Prolog

21 3 0
                                    

Hujan turun secara bersamaan. Menimbulkan bunyi yang keras hingga suara yang ada, kalah kuat oleh derasnya hujan. Rintik hujan jatuh membasahi bumi dengan cara menjatuhkan dirinya ketanah tanpa kenal sakit. Sakit, seperti hati seorang gadis cantik yang tengah duduk di tepi jendela melihat langit kelabu, kilat gemuruh menyambar, dan burung-burung berterbangan di langit menyambut anugerah Tuhan dengan senang hati.

Seperti rintik hujan, gadis itu juga menitikkan air matanya. Bukan pada tanah ia menabur air mata, tetapi kepada cermin yang ia genggam dengan eratnya. Cermin yang selalu menjadi saksi betapa lemahnya gadis yang terlihat kuat selama ini. Menangisi hal-hal buruk yang terjadi mengapa harus dirinya yang menerima, meremukkan hatinya sendirian, lalu merutuki orang-orang yang hadir ke kehidupannya untuk sekedar singgah bukan menjadikan diri sebagai rumah dan pada akhirnya meninggalkan bekas yang disebut dengan luka.

"Apa aku memang tidak pantas untuk dicintai, tetapi untuk disakiti?"

Berputar layaknya lagu di dalam pikirannya sendiri dan menjadikan kalimat itu sebagai makanan mentah siap saji hariannya. Berpikir bahwa semua orang menyakitinya tanpa henti, membuat luka baru di hatinya, atau bahkan sengaja menumpahkan tinta hitam pekat ke dalam hidup gadis ini hingga membuatnya dalam fase abu-abu dan tidak berwarna.

Berpacaran. Sebuah kata yang membuatnya langsung membeku, setelah berkali-kali dipatahkan ia menjadi sosok yang muak akan hal itu. Kebohongan, perselingkuhan, komitmen kosong belaka, janji manis yang keluar dari bibir seorang lelaki itu layaknya berita matahari terbelah menjadi 4 yang tersebar di grup ibu-ibu arisan−hoax.

Manis, pahit akan rasa dan cinta sudah biasa dirasakannya. Rasa apalagi yang akan hadir nantinya? Apa ada rasa lain? Jika bisa request, ia hanya akan memilih rasa manis untuk ada di hidupnya. Karena hanya dengan rasa manis ia cukup dapat membuat kehidupan menjadi berwarna dan indah. Namun, sudah takdir jika ia harus merasakan rasa yang kacau balau pula.

Hingga ia terjatuh kedalam hubungan 'berpacaran', sebuah rasa baru pun muncul tanpa diminta dan disadari. Limited edition dan stock terbatas, pikirnya.

Hambar. Rasa terakhir yang tiba-tiba muncul setelah segala macam hal terjadi dalam hidupnya. Kaget, perasaan pertamanya ketika ia menyadari bahwa air mata sudah tidak dapat lagi menetes, datar, seakan hal yang sedang terjadi itu tidak ada pengaruh bagi diri maupun hatinya. Tidak ada tangisan di malam yang gelap ketika tanggal sudah berganti, tidak ada helaian rambut yang luruh karena tergunting, dan tidak ada bekas luka dibibir maupun ditangannya. Seolah semua itu, biasa saja.

Ternyata, hambar dan mati rasa itu seperti kakak beradik kembar yang identik, ya. Jadi ini, rasanya hambar sekaligus mati rasa? Kosong, hampa, sepi, datar, dan tidak berwarna pada kehidupan yang tengah berlangsung. Siapa, siapa yang mengalami hal itu?

Ada. Manusia, yang diberi nama Palupi Uzatica.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 08, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

H A M B A RWhere stories live. Discover now