REISENDER

170 33 33
                                    

Aku baru saja menamatkan sebuah series fantasi, saat atensiku teralihkan ketika menutup laptop. Sebuah suara misterius yang kudengar dalam kepala. Biasanya, ada dua perkara yang sering membuatku begitu. Pertama, ayah bilang gara-gara asupanku: keseringan nonton film dengan efek di dalamnya seperti sihir-sihiran tidak jelas dan terlalu aneh binti melampaui batas otak manusia awam—itu cara ayah menyebut genre fantasy, scifi dsb. Kedua, aku mulai berasumsi bahwa sekarang aku mulai memiliki gangguan kejiwaan. Pasalnya, tak semalam dua malam suara berat nan misterius milik seorang bergender lelaki yang sering masuk dalam kepalaku seenak dengkulnya itu.

Aku sering tak mengindahkan kalimat yang sering dia katakan. Namun, sepertinya suara ini macam punya dendam kesumat padaku. Dia datang tak tahu jam, yang penting saat matahari telah tenggelam di ufuk barat dan aku tengah sendiri di dalam kamar, suara lelaki ini bakal muncul begitu saja secara random.

"Minnete eldea anvagia morigan zee."

Aku berusaha berpikir positif, barangkali suara ini cuma bayang-bayang samar dari obrolan tokoh dalam film-film yang kutonton sebelumnya. Tapi semakin kuberpikir begitu, semakin dia menjadi-jadi. Ayolah! Jangan membuatku susah tidur!

"Minnete eldea anvagia morigan zee," katanya. Lagi. Entah yang berapa puluh kali sejak aku pertama kali mengabaikannya dua malam lalu.

Aku bangkit, menuju kasur dan merebahkan diri. Lampu kamar kubiarkan menyala terang benderang, kalau suara ini bakal mengubah wujud menjadi monster atau yang paling horror seperti hantu sekali pun, aku bakal melihatnya sebagai bukti bahwa aku sungguhan manusia normal yang diganggu makhluk halus.

Kutarik selimut sebatas dada. Nafasku berembus tak teratur, area pelipisku mulai melahirkan bulir keringat. Sekali lagi suara itu menggema dalam kepalaku. Secara pelan namun terasa mengintimidasi secara bersamaan. Setiap kosakata yang dia katakan memiliki nada yang sama, dengan bahasa yang tidak kumengerti sama sekali.

Lalu dia berkata-lagi, lagi dan lagi. Berulang-ulang seperti kaset tape yang rusak. Kesabaranku sudah habis! Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama, atau aku akan kehilangan 100% kapasitas otak normalku. Aku harus memastikan kalau ini semua bukan sekadar imajinasi belaka. Aku harus menyadarkan otakku.

"Minnete eldea anvagia morigan zee ...."

"Minnete eldea anvagia morigan zee—"

"Tolong jangan pakai bahasa sansekerta."

Hening menyambut sejenak. Dalam beberapa detik, suara itu kembali muncul. "Riwayat hidupmu. Sudah jelas kukatakan berkali-kali. Sekali lagi kuberitahu, kau memiliki satu kesempatan untuk mengunjungi masa lalu, kau ingin pergi ke tahun berapa?"

"2016—hah, apa?!"

"Diterima, Bung. Baiklah, jangan mengacau di sana, karena jalinan waktu tidak sebersahabat yang kau kirakan, kalau kau membuat kekacauan atau mengambil keputusan yang ceroboh, kronik akan kacau, mengubah kisah takdir seseorang di masa depan. Seperti chaos teory—"

"Tunggu! Kau ini bicara apa?!"

"—dan satu hal lagi, jangan membuat kontak dan interaksi secara langsung dengan siapa pun atau apa pun di sana—"

ReinsenderWhere stories live. Discover now