Tetangga

27K 958 58
                                    

Speaker's talking

Kapten Divo siap memandu perjalanan kapal JaemRen mengarungi lautan hijau penuh rintangan. Bagi para penumpang kapal silakan untuk memeriksa kembali barang bawaan anda termasuk tiket (vote), koper (komentar), dan hal penting lainnya. Jangan lupa untuk berlangganan (ikuti akun) dan ikuti jalur pelayaran yang dipimpin oleh kapten kami tercinta, diberikan kebebasan bagi para penumpang untuk memberikan cintanya berupa mutiara (trakteer) kepada kapten.






"Huang Renjun siapa yang punya? Huang Renjun siapa yang punya? Yang punya Tuan Jaemin." Siswa berperawakan tinggi dengan seragam putih abu-abu itu tampak bersenandung sembari menuruni tangga sekolah. Sekarang sudah pukul 4 sore, lapangan tengah menjadi sasaran anak-anak ekskul basket.

"Jaemin!" yang dipanggil hanya menggumamkan kata 'hah' sebagai jawabannya, "Mau pulang?"

"Enggak, mau bajak sawah." Jawab Jaemin dengan tampang tololnya.

"Bangsat."

"Udah tau jam segini, menuju arah gerbang luar. Tandanya mau balik, goblok." Sungut Jaemin sembari menunjuk pergelangan tangannya yang kosong.

Hyunjin- anak basket yang tadi memanggilnya, hanya bisa tertawa. Jaemin ini banyolan bagi teman-teman tim basket. Ia melambaikan tangannya lalu pergi ke parkiran untuk mengambil motornya, Kamis.

"Pak Div, anterin dong." Pinta Jaemin sembari mendorong motor Beat berwarna merah kesayangannya.

"Emoh, saya ini bukan bapakmu." Jawab Pak Divo, satpam sekolah tercinta.

Jaemin mengernyit, "Aelah, pak. Nyebrang doang elah, sebrangin dong." Tampang nyolotnya tidak ketinggalan.

Akhirnya setelah berhasil menebak beberapa pertanyaan dari Pak Divo, Jaemin menyebrang dengan mulus. Tak lupa ia ucapkan terima kasih, ada untungnya juga dia ramah kepada semua orang. Kata bunda, naik sepeda motor itu pelan-pelan saja, sayang nyawa dan uang. Ia kembali bersenandung, semua lagu lama ia nyanyikan dengan santai sembari menikmati pemandangan kota Jogja yang tidak terlalu ramai.

Perkarangan rumah Jaemin masih asri, tanah lapang 2 petak sejajar, cukup untuk Jaemin dan anak-anak komplek bermain gundu disana. Berbeda dengan tetangganya yang sudah berumah gedung, omong-omong soal tetangga, seharusnya teman masa kecilnya itu sudah datang. Namanya Huang Renjun. Sejak taman kanak-kanak hingga SMP, mereka selalu bersama. Jaemin ikut kakek neneknya saat itu, lalu pindah ke rumah dan ikut ayah bunda sejak SMA.

Berbeda dengan Renjun yang rumah aslinya memang dekat dengan rumah kakek nenek Jaemin, orang tuanya memutuskan untuk pindah karena bunda merekomendasikan tanah kosong disamping rumahnya. Yah, karena memang sudah akur dari dulu. Itu bukan masalah bagi dua keluarga cemara ini.

"Bundaaaaaaaa~ Sayonara, moshi-moshi, bundaaaaahhhh!" Jaemin menggeliat masuk ke dalam rumah, ia memeluk bundanya tercinta sembari mencium-cium pipinya.

"Mmh! Bau asem!" tegur bunda pada Jaemin sembari menjauhkan anaknya itu.

"Dih, bunda gak sayang sama kakak?" Jaemin duduk di meja makan, kue klepon di meja menjadi sasaran vacuum cleaner bibirnya.

Geplakan bunda memang selalu mendarat mulus di kepala Jaemin, "Kamu ditelfon papah, katanya disuruh bantu angkat-angkat."

"Dih, memangnya Jaemin kuli angkut?" Bunda menatap Jaemin penuh heran, "Apa?"

"Kamu memang cocok jadi kuli angkut, kak. Lumayan, lho. Bunda nggak perlu tambahin uang saku buat kamu."

Tampang lempeng bertahan cukup lama sebelum Jaemin beranjak dari tempat duduknya. Ia menggumamkan lagu L-O-V-E milik Nat King Cole dan menari menuju kamarnya di lantai atas, Jaemin memang menyukai musik-musik jadul yang elegan.

Bunda hanya geleng-geleng kepala, beliau menikmati kue klepon buatannya sendiri sembari membaca tabloid mingguan terbaru. Baru saja Jaemin berhenti menyanyi, bunda bisa membaca dengan tenang, tapi ketukan dari pintu membuatnya tidak bisa berdiam diri.

