First to know

184 9 0
                                    


Villa sewaan kali ini cukup sederhana untuk ukuran sebuah band yang sudah 10 tahun lebih malang melintang di dunia hiburan. Lima kamar tidur yang dilengkapi dengan kamar mandi serta kolam renang yang cocok untuk bersantai di sore hari bersama keluarga.

"Ndah, sini deh, ikut celup-celup kaki kayak gue," ajak Mbak Dewi, istri Mas Andi, vokalis band, Leo-N. Berjalan perlahan, aku menghampiri posisinya yang sedang duduk di samping air terjun mini yang terletak di ujung utara kolam renang. Mbak Dewi terlihat senang sambil tetap mengawasi suaminya yang mengajari anaknya berenang.

"Gue lagi mens, mbak," jawabku pelan saat mencoba berjongkok di samping Mbak Dewi.

"Oops... sorry, nggak ngerti," Mbak Dewi menjawabnya sambil nyengir. "Kok bisa-bisaan sih lo ke sini pas lagi mens?!"

"Plis, mbak... bukan gue juga yang milih tanggalnya kali."

"Laki lo apa gak senewen pas tau lo lagi dapet kayak gini?" Senewen? Ya kali, Ian senewen karena hal yang bukan jadi urusan dia.

Mengalihkan pembicaraan, aku berkomentar, "Anak lo seneng banget ya, mbak, dikelilingi cowok cakep-cakep, berasa kayak princess yang direbutin raja-raja kaya raya tujuh turunan gitu."

"Gue jadi pengen punya anak yang lucu-lucu deh, Mbak Dew," sahut Mbak Andara, pacar pianis Leo-N, Mas Robert.

"Lo udah dilamar belum sama Robert?"

"Ya belum sih, mbak, tapi kan gue udah program juga sama si Robert, hehe."

"Sialan lo," sahut Mbak Dewi sambil menyiram Mbak Andara dengan air kolam.

Kalau obrolan sudah merembet ke ranah pribadi, pelan-pelan aku menjauh dari mereka atau kalau kesulitan, aku bakal mengalihkan pembicaraan biar tidak terlalu personal.

"Mbak Lala sama Mbak Mita ke mana, ya?" tanyaku.

"Setengah jam yang lalu sih pamitan mau ke supermarket, katanya beli bahan makanan buat dinner nanti."

"Lama sih kayaknya, Ndah, kan jauh juga tempatnya."

"Oh... kalau gitu, gue ke kamar, ya," pamitku pada Mbak Dewi dan Mbak Andara.

"Pusing?" tanya keduanya barengan, mereka sedikit banyak tahu tentang keadaanku saat sedang datang bulan.

"Dikit," jawabku sambil nyengir.

"Lo bawa obat, kan?" tanya Mbak Andara khawatir.

"Bawa kayaknya, ntar gue cek di tas. Gue ke kamar, ya?"

"Kalau nggak bawa, ntar lo suruh Ian minta ke gue, ya? Lo nggak perlu ke mana-mana, biar Ian aja lo suruh-suruh."

"Thanks, mbak-mbak yang cakep dan baik hati yang pasangannya cakep-cakep." Ucapanku hanya dibalas dengan cebikan bibir oleh keduanya.

Melangkah ke kamar dengan perlahan, aku menyempatkan mengambil air putih di dapur. Setelah botol minumku terisi penuh, aku memandang ke arah kolam, melihat semuanya terlihat bersenang-senang di liburan kali ini. Kalau ini selesai gue bakal kehilangan mbak dan mas yang baik-baik, Ya Tuhan.

Semenit berselang, aku masih berdiri memandang ke arah kolam, pandangan Ian tiba-tiba bertemu dengan mataku. "Lo nggak papa?" tanyanya tanpa suara, yang hanya kujawab dengan mengangkat jempol ke atas dan tersenyum. Setelah melihat kode yang kuberikan, bahu Ian tiba-tiba dinaiki oleh Ilana, anak Mbak Dewi dan Mas Andi, atensi Ian seketika beralih ke Ilana.

Memasuki kamar, aku membaringkan diri dengan posisi menyamping. Plis, kram dan pusing, go away, gue mau liburan dengan nyaman di sini.

~

Masih dengan memejamkan mata, aku mencari ponsel yang berbunyi karena alarm yang aku set sebelum tidur tadi. Beberapa detik kemudian, alarm-nya mati, sambil memegangi perutku yang masih kram, aku mencoba duduk.

"Mau gue ambilin sesuatu, Ndah?" tanya Ian tiba-tiba.

"Sumpah, jantung gue mau copot, Yan," sungutku. Sebisa mungkin aku mencoba duduk sambil memberi sanggahan bantal di punggung dan di perut.

"Lebay."

Mengabaikan komentar Ian, "Tolong ambilin pouch obat gue dong, Yan."

"Di mana?"

"Coba cari di koper kita deh. Kalau nggak ada, minta tolong cek di mobil, ya. Thanks." Setelah mengatakan itu, mataku terpejam lagi, tapi bibirku tetap mendesis lirih, karena kram kali ini lumayan lama hilangnya.

"Pake itu dulu deh, coba." Membuka mata, aku melihat Ian menunjuk kantung air panas di samping ponselku.

"Nggak ditaruh di kasur juga dong, Yan, kalau rembes gimana?" omelku padanya dengan suara pelan, yang hanya disahuti dengan kedikkan bahu oleh Ian. Sebelum menutup pintu, Ian berbicara dengan Mas Andi di telepon menanyakan kunci mobil.

"Baik juga tuh anak," gumamku pelan. Mengangkat kantung, aku langsung menatap pintu yang ditutup Ian barusan. "Sial, nggak panas kayak gini juga kali, Yan." Entah Ian masih bisa mendengarku atau tidak, aku tidak peduli.

Lima menit berselang, Ian sudah kembali dengan pouch obat dan sebotol air mineral. "Lain kali tuh dicek dulu kalau mau pergi-pergi, obat lo masih banyak atau udah habis." Membuka mata, aku melihatnya mengeluarkan obat dari kantong celananya.

"Dapet dari mana lo?" tanyaku mengabaikan omelan Ian.

"Mbak Dewi."

"Thanks," ucapku sambil menerima obat dan air mineral yang disodorkan Ian. Pouch obat milikku dia letakkan di dalam koper. "Lo kalau mau makan, duluan aja, gue setengah jam lagi udah mendingan kayaknya."

"Okay."

~

Keluar kamar, aku melihat Mas Andi yang sedang mencoba membuka pintu kamar di depannya sambil menggendong Ilana. "Gue bantu bukain, mas."

"Thanks, Ndah. Mendingan lo?" tanya Mas Andi padaku saat pintu sudah terbuka.

"Udah, mas."

"Syukur deh. Coba deh lo beneran kawin sama si Ian, katanya bisa nyembuhin kram di perut loh."

"Ide lo bagus banget sih, mas, tapi ya nggak sama Ian juga kali. Dua tahun lagi deh, bakal sembuh gue."

"Iya kalau lo langsung dapet suami ntar."

"Astaga, doanya bapak-bapak beranak satu ini?!" jawabku dengan suara yang agak keras.

"Berisik lo, Ndah. Anak gue ntar bangun?!"

"Sorry," jawabku sambil berbisik. "Nggak enaknya gini nih kalau lo punya kartu as gue."

"Salahin Ian noh, ngapain minta saran sama gue."

Right NowWhere stories live. Discover now