Bagian 16

9 3 27
                                    

Bantu vote, commen, dan koreksinya :)

Assalamuallaikum semua😊

.
.
.
.
.
.

"Malik, ini benar kamu? Apa kabar?", ucap wanita yang ada di depanku,  dengan pandangan yang menatap Amira, dalam gendonganku.

"Alhamdulilah, kabar baik."

Jawabku singkat, berniat untuk langsung meninggalkannya di tempat, namun belum sempat aku melangkah pergi, dia kembali bersuara.

"Tunggu sebentar, Malik. Aku ingin bicara sama kamu,"

"Tidak ada yang perlu lagi untuk dibicarakan, saya harus segera pergi, istri saya sudah menunggu."

Jawabku dengan malas, saat mendengar jawaban dariku aku sempat melirik ke arahnya sedetik.  Dia terlihat terkejut dengan mengernyitkan dahinya. Kembali aku ingin melangkah pergi, tapi lagi dia mencoba untuk mencegahku.

"Lima menit, kasih aku waktu lima menit."

"Bicara sekarang!"  dengan terpakasa aku memberi kesempatan dia untuk bicara.

"Malik aku minta maaf atas kesalahan itu, aku-"

"Jika hal itu yang mau dibicarakan,  maaf saya tidak mau mendengarnya, itu sudah selesai." ucapku segera memotong ucapannya dan berlalu meninggalkannya. Baru beberapa langkah, suaranya kembali membuat langkahku terhenti.

"Ayahku sedang sakit, aku tidak tahu harus minta bantuan kemana lagi, aku membutuhkan bantuanmu, Malik. Kamu tahu, aku gak punya siapapun  disini? Tolong aku, demi Ayahku."

Ucapnya penuh dengan permohonan, disertai air mata yang menetes membasahi pipinya. Aku menarik napas kasar.

"Temui saya di kedai kopi, dekat kantor saat jam makan siang!"

Ucapku pada akhirnya, tanpa mendengar jawaban dari wanita itu, aku berlalu pergi meninggalkannya. Pikirannku langsung tertuju pada Khaira. Aku merasa cemas, bagaimana jika dia melihatku saat bicara dengan wanita lain? Pasti dia akan menanyakan siapa wanita itu. Tapi, cepat atau lambat Khaira akan segera mengetahui hal ini.

"Mas, udah dapet cemilannya?"

Suara Khaira menyadarkanku dari pikiranku, sampai tidak sadar ternyata aku sudah berada dekat dengan Khaira. Tanpa perduli tempat, dan banyak orang disekitar kami, aku langsung memeluk Khaira.

"M-Mas? Malu diliatin orang-orang."

Ucap Khaira yang merasa terkejut sekaligus malu. Dengan segera aku melepaskan pelukan kami. Sambil berucap,

"Maafin saya, Khai,"

Ucapku, sambil menoel hidung mancungnya, mencoba menutupi rasa bersalahku atas pertemuanku dengan wanita tadi.

"Mas baik-baik aja, kan? Kenapa tiba-tiba meluk, terus minta maaf segala lagi, malu tau diliatin banyak orang."
Ucapnya berusaha tetap tenang, dengan wajah yang sudah semerah tomat antara malu dan menahan kesal.

"Meluk istri sendiri emang salah?", alibiku

"Tempatnya yang salah Mas", katanya lagi, kali ini dengan wajah yang memberengut kesal.

"Iya deh, saya gak akan ulangi lagi, udah ngambeknya nanti cantiknya ilang loh."

Ucapku mencoba untuk menghilangkan rasa kesalnya. Kulihat dia mulai tersenyum.

"Khai gak salah denger kan, kalau barusan tuh Mas Malik muji Khai cantik?"
Tannyanya mencoba membahas hal lain, yaitu cantik. Selama ini aku memang tidak pernah mengatakan secara langsung kalau Khaira memanglah wanita tercantik di dunia setelah Umi. Bagiku cukup aku simpan di dalam hati. Tanpa diduga aku mengatakannya pada Khaira, hal ini mungkin terasa aneh baginya.

"Iya kamu memang cantik, Khai." jawabku singkat.

"Selama ini Mas gak pernah ada bilang Khai cantik , Khai sempet berpikir kalau Mas nikahin Khai karena terpaksa, merasa kasihan sama Khai yang yatim piatu."

Jawaban yang tidak pernah aku sangka, jadi selama ini Khaira berpikir kalau aku menikahinya karena belas kasihan?

"Khai, saya menikahi kamu karena Allah, bukan karena belas kasihan, saya tidak pernah menilai kamu jelek atau cantik Khai. Maafin saya, kalau saya tidak pernah bilang langsung kalau kamu cantik. Itu gak penting, bukankah setiap wanita di takdirkan untuk cantik? Dan bagi saya kamu adalah wanita tercantik yang sudah Allah kasih buat saya, yang harus saya jaga".

Ucapku sungguh-sungguh sambil melihat ke dalam matanya

"Khai percaya sama Mas Malik. Hanya saja, Khaira juga mau dibilang cantik sama suami sendiri",
Ucapnya dengan senyum mengembang di wajahnya, kami sama-sama tersenyum.

"Mulai hari ini saya bakal bioang kamu cantik terus kalau gitu."

"Kenapa gitu?"

"Biar kamu nya senang, dan saya bisa dapat pahala karena muji istri sendiri."

"Gak gitu, juga".

"Belanjanya udah selesai, kan? Sekarang gantian kamu yang gendong Amira, biar saya yang antre di kasir".

Bertukar alih, aku segera berdiri dibarisan mengantre, untuk membayar belanjaan kami.

****

Setelah memberhentikan mobil, tepat bersebelahan dengan mobil yang sudah lebih dulu terparkir di depan rumah kami. Terlihat ada dua orang yang sudah menunggu kepulangan kami. Azra dan Haura.

"Bang, Mba, kalian akhirnya pulang juga", teriak Haura sambil berjalan kearah kami. Mengambil alih Amira dari gendongan Khaira.

"Kalian habis belanja?" tanyanya lagi saat melihatku menjinjing belanjaan yang kami beli tadi.

"Iya, kan kamu tahu rumah baru masih kosong belum ada isi"

Jawabku asal.

"Amira gak ngerepotin Abang sama Mba, kan? Maafin aku sama Haura udah nitipin Amira, diwaktu yang gak tepat, nih."
Suara Azra yang bergabung dengan kami.

"Santai, Zra Amira juga kan anakku, tidak merepotkan sama sekali, kalau kamu mau, salahin aja istrimu yang masih mau punya waktu berdua sama suaminya."

Sindirku pada Haura, dan langsung mendapat pelototan tajam darinya.

"Sebaiknya kita lanjut ngobrol di dalam rumah, kasihan Amira pasti kecapean."

Suara Khaira yang mampu mencegah pertengkaran aku dengan Haura







Aku kembali, semoga masih pada betah, maaf kalau ceritanya terlalu monoton, boleh kasih sarannya aku tunggu, jangan sungkan. Koreksi kalau salah.

Salam dariku yang masih banyak kurangnya

Semoga kalian selalu bahagia 😇💕


Tentang SetelahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang