Prolog

8 3 4
                                    

Ketenaran. Persahabatan. Kekayaan. Cinta. Masing-masing manusia pasti punya tujuan ia hidup, bukan? Entah itu hanya sebuah hal kecil hingga hal yang sangat tidak masuk akal. Sudah seharusnya mereka mempunyai salah satunya, bukan?

Tapi ada apa denganku? Apa yang ku tuju? Ketenaran? Bahkan untuk hobi saja aku tidak memilikinya. Persahabatan? Bahkan untuk berbicara dengan orang lain, aku lebih sering menghindar daripada membalas perkataannya. Kekayaan? Bahkan tidak pernah membawa uang saku ke sekolah lebih dari lima ribu rupiah. Wanita tua itu tidak pernah mengizinkan ku mengantongi uang lebih dari lima puluh ribu rupiah tanpa alasan yang jelas. Sungguh menyebalkan. Sedangkan cinta? entahlah. Ku kira perasaan cinta tidak disediakan untuk orang sepertiku. Ku pikir, aku pun belum pernah merasakannya selama ini. Padahal tiga tahun lagi aku sudah kepala dua.

---

"Marie!" panggil seorang lelaki berambut hitam dibawah pohon sakura yang tengah berbunga tak jauh didepanku. Padang rumput hijau dengan langit biru berawan membentang. Ku menyipitkan mataku untuk melihat lebih jelas lagi, walaupun ku tau itu tidak akan berpengaruh. Aku berjalan mendekat perlahan tanpa melepaskan pandanganku pada lelaki itu. Tepat di jarak 10 langkah darinya aku berhenti.

Percuma, wajahnya masih saja buram tidak jelas dengan jarak sedekat ini. Tapi ku yakin ia tersenyum padaku. "Siapa kau?" tanyaku spontan begitu ia mengambil langkah pertama mendekatiku. Mataku awas, memikirkan semua kemungkinan yang akan terjadi. 

Ia tidak memedulikan pertanyaanku dan tetap berjalan mendekat. "Hey jawab pertanyaanku" ucapku tegas. Ia terkekeh kecil. Tepat pada jarak satu langkah ia berhenti dan menatapku--ku yakin itu walaupun aku tidak bisa melihatnya dengan jelas.

"Kau akan membutuhkanku besok, cantik" ucapnya dengan mengambil langkah kecil mendekat "panggil namaku, maka aku akan segera datang"

Ia meraih tanganku sambil mendekatkan wajahnya. Eh? Semakin dekat. Wajahnya semakin dekat. Bahkan aku bisa mendengar deru nafasnya yang halus itu. Tidak, tunggu-. Mataku otomatis tertutup rapat. Aku tidak biasa dengan situasi ini karena aku hampir tidak pernah kontak fisik dengan lawan jenis dan aku tidak menyukainya. 

"Ingat ini, cantik. Kau tidak sendiri. Aku milikmu, panggil aku kapanpun" bisiknya pelan. Mata ku seketika terbuka begitu nafasnya menggelitik pelan telingaku. Aku sedikit tersentak karenanya. Otomatis mataku terkunci pada matanya. Kini ku bisa melihat jelas mata indah itu. Biru safir. Sungguh mempesona. Seakan waktupun ikut terhenti untuk beberapa detik yang berharga itu.

"Ah, namamu. Siapa namamu?" tanyaku begitu aku teringat ia belum menyebut namanya. 

Terlambat. Bayangnya perlahan mulai memudar. Sial, batinku. Ia mengecup pipiku singkat lalu perlahan melayang menjauh. "Namaku..." belum selesai kalimat itu terucap, suara bising terdengar membuat tempat itu mulai runtuh. Belum genap ku menyeimbangkan badanku, aku justru perlahan jatuh kedalam lubang dibelakangku yang dibuat oleh guncangan itu menambah jarakku dengan lelaki itu yang semakin menipis keberadaannya.

"MARIE!"

WHO?  (Ketika Kau Tidak Lagi dianggap Ada di Dunia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang