanannya.

"Kamu mau ketawa lagi?"

"Ng- nggak..."

"Tuh kan, kamu ketawa lagi."

Minari terdiam sebentar, lalu berkata, "Apa aku harus panggil kamu dengan sebutan suami?" Ia mendekatkan tubuhnya padaku. Bibirnya membentuk sebuah senyuman nakal.

"Te- terserah kamu..."

Minari mencubit hidungku dengan gemas, lalu terkekeh kecil. Wajahnya ia letakkan pada leherku, sengaja dilakukannya agar bisa menghirup bau tubuhku.

"Bau kamu kayak bayi, aku suka." Dan bibir itu, bibir itu mengecup leherku.

Aku menjerit dalam hati.

Jantungku? Bagaimana dengan kondisi jantungku? Apakah jantungku baik-baik saja? Kenapa debarannya kencang sekali? Kenapa tidak mau berhenti? Rasanya seperti ada aliran darah yang mengalir deras ke tubuhku. Tanganku berkeringat. Aku terus berdebar-debar. Perasaan macam apa ini?



•••

"Ini pernikahan kedua bunda, menikah dengan ayah Mina. Kamu nggak perlu bingung, Jackson. Anak bunda, Chaeyoung, memang suka halu. Maklum, kebanyakan nonton drakor. Kakaknya sendiri dijadiin istri." Bunda tertawa kecil sambil menyantap smoked beef mushroom yang dibelikan oleh Jackson.

Masih kecil udah halu. Gumam J dalam hati.

She Is My WifeWhere stories live. Discover now