Kasih Tak Sampai

780 47 10
                                    

*

KASIH TAK SAMPAI

Terinsipirasi dari kisah sejarah G30SPKI

*

Sumatera Utara, 1963.

Adalah seorang pemuda tampan bernama Pierre Andreas Tendean. Ia biasa dipanggil Pierre Tendean, anak dari Aurelius Lammert Tendean, seorang dokter spesialis jiwa dari suku Minahasa, dan Ibunya Maria Elizabeth Cornet, perempuan campuran berdarah Francis dan Belanda.

Darah Francis dan Belanda mengalir kuat dalam diri Pierre, mata biru dan rambut pirangnya menjadi ciri khas yang menarik perhatian orang di sekitarnya. Meski begitu, Pierre memiliki rasa nasionalisme yang kuat dalam dirinya. Ia begitu mencintai tanah kelahirannya.

Ya, Pierre lahir di Indonesia, tepatnya di kota Semarang. Saat itu, ayahnya Tendean sedang ditugaskan menjadi pimpinan rumah sakit jiwa di pusat kota Semarang hingga saat ini.

Latar belakang keluarganya dibidang kedokteran tidak membuat Pierre mengikuti jejak Ayahnya. Ia memilih masuk ke dalam dunia militer untuk membela Negara yang ia cintai. Meskipun ayahnya menginginkan Pierre berkuliah di ITB, namun Akademi Teknik Angkatan Darat atau biasa disebut ATEKAD menjadi pilihan pria bermata biru itu untuk meniti Ilmu sebagai prajurit TNI.

Pierre akhirnya keluar dari kota kelahirannya Semarang, dan menempa dirinya di kota kembang tempat berdirinya bangunan kokoh Akademi Teknik Angkatan Darat, Bandung. Selama menempuh pendidikan militer, Pierre terkenal sebagai prajurit yang sangat tangguh, tak pernah sedikitpun ia melirik seorang wanita. Ia hanya fokus pada pendidikan yang sedang ia tempuh.

Hingga akhirnya, Hari inipun tiba...

*

Pierre baru saja lulus dari ATEKAD dan menyandang pangkat Letnan dua. Ia mendapat tugas pertamanya sebagai Komandan Pleton pada Batalyon Zeni Kodam II di Medan.

"Bukankah hari ini kau libur?" tanya Efendi –salah satu sahabat baik Pierre-

"Ya, aku libur" balas Pierre tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

"Hari liburpun masih saja kau membaca buku?" Pertanyaan retoris meluncur dari bibir tipis efendi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Ternyata kebiasaanmu belum berubah."

Pierre akhirnya menoleh menatap sahabatnya yang sudah rapih berpakaian. "Memang apa yang akan dilakukan di hari libur yang hanya satu hari ini?" tanya Pierre sarkas. Netra birunya kembali melahap kalimat indah dari buku sejarah yang ia baca. Pria berdarah biru itu memang tak pernah bosan melahap berbagai buku untuk menambah tingkat kecerdasannya yang sudah di atas rata-rata.

"Lebih baik kau ikut denganku. Aku akan pergi berkunjung ke rumah Pak Chaimin, salah satu tokoh masyarakat di kota ini," ajak Efendi seraya menata rambutnya di cermin.

Pierre tampak menimbang.

"Ayolah, jangan hanya berkutat dengan buku di pojok ruangan, kau juga harus bersosialisasi dengan warga di kota ini," bujuk Efendi. "Kudengar beliau memiliki anak gadis yang cantik" lanjut Efendi seraya tersenyum jahil menatap Pierre dari pantulan kaca yang sudah menatapnya ragu-ragu.

"Ck.." Pierre berdecak malas. "Aku datang ke kota ini untuk bertugas, Efendi. Bukan untuk mencari perempuan."

"Hei, Pierre! Kau sadar tidak, banyak sekali gadis-gadis yang datang ke batalyon kita hanya untuk melihatmu, mereka semua terpikat denganmu. Kau bahkan bebas memilih wanita seperti apa yang kau inginkan," ucap Efendi geram dengan sahabatnya yang terlampau acuh.

Kasih Tak Sampai (G30S-PKI)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon