Chapter 2: Raven Silvianna

123 13 0
                                    

"Mengenalku dari lama?"

Tentu saja aku tak percaya. Mengetahui namaku bukanlah bukti yang kuat untuk ini. Tapi... ia begitu yakin. Setiap perkataannya... aku tidak mendengar keraguan dari ucapannya. "Bagaimana kau bisa mengenalku?"

Tetapi pertanyaanku sama sekali tidak dijawab olehnya. Ia hanya memperhatikanku dari atas kepalaku sampai ujung kakiku. Lalu, ia pun kembali menghela nafas.

"Kenapa kau tidak menjawabku?" tanyaku padanya dengan tatapan dingin. Jika ia tidak menjawab lagi, aku siap menonjok wajahnya. Seharusnya dari awal aku tidak keluar dari rumah.

Mendadak, pemuda itu bangun dari duduknya. Ia berdiri di hadapanku dan hanya berjarak beberapa senti dariku. Tubuhnya berdiri tegap, sepertinya ia memiliki kebiasaan yang baik. Selain itu, ia menatapku dengan penuh selidik... sebelum akhirnya menatapku dengan tatapan lebih lembut.

"Teganya... Aku masih mengingatmu walau sepuluh tahun telah berlalu. Ingat? Waktu umurmu masih sembilan tahun dan kita sering bermain bersama?" tanyanya dengan senyum ramah di wajahnya. Ia sangat ingin meyakinkanku bahwa kami saling mengenal. "Tapi aku tidak ingat kau memiliki bau amis seperti ini. Kau tidak keramas?"

"Salah satu warga desa melempari kepalaku dengan telur..." jawabku seraya memutar bola mataku kesal.

Ia bilang... waktu umurku sembilan tahun. Haah... kebetulan yang aneh karena aku kehilangan ingatanku ketika aku berumur sembilan tahun. Apa... mungkin dia bisa menjawab pertanyaanku mengenai masa lalu yang tidak aku ketahui? Tapi apa akan ada kebenaran yang tidak ingin aku ketahui?

Rasa takut menggerogoti diriku ketika aku memikirkan hal seperti itu. Apa harga yang akan dibayar jika mencari tahu tentang masa laluku?

"Kau benar-benar mengenalku?" tanyaku sekali lagi dengan harapan ia akan menjawabku kali ini.

"Iya. Sepuluh tahun yang lalu... Waktu yang sangat lama memang, tapi aku masih jelas mengingatmu. Tidak mungkin aku salah, kau Raven Silvianna," ucapnya dengan begitu yakin. Ya... aku tidak menemukan keraguan dalam perkataannya. Hanya dengan cara itu aku tahu ia berbohong apa tidak. "Jika kau benar tidak mengingatku, akan kuperkenalkan diriku lagi padamu. Namaku Nicholas Phantom... apa kau ingat sedikit pun mengenaiku?"

Nama yang tidak asing... Tapi tetap tidak bisa kuingat sedikit pun. Jika begini, hanya ada satu kesimpulan yang bisa kubuat.

Ia mengenalku sebelum aku hilang ingatan.

"Kau datang ke sini karena ingin bertemu denganku?"

"Jujur saja, aku menemukanmu hanyalah suatu kebetulan. Kebetulan yang sangat... beruntung. Dengar, setelah kejadian itu aku—"

Sebelum Nicholas bisa melanjutkan perkataannya, angin lebat menerpa kami. Aku melihat ke arah langit, mencari-cari apa yang menyebabkan angin lebat ini. Namun aku tidak bisa menemukan apapun.

"Sial, ia menemukan kita! Cepat masuk ke dalam rumah!"

Ia? Ia siapa?

Tapi sebelum aku bisa bertanya, Nicholas menarik lenganku dan mengajakku masuk ke dalam rumah. Pintu rumahku langsung dibantingnya. Astaga, jika rusak aku tidak akan memiliki uang untuk memperbaikinya!

Namun dibanding pintu rumahku, aku lebih mengawatirkan pundak kirinya yang kembali mengeluarkan darah. Kerja kerasku... hiks.

"Perlahan... Luka di pundakmu kembali berdarah..." ujarku seraya menyentuh pundak kirinya. "Dan tolong... lepaskan genggaman tanganmu, boleh?"

Nicholas melihat tanganku yang masih digenggamnya dan buru-buru melepaskannya. Ia tampak salah tingkah seraya menaruk tenguknya.

"Siapa yang menemukanmu?" tanyaku akhirnya sebelum aku lupa untuk bertanya.

Magic in LifeWhere stories live. Discover now