Pada kehidupan kedua diriku terlahir sebagai seorang wanita bernama Renata Bloom. Awalnya aku sama sekali tidak menyadari telah masuk ke dalam salah satu novel dewasa dengan banyak bumbu tragedi dan sensualitas. Hei, apa salahnya membaca roman dewasa? Aku tidak bersalah dalam hal semacam ini: Membaca demi mengusir masalah dari dunia nyata yang bersarang di otak. Yah intinya aku menjalani kehidupan keduaku dalam damai bahkan ketika jatuh bangkrut sekalipun. Sampai aku mendengar nama Rafael Verday, tokoh utama pria, terlontar dari mulut sepupuku, Diana Bloom, yang merupakan tokoh utama wanita.
Sekarang jelas sudah alasan aku jatuh miskin dan menderita. Rafael menghancurkan semua bisnis keluarga Bloom dan hanya menyelamatkan Diana. Semua gara-gara dendam masa lalu. Kan kurang ajar mereka menyeretku yang notabene tokoh tidak penting ke dalam peperangan! Aku tidak memiliki kartu VIP pasti selamat! NO WAY. Tidak bisakah Rafael dan Diana berkasih tanpa menyeretku? SIALAN!
Sudah jatuh miskin, jomlo, dan mati. Aku pikir bisa menemui petugas isekai dan meminta perpindahan dunia. Barangkali sebagai anak duke? Putri raja? Orang kaya dengan aset tidak terbatas? HAHAHA mimpi! Aku justru kembali ke masa SMA tepat sebelum bencana dimulai.
Oke, sekarang aku akan mengubah keadaan. Sayonara, hidup susah.
Pertama, merayu Dimitri, antagonis yang akan membantu menyelamatkan usaha orangtuaku dari tangan keji Rafael.
Kedua, bagaimanapun juga Dimitri harus jatuh hati kepadaku. Entah dengan pelet atau tekad. Aku akan membuatnya menjadi pengabdiku dengan cara apa pun. Hanya dia seorang yang bisa menghadapi Rafael.
Ketiga, Rafael boleh bermesraan dengan gaya bebas bersama Diana. Aku tidak peduli! Paling penting ialah, memastikan diriku terlindung dari jangkuan sinyal-balas-dendam milik Rafael.
Sempurna.
BUT, mengapa sepertinya Dimitri terlalu mudah untuk dijinakkan? Hei, seharusnya Tuan Antagonis tidak semudah ini ditaklukkan! Oh lupakan, mungkin aku bisa membuat rencana lain.
Cover by pinterest
Ahvi bukanlah garis keturunan sah dari keluarga Claudian. Maka dari itu, ia harus berjuang keras mendapatkan pengakuan dan secuil kasih sayang dari sang ayah. Namun pada akhirnya, hingga maut menjemput Ahvi, sedikitpun usapan pada rambutnya tak pernah ia rasakan.
Seraya menikmati rasa nyeri di seluruh organ tubuhnya, Ahvi menyadari bahwa ia tak pernah benar-benar menikmati hidupnya. Menikmati apa yang telah diberikan tuhan padanya hanya untuk pengakuan dari sang kepala keluarga yang bahkan tak peduli jika ia hidup atau mati.
Rasa getir menyerbu hatinya. Merasa sia-sia atas segala hal yang telah ia perjuangkan. Berharap akan ada secuil keajaiban yang membawanya pada masa-masa kebebasannya. Masa dimana ia memulai segala perjuangan kosong itu.
Ahvi sungguh berharap.