0.00

19 3 0
                                    

Ntr
Sebuah karya sederhana yang didedikasikan untuk seorang wanita. Semua yang ada di dalam cerita hanya karangan belaka.

Salam hangat sang penulis; Marc.
27 September 2023
***

Dia adalah wanita yang kukenal secara tak sengaja, pertemuan kami pun bisa dibilang hal yang sedikit konyol. Jika kalian bertanya kapan pertemuan itu terjadi, aku pun tak begitu ingat dengan pasti.

Malam purnama, tepat ketika gemintang bersinar dengan terang ... saat itu aku sedang termenung dalam lamunan keputusasaan. Singkat, suaranya begitu lembut nan memikat. Suaranya yang begitu hangat, tapi dipenuhi kesedihan. Awalnya aku sama sekali tak peduli pada kisahnya, hingga seiring waktu berjalan kami menjadi semakin dekat.

Ia mulai bercerita tentang banyak hal, tentang semua hiruk-pikuk kehidupan. Sebagai penulis sekaligus pendengar, awalnya aku hanya bisa memberi sebuah saran dan sama sekali tak berharap jika akan ada suatu perasaan.

Namun, seiring waktu berjalan sebuah suara mulai berbisik di dalam kepala. Apa kau menyukainya? Apa kau mulai memiliki rasa cinta padanya? Ataukah ... kau hanya kasihan dan merasa iba?

Aku tak terlalu menanggapi suara itu, dan terus berdalih jika semua hal yang kurasakan tak lebih dari emosi tak berguna. Bahkan, tanpa ragu aku berbicara dengan lantang pada diriku sendiri. 'Aku bukanlah lelaki yang pantas dan bukan juga sosok yang mampu membuatnya bahagia. Kehadiranku hanya sebagai pembantu dalam mewujudkan kisah indahnya dan mendengarkan serta menanggung semua beban hatinya.'

Perasaan yang sebenarnya sudah kupahami sedari awal, dengan sengaja enggan kuakui bahwa itu adalah perasaan sayang. Iri dan juga ingin diberi perhatian, tetapi aku sadar bahwa diri ini bukanlah sosok yang sempurna dan paham soal cinta.
M

engutuk dan membohongi diri sendiri, adalah hal yang biasa kulakukan. Sebagai seorang penulis, aku selalu berpegang teguh pada prinsipku.

"Aku hidup hanya untuk membuat semua orang bahagia di akhir kisah mereka dan menciptakan kisah indah untuk mereka nikmati dan baca."

Tentu aku paham harga yang harus dibayar dari tindakanku itu, bahkan dengan sengaja berulang kali melukai diri sendiri hingga akhirnya terbiasa dengan rasa sakit di hati. Jika kalian bertanya sejak kapan aku mulai menganggap hal itu sebagai tugasku; jujur aku sendiri tidak tahu dengan pasti.

Hanya saja, entah kenapa kurasa semua hal yang terjadi mulai menyimpang dari prinsip awal. Ah, benar. Aku menulis hanya agar tetap waras. Sebab, dunia ini terlalu membingungkan.

Semua hal tentang dunia ini sedari awal adalah sebuah ketidakpastian. Sebagai contoh, sebuah keluarga yang awalnya memiliki kisah harmonis dan dikira memiliki akhir yang indah malah berakhir tragis. Perpisahan, pertikaian atau bahkan kebencian; akhir dari kisah mereka begitu menyedihkan.

Maksudku, tidak semua hal harus dinilai dari satu sisi.
Hmm  ... aku terbiasa merenung dan melamun di sudut ruangan, tentu dengan secangkir kopi dan sebungkus kretek sebagai teman. Bahkan, terkadang aku sama sekali tak sadar jika sang fajar telah kembali bersinar dengan terang. Ruangan yang selalu dihiasi kegelapan, membuatku sedikit kesulitan untuk melihat sekitar.

Namun, di saat yang bersamaan hal itu juga membuatku merasa tenang.

Tok! Tok! Tok!

Sejenak mataku tertuju pada sumber suara, sebelum kembali menatap ke luar jendela yang masih tertutup kain tipis merah muda. Sama sekali tak kuindahkan, bahkan dianggap tak ada siapa pun yang datang.

Kreek!

Seseorang masuk ke dalam dan menatapku dengan senyuman lebar. Sedari awal akun sudah tahu siapa yang datang berkunjung. Namanya Terry, pria yang sering menggangguku.

Ia memiliki mata biru cerah, rambut hitam berantakan dan tentu saja dengan penampilan yang begitu elegant, pembuatnya digemari banyak wanita. Belum lagi sifatnya yang selalu ceria itu, membuatnya semakin mudah untuk berteman dengan siapa pun.

"Yo, Serius! Seperti biasa, kau selalu saja duduk dipojokkan seperti orang yang kesepian," lirih Terry berjalan mendekatiku.

Haa  ... merepotkan! Untuk apa aku membuang-buang tenaga hanya untuk membukakan pintu? Sedangkan sedari awal rumahku sama sekali tak dikunci. Terserahlah, aku terlalu malas untuk menjelaskan.

"Kau tau gak? Tadi di jalan aku ketemu Willy dan Selly, mereka masih saja mesra seperti saat kita masih sekolah dulu. Bedanya, mereka sekarang sudah menikah dan punya anak!" jelasnya tersenyum lebar sembari duduk di sebelahku.

Tanpa rasa bersalah, Terry langsung menyeruput kopi dan mengambil sebatang kretek untuk ia nikmati sendiri. Tapi, sudahlah! Aku juga sudah terbiasa dengan sikapnya yang asal-asalan itu.

"Terus kau tau gak, Sir? Pas aku ke luar dari supermarket, ada orang yang dicopet. Kasihan banget lo pencopetnya dipukulin sampai babak belur!" sambungnya masih terus bercerita. "Ah, tapi itu udah risikonya sih. Lagian, ngapain sih nyopet? Kek gak ada kerjaan lagi apa!"

Hmm  ... bukannya yang gak ada kerjaan itu kamu, ya? Hampir setiap hari datang ke sini untuk mengacau dan menceritakan berbagai hal yang sama sekali tak berarti? Selain itu, mencari pekerjaan tidak semudah yang kamu pikirkan. Jika ada pekerjaan yang layak, mungkin dia tidak akan pernah menjadi seorang pencuri.

"Ngomong-ngomong, kapan terakhir kau ke luar rumah? Sudah lebih dari 1 bulan aku gak nampak kau ke luar. Sebenarnya apa yang kau lakukan?" tanya Terry terlihat bodoh di mataku.

Ah, serius? Pertanyaan bodoh macam apa lagi ini?

"Bukannya kau selalu datang? Lalu untuk apa kau masih bertanya? Apa kau ini bodoh?" balasku datar.

"Hmm  ... kau masih suka melukai diri sendiri, ya? Ini sudah yang keberapa? Apa kau gak bosan Sir?"

Dia terus saja menanyakan hal-hal bodoh. Ah, sialan! Bisa kau tinggalkan saja aku sendirian?

Tatap tajam dengan ekspresi datar ku arahkan padanya. Jujur, sedikit kesal mendengar semua pertanyaan itu.

"Sir, cobalah kau ubah sedikit tentang sudut pan--"

"Siapa kau? Bisa kau tutup mulutmu itu?" selalu dengan nada yang begitu dingin.

"Aku begini karena khawatir padamu, Sir! Bagaimana mungkin seorang teman ak--"

"Teman, ya?" selaku lagi.

"Iya, kita teman! Kau dan ak--"

"Bisa kau jelaskan apa itu teman?" tanyaku kembali melemparkan pandangan tajam.

Tentu saja dia tak akan pernah bisa menjawab pertanyaan itu, karena sedari awal tak ada yang benar-benar dipahaminya.

"Dengar. Apa yang kau sebut sebagai teman, bagiku tak lain hanya sebuah kalimat penenang! Hanya karena kita menghabiskan waktu bersama, hanya karena kau duduk di sebelahku, hanya karena kau bercerita dan hanya karena  kita pernah pergi bersama apa itu bisa disebut sebagai teman?"

"Bagiku, kata teman tak lebih dari sekadar kalimat penenang tanpa makna dan dipaksakan pada seseorang untuk menjalin sebuah hubungan yang saling menguntungkan atau hanya untuk saling memanfaatkan! Jadi, bisakah kau berhenti menggangguku mulai dari sekarang?" pintaku masih dengan nada dingin.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 27, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Aksara HitamWhere stories live. Discover now