BAB 1

3 0 0
                                    

Bising knalpot motor hasil modifikasi memecah hening. Separuh malam telah terlewati ketika lelaki berkuncir itu melesat membelah jalanan yang sepi dengan kecepatan yang membuat siapa saja yang menyaksikan geleng-geleng kepala.

Tidak jauh di belakang sang lelaki, seorang berjaket denim memacu kuda besi lebih cepat agar bisa melampaui lawan di depannya.

"Ayo terus ... terus sampe kamu kapok!" Lelaki itu mendengkus sembari menambah kecepatan.

"Jangan mimpi, Kay!" gumam lelaki di depan, meremehkan lawan. Ia melirik spion kanannya sekilas. Tampak jarak antara mereka mulai memendek.

Matanya kian menyipit ketika beralih memandang ke jalanan. Ia pun memutar lebih dalam genggaman tangan kanannya. Angka speedometer dan jarum merah seketika memburam seiring dengan angin dan butiran air yang jatuh satu per satu, menampar pelindung kepalanya.

"Sialan, kamu, Juna!"

Begitu sulit Kay menaklukan Arjuna. Keduanya selalu bersaing dalam hal apa saja. Mahasiswa semester akhir Fakultas Seni Rupa dari sebuah institut kesenian di Kota Gudeg itu adalah ikon mahasiswa abadi. Hampir semua teman satu angkatan telah lulus, kecuali mereka berdua.

Di mana ada Arjuna, di situ ada Kay. Padahal Arjuna berulang kali mengusir temannya itu agar tidak selalu mengekorinya. Namun, Kay selalu menemukan seribu satu macam alasan agar selalu bersama sahabatnya.

Bagi Kay, Arjuna adalah tempat ternyaman dari semua carut marut hidup yang disebabkan oleh tingkah laku keluarga yang menilai segala sesuatu dari harta. Dilahirkan, tumbuh dan besar di keluarga kaya membuat Kay terbiasa memperoleh apa yang ia inginkan. Itulah sebabnya, Kay senang memberikan apa saja pada Arjuna hanya untuk mendapatkan perhatian.

Berbanding terbalik dengan Arjuna. Sejak kecil ia harus berjuang untuk hal kecil sekalipun. Hal itu menjadikannya pemuda yang tangguh dan mandiri. Pantang baginya untuk menyulitkan orang lain, kecuali satu orang. Kay.

Satu-satunya persamaan mereka adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang.

Seandainya kedua orang tua masih ada, mungkin Arjuna hidup berkecukupan. Namun, malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Sebuah kecelakaan yang terjadi tujuh belas tahun yang lalu merenggut kebahagiaan keluarga kecil itu. Seorang sopir truk yang mengantuk menjadi jalan malaikat maut menjemput kedua orang tua. Kecuali Arjuna yang terlempar dari motor dan mendarat mulus di atas jerami yang teronggok di pinggiran sawah.

Masa kecilnya bertambah pahit, ketika adik tiri sang ibu bersedia merawatnya. Diam-diam, rumah orang tua Arjuna pun dijual untuk dijadikan modal bibinya membuka warung kelontong.

Setiap pulang sekolah, Arjuna mau tak mau harus menjaga toko. Sementara adik-adiknya—anak dari sang bibi, satu laki-laki dan satu perempuan—hanya diberi tugas untuk rajin belajar.

Pernah satu kali Arjuna protes. Ia pun ingin belajar tekun agar memperoleh nilai yang bagus, sehingga bisa masuk kuliah. Akan tetapi, bibinya malah memarahinya. Arjuna harus berjuang sendiri agar bisa masuk jurusan yang sesuai dengan bakatnya.

Seperti beberapa waktu yang lalu. Pertengkaran itu kembali terjadi.

"Sampai kapan kowe koyok ngene? Kuliah ora lulus-lulus. Wis talah, jik mending kowe nyambut gawe ae. Jadi cleaning service atau jadi buruh pabrik tekstil kono. Duitku wis ntek nggawe biaya uripmu ket cilik, ketambahan maning kuliah. Byuh, sampe aku kuru koyok ngene."

Tangan kekar yang tengah memegang kuas itu berhenti bergerak. Ia menoleh ke asal suara bibinya yang lembut, tetapi menusuk ke hati.

"Sabar, Bi. Juna lagi cari duit ini juga." Seperti biasa, lelaki berkulit terang itu mencoba bersabar dengan omelan yang itu-itu lagi.

Vous avez atteint le dernier des chapitres publiés.

⏰ Dernière mise à jour : Jan 05, 2022 ⏰

Ajoutez cette histoire à votre Bibliothèque pour être informé des nouveaux chapitres !

RAHASIA DWIMATRA | JIMINOù les histoires vivent. Découvrez maintenant