Mama

2K 111 11
                                    

New terbangun dari tidurnya pukul tiga pagi, masih sangat lama dari jam seharusnya dia bangun.

Tubuh telanjangnya hanya berbalutkan selimut tebal milik sang kekasih, dia kemudian bangkit dari ranjang, menggulung tubuhnya dengan selimut itu dan pergi ke balkon condominium milik Tay.

New menatap bulan yang bersinar terang malam ini, ditemani semilir angin malam yang bisa membuatnya tenang sebentar.

Tidak lama, setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Namun, langsung dihapus begitu saja seolah tidak ingin mengotori malam penuh cinta dengan kekasihnya.

"Kenapa kebangun?" Suara lembut itu terdengar, masih serak khas orang yang baru bangun tidur.

Tay menghampiri New, dengan hanya menggunakan boxer sebagai pelindung tubuh lelaki itu. Di dada-nya terlihat banyak bekas kemerahan, tanda cinta dari pacar manisnya.

New menggeleng pelan, "Nggak papa, tiba-tiba kebangun aja." Balasnya.

Tay duduk di sebelah New, mendaratkan kepala lelaki itu di bahunya, meminta agar dia dijadikan sandaran dan tumpuan cintanya.

"Te." Panggil New.

"Hm?"

"Mama Wira masih belum setuju, ya?" Pertanyaan New membuat Tay mematung seketika, belum siap untuk menjawab pertanyaan yang bisa membuat hatinya berdenyut nyeri.

Namun, dia tahu. Cepat atau lambat, semua ini akan dihadapinya.

"Belum." Balas Tay, seadanya.

"Mama Wira bilang apa kemarin?" Tanya New lagi.

Tay menolehkan kepalanya ke samping, arah berlawanan dari bahu yang menjadi sandaran New. Mencoba menghalau rasa nyeri dan getaran di bibirnya.

"Mama nyuruh aku buat milih kamu atau dia."

New tahu, dia tahu dengan pasti hari ini akan tiba.

"Kamu jawab siapa?"

Tay menggeleng pelan, "Aku kabur."

New menghela napasnya, "Kenapa? Harusnya kamu langsung pilih Mama loh, Te. Dia pasti sakit hati banget."

"Aku sayang kamu, Hin."

"Aku tahu, makanya aku suruh kamu pilih Mama. Jahat kamu kalo pilih aku." New membalas sambil tersenyum.

"Aku sayang kamu."

"Aku juga, tapi aku tau kamu pasti lebih sayang Mama Wira, kan? Dia yang lahirin kamu loh, Te." New mengangkat kepalanya dari bahu lelaki yang sudah dicintainya selama lima tahun belakangan. Kemudian menangkup pipi kekasihnya yang sudah berlinang air mata.

Entah sejak kapan air mata Tay mulai berlomba-lomba keluar, ini menyakitkan. Sungguh.

"Dengerin aku, ya? Kamu nggak perlu ragu buat milih, Te. Mama Wira yang udah lahirin kamu, udah besarin kamu sampe jadi laki-laki yang hebat, udah ngasih sayang ke kamu banyak-banyak—" Mata New berkaca-kaca melihat pandangan penuh luka orang di depannya.

"—aku? Aku cuma orang baru di hidup kamu. Kalo pacaran sama aku bikin kamu jauh sama Mama, aku nggak papa ngelepas kamu kok."

Bohong.

Tay tahu kekasihnya berbohong, Tay tahu mata itu juga menyiratkan luka sama seperti yang dia rasakan.

Namun, mereka berdua tahu bagaimana akhirnya.

"Aku yang nggak rela, aku nggak mau." Balas Tay, bagaimana bisa dia disuruh memilih salah satu dari belahan jiwa-nya? Bagaimana dia bisa hidup dengan baik tanpa salah satunya?

"Te, aku sayang kamu. Jadi, nggak perlu ragu lagi, ya?"

Tay menggeleng pelan, "Kenapa kita salah di mata Mama? Aku sayang kamu, Hin."

"Hei, kamu hidup dua puluh lima tahun tanpa aku aja bisa, ditambah dua puluh lima tahun dan lebih tanpa aku, pasti juga bisa, kan? Kan ada Mama—"

"—Te, inget ya. Aku sayang kamu. Selalu. Mungkin belum sekarang, bisa jadi nanti atau mungkin di kehidupan selanjutnya kita baru bisa bareng terus. Jadi, pilih Mama ya?"

"Maaf, Hin." Tay menangis sejadi-jadinya di bahu New, memeluk kekasihnya erat-erat seolah akan hilang sebentar lagi.

New mengusap-usap bahu kokoh itu, dia pasti akan sangat merindukan lelaki ini. Dia pasti akan sangat merindukan senyumnya, tawanya, perhatiannya, bahkan segala tingkah konyolnya.

New bahkan belum bisa membayangkan bagaimana kehidupannya kelak tanpa Tay di sisinya.

Mampukah dia?

Sepertinya tidak.

Tapi, dia harus.

"Aku besar di panti asuhan, jadi aku ngga tau gimana rasanya. Tapi aku bangga, pacarku ini mau berjuang untuk Mama-nya. Aku sayang kamu, Sun. Janji buat bahagia sama sehat terus ya?"

Tangisan itu makin keras, tidak ada raungan, tapi New tahu kekasihnya sedang hancur. Sama sepertinya.

"Salam buat Mama, besok aku pergi, oke?"

"Hin, mau ke mana?" Tay bertanya, khawatir. Haruskah secepat ini?

"Nggak tau? Tapi, aku pamit pergi, ya? Suatu saat, kalau Tuhan mengizinkan, kita ketemu lagi."

Tay menggenggam erat tangan itu sembari menggelengkan kepalanya kuat-kuat, dingin.

Tidak ada kehangatan yang biasa dia dapatkan di sana.

"Aku sayang kamu banget. Maaf, Hin."

Diciumnya dengan lama tangan yang biasa memeluknya di setiap kondisi itu, dirinya hancur. Tapi, dia tahu New jauh lebih hancur.

'Aku sayang kamu, Hin. Maafin aku yang pengecut ini, ya? Maaf nggak bisa merjuangin kita. Kamu bakal selalu ada di hati aku sampai aku ngga bernafas nanti. Selamat tinggal, cintaku. Aku mencintaimu.'

End.

Depok, 25 April 2021.

Tay & New ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang