𝐊𝐚𝐥𝐮𝐭

51 9 0
                                    

Mendung. Jelas, malam tidak bersahabat. Dan wira manis; Jaemin, masih bertahan. Ya, dia yang sedang tunduk pada asmaraloka, mana ingat akan logika.

Dengan sapuan bayu yang melahirkan gigil dan bertemankan pikiran yang ribut, Ia sabar menanti. Jeno, pemegang kunci hati sudah berjanji. Malam ini, akan mereka lewati bersama. Bayar habis rindu yang ditabung dengan pelukan hangat yang siap di bagi.Meski, Jaemin tahu. Ajakan Jeno malam ini, akan lahirkan potongan cerita yang tidak pernah Ia amini hadirnya. Tapi tadi, mana Jaemin peduli.

Lantas Jaemin ayunkan kedua kaki, mulai bersenandung. Simfoni elegi. Bermaksud memecah hening, buyarkan kalut. Pun titipkan takut. Karena beribu andai yang sudah tersusun rapi, harus rela Ia hapus.

"Jaemin-ah." Jenonya sudah tiba.

Setelahnya, dalam pelukan dingin malam dan berpayung mendung, keduanya berlomba perihal rindu. Rindu siapa yang paling berat. Angan bertemu siapa yang paling besar. Juga, adu rayu sarat puja. Setelah habis semua kata, mereka tutup dengan tawa.

Ah, jika arutala di balik awan bisa bersuara, mungkin bisikan lirih iri menjadi musik untuk keduanya. Tawa itu, mereka hias pendar dama pada netra. Sedang hati, riuh sampaikan jutaan nestapa.

"Jeno."

"Ya?"

"Boleh batal aja, gak? Tujuan kita ketemu?"

"Maaf."

"Yaaah. Ya udah deh. Tapi, bentar lagi, ya? Belum siap."

"Iya, boleh."

Hening.Bukan hening yang nyaman untuk Jaemin. Karena faktanya, ada banyak topik di dalam kepala Jaemin. Ada banyak kata; rasa yang Jaemin harap bisa tersampaikan. Namun, Jaemin memilih bungkam. Karena Ia sadar, ke mana pertemuan ini akan berlabuh; ke mana semua rasa ini harus luruh. Pendar cinta yang Ia jaga, sudah harus siap dan rela Ia padamkan. Terlepas setelahnya, lara yang menjadi teman untuknya.

Sadar. Jaemin menjadi orang pertama yang hadirkan jarak. Merubah posisi duduk untuk lurus menghadap ke depan. Menghindari presensi Jeno tertangkap netra. Kali ini, Jaemin lebih rela indra dengar yang menabung memori.

Menautkan kedua tangannya, Jaemin hela nafas.

"Jen." Ia akhiri hening.

"Udah?"

"Udah."

"Gak mau lihat aku?"

"Hehe..."

"Ya udah.

Jaemin, maaf. Rasanya melawan semesta demi cinta aja, aku enggan. Apalagi pemilik kunci kehidupan. Masih banyak agenda hidup yang lebih pantas kita perjuangkan, lebih dari sekedar perihal rasa.

Percaya, baranya hanya di awal masa, makin habis hari kita bersama, semakin memudar Ia.

Dan aku, Jeno, benar enggan untuk semua itu. Terlepas benar. Aku juga menyimpan rapi pendar yang serupa. Sama jatuhnya.

Tapi maaf. Aku memilih menjadi pengecut dan mengalah pada rasa. Aku harap, kamu selalu bahagia."

Dengan terucapnya kalimat itu, Jaemin sudah harus memadamkan pendarnya. Melupakan seribu andainya. Meluruhkan segala cintanya.

Jaemin, tidak perlu merelakan harinya habis akan berjuang tentang cinta sendirian. Karena perihal cinta, manis pahitnya harus jadi rasa dua pihak. Menjadi beban dua pundak.

Jika jelas tidak berbalas, untuk apa Ia memaksa. Sedari awal, harusnya Jaemin berlutut pada logika. Bahwa nyatanya, kisah cinta antar wira saja sudah sulit mencapai bahagia. 

Apalagi ini, wira dengan arah meminta yang berbeda. Pada siapa Jaemin menitip pinta?

Tapi sudah. Sesal tentu sudah jadi manis yang Jaemin telan. 

Jaemin ini, hanya satu dari banyak nama yang belum mendapat indah tentang cinta. Belum berjodoh dengan peluk merah muda jatuh hati. Berbagi kasih. Saling titipkan bahagia. Belum.

Amini saja, asa Jeno tadi. Siapa tahu, begitu retakan dan patahan tersusun kembali, bahagia lain sudah menanti. Satu nama baru; rasa baru siap jadi pengganti.

"Jaemin?"

Haha, Jaemin lupa. Ia masih di sini. Bersama musabab patahnya.

"Jatuh cinta tidak sesederhana itu."

"Jatuh cinta tidak semudah itu."

"Jatuh cinta tidak seindah itu; jika jatuh seorang diri"

"Tapi, jatuh cinta tidak semurah itu untuk disalahkan."

Nasihat Renjun kembali terdengar.

Lebih dari biasanya, hangat rengkuh Renjun, telalu Jaemin rindukan; butuhkan detik ini.

"Sakit, Jen."

"Sama, Jaem."

"Tapi indah, ya? Alur cerita yang semesta kasih. Dari pertemuan sebagai teman mencapai mimpi yang sama. Berjuang dan jadi bahu untuk satu sama lainnya. Selalu ada. Jadi teman berbagi juga."

"Terbiasa. Jadi yang paling mengerti juga." terima kasih Jeno sudah melanjutkan.

"Maaf ya, sudah menaruh merah muda. Menitipkan hati."

"Maaf juga karena gak nolak. Padahal tau, kalau aku gak akan berjuang untuk itu."

Rintik hujan cemburu. Kini, dengan egonya Ia guyur dua hati yang penuh luka itu. Paksa kata berteduh menjadi penutup pertemuan.

"Jeno. Terima kasih. Untuk banyak cerita yang aku tulis dengan merah muda, biarkan jadi milikku, ya? Sisanya terserah akan seperti apa. Tapi semoganya, canggung dan sungkan bukan menjadi kita di esok hari! Arunika akan hadir sebagai tanda, bahwa kesempatan baru selalu ada. Anggap aja, hujan malam ini jadi pembasuh merah muda. Esok, kita bersua sebagai teman biasa. Boleh, ya?"

"Dengan senang hati. Titip maaf untuk segala patah dan retak, ya?"

"Hmm! Sudah dimaafkan. Kalau gitu, kita berpisah untuk kita?"

"Iya. Ketemu lagi besok, Jaemin Na."

"Hm. Jeno Lee."

Yang satunya lantas segera berlari menuju tujuan. Berteduh, menghindari basah. Sedang satunya, diam menatap iba. Lantas menutup mata, dengan tangan tertangkup didepan dada, Ia panjatkan satu doa.

Tuhan. Engkau pemilik dan pengatur segala cerita. 

Jika di kehidupan ini, aku tidak bisa berujung kita dengannya. Bisakah di kehidupan lain, kami menjadi kita? Dengan segala rupa merah muda yang menemani upaya. Bahkan, aku rela terlahir sebagai perempuan, menjadi bayaran untuk hati manisnya yang patah. 

Dan untuk malam ini, tolong. Berikan satu hati tegar dan manis lain untuk menemaninya, menyusun kembali semua patahan.


[𝐊𝐚𝐥𝐮𝐭]

Karena itulah, setelah kepastian bahwa patah, menjadi akhir merah muda jatuh hatinya. Jaemin habiskan malam ini dalam rengkuh hangat Renjun. Si pemilik hati tegar dengan manis lain. Titipan Jeno pada semesta untuk hati manis yang sudah Ia patahkan.


Tabungan Diksi kita di cerita ini!

Asmaraloka : dunia cinta kasih.

Bayu : angin.

Simfoni : musik yang ditulis untuk orkes yang lengkap.

Elegi : sya'ir atau nyanyian yang mengandung ratapan.

Dama : cinta kasih.

Arutala : rembulan.

-----------------------------------------𝐒𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢!--

𝐊𝐚𝐥𝐮𝐭 | NoMin✔Where stories live. Discover now