"Iya, sebentar." Bunda bergegas pergi untuk membuka pintu, "Siapa? Eh... Renjun, kapan datang, sayang? Mama mana?"

Renjun tersenyum, ia meraih tangan bunda terlebih dahulu untuk memberi salam, "Ada di rumah, bun. Lagi bedah barang-barang, ini Renjun disuruh bawa ini buat bunda." Renjun memberikan sekotak roti untuk bunda.

"Halah, kaya sama siapa aja. Sini masuk, ibun buat klepon."

Renjun masuk penuh sopan santun, ia jarang main ke rumah Jaemin. Lebih sering ke rumah kakek nenek Jaemin, itu pun saat SMP. Mereka berpisah ketika Jaemin pergi ke kelas 1 SMA.

"Jaemin ada di kamarnya, lagi mandi, baru aja pulang." Bunda membawakan sepiring kue klepon dan es coklat untuk Renjun, "Tadi papa kamu telfon, minta ayah bantu angkut barang. Tapi ayah diluar kota dari kemarin, jadi bunda minta Jaemin aja yang pergi. Mungkin habis ini."

Renjun hanya mengangguk-angguk, ia sudah cukup lama tidak bertemu dengan Jaemin, jadi rasanya canggung. Terlebih dirinya kelas akhir dan Jaemin baru memulai kehidupannya di SMA. Baru saja menjadi bahan perbincangan, Jaemin datang dengan kaus hitam berlengan pendek dan celana rumahan berwarna putih tulang.

"Renjun." Panggilnya, "Kapan datengnya?"

Mereka kembali berbincang tentang kepindahan Renjun, sebenarnya tidak banyak yang dibicarakan mengingat Renjun bukan orang asing yang baru saja datang.

"Eh, berarti kamu habis ini SMA dong?" tanya bunda.

Renjun mengangguk dengan mulut penuh kue klepon, "Iya, ibun. Nanti cari sekolah yang deket-deket aja."

Bunda memperhatikan bagaimana anaknya itu mengusap sudut bibir Renjun dengan jempolnya dan mengakibatkan pertikaian kecil antara keduanya, "Satu sekolah aja sama Jaemin."

"Ck, hmm. Bener 'tuh apa kata bunda, bareng aja, nanti aku cariin informasi pendaftarannya." Jaemin menjilat jempolnya, ada sisa gula merah yang tertinggal.

"Nanti, deh. Aku bilang mama dulu."

"Halah, mamamu, pasti merestui. Panggil ibun kalo kamu butuh bantuan buat nyiapin berkas, atau minta tolong sama Jaemin aja nanti." Bunda kembali membaca tabloidnya.

Belum genap bunda membaca, tiba-tiba menatap Jaemin dengan horor, "Kak, perasaan tadi naik motor pakai helm. Kok pulangnya kepala cuma satu?"

Jaemin berfikir sejenak, "LAH, IYA! ketinggalan di pos satpam!" serunya.




Jaemin dan Renjun pergi ke rumah baru Renjun, dirinya langsung menemui papa yang sedang berdiri didepan truk untuk mengangkut beberapa barang ke dalam. Begitu pula dengan Renjun yang ikut membantu mengangkat dus-dus kecil.

Itu selesai dalam 2 jam, Jaemin sudah mandi keringat. Padahal ia baru saja mandi, kipas angin portable yang ada di kamar Renjun menjadi sasaran biang keringatnya, Jaemin sengaja memasukkan kipasnya ke dalam baju agar keringatnya cepat hilang.

"Gila, kaya mandi aja kamu." Renjun melempar handuk ke arah Jaemin.

"Gak papa, nanti mandi lagi." Ucap Jaemin sambil mengeringkan badannya, ia melepaskan bajunya dan mengusap bagian punggung dengan santai, "Nilai kamu gimana?"

"Aman, kok. Banjir nilai A." Jawab Renjun. Itu bukan hal mengejutkan untuk seorang Huang Renjun.

Renjun terkejut saat kasurnya bergoyang, tiba-tiba Jaemin memeluknya dengan erat, membuatnya kebingungan.

"Ini ucapan selamat karena nilai kamu bagus."

"DIH!" Renjun mendorong Jaemin dengan kencang hingga terjerembab, "Bau keringat!"

Jaemin hanya diam terheran-heran melihat Renjun yang pergi keluar kamar dengan pipi merona, ia mengendikkan bahunya dan kembali mengeringkan badannya yang penuh keringat. Pemandangan Renjun yang merona sudah biasa baginya.






Captain Divo's Note.

Hobi bener nge-remake cerita

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TTM 🔞 - JAEMRENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang