Gloomy Sunday

2K 168 10
                                    

Orang-orang menyebutnya Penyanyi di Kala Senja. 

Jeongguk pribadi mengenalnya lewat selebaran yang dipasang di tiap dinding kota. Entah alasan macam apa yang mendasari pemilihan kata julukan tersebut. Hanya bisa berasumsi bahwa siapa pun penyanyi ini, pastilah dia hanya bernyanyi atau naik panggung pada saat malam tiba.

Devil's Cry adalah satu-satunya tempat yang masih terang-benderang di hari pertama Jeongguk tiba di Bree; kedinginan dan sangat butuh makan. Kudanya, Rafael, meringkik sedih. Oke. Memang mereka butuh singgah. Tak bisa mengambil risiko karena Jeongguk pun butuh istirahat.

Rafael ditambatkan di antara kuda-kuda lain; saling menyapa sembari mendenguskan napas berbau perjalanan. 

Melewati pintu kayu reyot di bawah papan nama berlampu neon manyala, Jeongguk disambut oleh suasana bar yang ramai. Orang-orang saling berbicara, melempar candaan, meneriakkan pesanan. Satu grup were di sudut ruangan tengah bersulang, seorang vampir memperhatikan kelompok itu dengan kebencian membara. Ah, ya. Vampir adalah makhluk sombong dan penyendiri; sangat berbeda dengan para were.

Seorang pria manusia tambun melewatinya, menabraknya tanpa permintaan maaf. Sekerat besar daging di tangan kanan dan tiga gelas besar bir di kiri. Kilat merah melintasi manik oniks Jeongguk dan si pria terpeleset memalukan.

Vampir memang sombong, namun demon lebih arogan. Terlepas dari kenyataan bahwa Lucifer menendangnya ke bumi, Jeongguk menolak direndahkan. 

Tugas mulia menyesatkan makhluk hidup memang sudah tak dipikulnya, namun Jeongguk tak keberatan membantu. Kilat merah lagi, dan kini si pria tambun mendorong telak seorang pengunjung. "Kau pikir lucu menjegal kakiku, Pak Tua Jenkins?"

Jeongguk menghindar kala pertarungan dimulai.

Hampir mendekati bar di tengah ruangan, seorang pelayan fae mendatanginya. Berwujud gadis belia yang langkahnya ringan dan membawa serta bau pepohonan dan bunga musim semi. 

"Ah. Seorang demon." Manik keungunan si fae berkilat tertarik. Jeongguk bisa melihat kepak sayap—yang tak tertangkap mata manusia biasa—bergerak penuh semangat. "Sori. Tapi kami tidak sedang menyajikan makanan Halloween seperti potongan jari asam manis atau sup bola mata."

Sang demon mendengus. Humor kotornya boleh juga. "Berikan aku makanan normal, Katrina," katanya; nama itu muncul begitu saja dalam benak, tak pernah salah. "Yang hangat. Dan kudaku juga."

"Oh. Apakah kau menaiki unicorn?"

Jeongguk memutar bola mata. "Nanti. Kalau aku berhasil menggantikan tahta seraphim," jawabnya, menghadirkan seringai nakal si fae yang lantas menuliskan sesuatu di buku kecil tanpa sedikit pun menyentuh pena. "Dan buat makanannya hangat. Tolong."

"Untuk ukuran makhluk jahat kau cukup baik dan sopan, demon." Menggerakkan sendok dan garpu serta segelas besar bir dingin, Katrina memutar tubuh. Dia meninggalkan sisi Jeongguk, bersamaan dengan terdengarnya pekik mikrofon dari pengeras suara.

Seperti magis; riuh rendah obrolan mendadak hilang. Dari ujung hingga ke ujung lagi. Para manusia saling tutup mulut dan mendiamkan teman semeja mereka, pun aroma keingintahuan yang besar membumbung ke udara. Jeongguk bahkan merasa bisa mendengar napasnya sendiri. Asap rokok melayang tanpa beban; seolah membuka tabir pandang ke arah panggung yang kini berpenghuni.

Pertunjukannya dibuka dengan nada G minor, sekejap membangun keputusasaan dan kesedihan mendalam. Jeongguk bahkan tak sadar menahan napas.

Sunday is gloomy ….

Lirik pertama dari lagu yang dibawakan.
Wajah penyanyinya tak terlihat jelas lantaran pencahayaan yang buruk. Cukup suaranya—mampu menyihir segenap makhluk dalam ruangan duduk diam dan menunduk.

Soon there'll be candles and prayers that are sad, I know ….

Telinga terbuka lebar. Dalam pikiran, Jeongguk menuliskan lirik demi lirik. Lagu sedih yang amat menyedihkan. Hidup dalam pertanyaan dan keinginan mengakhiri hidup.

Menuju tengah lagu, teriakan melengking terdengar dari meja tengah. Diikuti tangisan hebat setelahnya.

Jeongguk hampir mengira akan ada nyawa yang melayang, karena demi Tuhan, hatinya tersayat. Ikut merasakan derita mendalam yang entah datang dari mana. Jika dia ada di sini seorang diri, mungkin dia akan berakhir menggantung dirinya sendiri. 

Magis itu tak bertahan lama; untungnya. 

Detik pertama setelah lirik terakhir, seakan ditarik dan kembali pada dunia nyata, bar kecil ini kembali hidup. Derak tawa di mana-mana, teriakan pesanan ditujukan pada mereka yang ada di dapur. Pertengkaran akan sekerat daging pun terjadi lagi. Para vampir kembali pada makan malam mereka—pesanan, ataupun langsung dari korban.

Hidangan Jeongguk sendiri baru sampai di meja.

Si pelayan fae memastikan tamunya menerima.
"Ternyata dia sedang sedih malam ini."

Alis Jeongguk mengerut. "Dia? Siapa?"

"Yang tadi bernyanyi, duh." Bola mata ungu berotasi. "Kau tak pernah mendengar tentang siren, ya? Makhluk seram dari lautan yang menarik korban mereka dengan nyanyian."

Kini, ganti Jeongguk yang memandang remeh si fae. "Aku tahu apa itu siren. Terima kasih. Tapi kenapa dia bisa ada di sini?"

Sama seperti pertemuan di awal tadi, Jeongguk bisa melihat sayap peri Katrina mengepak penuh keingintahuan. Lantas, meletakkan nampan kayu di meja—tanpa peduli—dan duduk di kursi bar sebelah Jeongguk, si pelayan mencondongkan tubuh. Dalam suasana hiruk-pikuk begini, suara bisikannya masih mampu sampai ke telinga sang demon.

"Pemilik Devil's Cry adalah pria manusia yang licik dan kejam. Dan dia menyekap seorang penyihir wanita di lantai bawah tanah pondoknya." Katrina memberitahu. "Sebelum siren itu datang, bar ini hampir bangkrut. Tidak ada yang mau melirik bar kecil dan kumuh di pinggiran kota, kan? Saat itu, dia benar-benar mengurung dirinya untuk berpikir. Hingga akhirnya, berita tentang seorang nelayan yang mati tercabik-cabik sampai ke telinganya."

"Dan nelayan itu adalah—"

"Sisa makanan si siren."

Oke, baik. Katrina meneruskan kalimatnya seringan satu tambah satu sama dengan dua. Tapi, tidak. Bukan itu sebenarnya yang kini memenuhi kepala Jeongguk.

Bukan alasan, atau bagaimana caranya makhluk itu diseret jauh dari perairan. Bree adalah kota kecil di pegunungan, demi Tuhan. Dan lagi, sesuatu dalam suara sang siren menariknya. 
Bahkan ketika suaranya tak lagi memenuhi bar kumuh ini.

Jeongguk harus tahu. Dan apa yang dia inginkan, akan dia dapatkan.

#.

[✓] Love is a Bitch • KOOKVWhere stories live. Discover now