The First and The Last

993 142 32
                                    

Jepang, 4 Agustus 1940







Ayunan besi di samping sekolah menengah atas perkotaan itu bergerak maju mundur dengan perlahan. Seorang pemuda menggenggam secarik kertas bertulisan tangan dengan tinta hitam yang tergores.

Surai lembut berwarna kelam tertiup halus oleh angin, berjatuhan menutupi wajahnya yang rupawan. Jaemin ingin sekali menangis, menumpahkan segala keresahan hatinya saat ini juga. Namun untuk apa? Sia-sia juga jika dia melakukannya.

Semuanya tidak akan kembali seperti semula. Yang sudah hilang tetap hilang, yang sudah rusak apalagi, tidak mungkin bisa menjadi baru lagi.

Jemarinya memerah karena suhu yang mulai mendingin. Perkiraan musim gugur jatuh bulan September nyatanya hanya wacana semu, bulan Agustus saja sudah mulai terasa mencekam, bulan depan sepertinya Jaemin hanya akan bergelut dalam selimut.

"Kau kenapa?" Suara seorang pemuda membuyarkan lamunan Jaemin. Manik coklatnya bergerak untuk menemukan kapten baseball sekolahnya sedang berdiri di dekat ayunan.

"Kau siapa dan kenapa ingin tahu?"

Kapten atletis tersebut lantas duduk bersila tepat di depan Jaemin, tersenyum lembut dan memiringkan kepalanya. "Aku tidak mungkin membiarkan teman sekelasku bersedih, sedangkan aku sendiri berlari kesana kemari seperti orang dungu"

Jaemin terkekeh pendek, tangannya dengan cepat melipat kertas yang tadi digenggamnya dan memasukkannya pada kantung jas seragamnya.

"Aku Yukimura Date, kita sekelas di tingkat kedua tahun ini" Jeno mengulurkan tangannya pada pemuda cantik di depannya, memiliki niat untuk berkenalan dengan anak orang kaya raya itu.

"Musashi Haruki , senang berkenalan denganmu Kapten Date"

Jaemin menerima uluran tangan Jeno, bersalaman sebentar agar perkenalan sore hari itu menjadi resmi dan pasti diingat.

Pemuda yang dipercaya memiliki darah orang Barat yang ada disana menipiskan bibirnya, bingung ingin bertanya kepada si cantik atau tidak. "Kau juga suka baseball, Haruki?"

Si cantik tersenyum tipis, "Olahraga bukanlah bidangku, Kapten. Hanya saja sejak tingkat pertama para gadis di kelasku selalu membicarakanmu dengan lantang. Aku yang awalnya tidak tahu, mau tidak mau menjadi tahu"

Jeno terkesima, teman sekelasnya ini seperti bisa membaca pikirannya, "Lalu? Hal apa yang menjadi favoritmu?"

"Buku dan parfum. Aku selalu menyukai dua hal itu"

"Kau suka literatur strategi perang?"

"Tidak. Aku suka buku romantis"

"Kapan-kapan mau mampir ke rumahku? Kakak perempuanku juga penggila novel romantis sepertimu"

Jaemin mengangguk, mengiyakan jika ia mau untuk mampir ke rumah pemuda tampan teman sekelasnya itu. Ia menolehkan kepalanya untuk melihat pada langit yang semakin gelap, jika ia tidak tiba secepatnya di rumah, ibunya pasti akan sangat sedih.

Si cantik menghela napasnya kasar dan berdiri untuk merapikan seragam serta mengalungkan tali tas sekolah di bahunya. Ia menatap pada kedua manik hijau Jeno sambil mengeratkan tangan kanannya pada tali tas miliknya.

"Kau tidak pulang, Kapten?"

Pemuda yang dimaksud pun lantas berdiri dan membersihkan tanah yang menempel pada seragamnya, "Tentu saja pulang. Mau berjalan bersama ke parkiran sepeda?"

"Aku harus menelpon supir keluargaku untuk pulang, aku tidak bisa naik sepeda"

Jeno mengernyit bingung, hari ini sudah terlalu petang jika Jaemin memaksa untuk menunggu di sekolah sendirian. Ia sendiri juga tidak tega meninggalkan pemuda dengan mata lebar tersebut duduk termenung menunggu sang supir keluarga. "Kau mau kuantar pulang? Daripada harus menunggu supirmu menjemput"

An Immortal WayWhere stories live. Discover now