1

20 1 0
                                    

author's note: cerita ini sudah pernah kupublikasikan di suatu website. aku ingin menghapusnya dari sana, tapi ternyata tidak ada tombol hapus artikel di sana, hiks.

***

Sosok itu datang secara tiba-tiba, tanpa aba-aba.

"Jadilah temanku."

Aku tidak tahu siapa dia.

Hidupku yang damai—yang sebenarnya tidak sedamai itu—dirusak dengan kedatangannya. Sosok itu sepertinya tidak punya kerjaan selain mengetuk pintu rumahku setiap harinya, lalu dia akan memanggil-manggil namaku dan mengajakku bermain bersamanya. Tentu saja, ajakannya itu tidak kuacuhkan sama sekali. Maksudku, aku tidak mengenalnya. Jadi untuk apa aku menerimanya dengan tangan terbuka?

Aku bahkan heran tentang bagaimana dia dapat mendatangi rumah yang berada di entah berantah ini.

Satu kata untuknya: mencurigakan.

***

"Ta, kamu jadi keluar hari ini?"

Kedua bahuku terangkat secara otomatis. Rasa-rasanya hampir saja benda yang berada dalam genggamanku itu jatuh semisal aku tidak membiasakan diri. Pelan, aku menganggukkan kepalaku. "Iya, Nda. Sudah agak bosan berdiam di sini," balasku sejujur mungkin sembari sibuk menilik habis kamera tua milikku itu, berjaga-jaga kalau aku tidak sengaja merusaknya sedikit.

Setelahnya diam. Tidak ada yang melanjutkan topik pembicaraan. Aku yakin Bunda juga khawatir dengan keberadaan sosok yang terus mengusik ketenangan yang susah-susah kami bangun, tetapi tidak ingin membicarakannya langsung di depan wajahku. Karena kehadiran si pengusik itu, aku tidak keluar rumah selama nyaris seminggu, tepatnya setelah dirasa kehadirannya benar-benar menggangguku. Tetapi aku tidak bisa selamanya begitu.

Lalu terjadilah hari ini.

Aku keluar dari rumah, lagi, setelah beberapa hari.

***

"Aerta? Tidak kusangka kamu akan berinisiatif untuk menemuiku sendiri seperti ini," sapanya dengan intonasi yang kelewat datar. Jubah gelap itu masih setia membungkus tubuhnya.

... Aku tidak mengira akan menemuinya secepat ini.

"Sok tahu," balasku sok tidak peduli sambil memusatkan fokusku ke lingkungan sekitar. Sekuat mungkin aku berusaha untuk tidak memberi bahkan hanya secuil perhatian kepadanya. Waktu yang kumiliki akan sia-sia untuk menyikapi orang aneh sepertinya.

... Kalau kupikir-pikir, suaranya terdengar familier. Tapi aku tidak ingat dari mana aku pernah mendengarnya.

"Apa itu? Kamera?" tanyanya, tidak terdengar bahwa dia sungguhan penasaran. Dapat kudengar suaranya semakin dekat denganku seiring dia bicara. "Menakjubkan. Aku tidak tahu kalau kau—"

"Tidak bisakah kau diam?" pintaku yang lebih terdengar seperti perintah.

Menyebalkan sekali.

Tidak bisakah orang ini membiarkanku hidup dengan tenang? Paling tidak seminggu saja berhenti membuntutiku seperti penggemar fanatik yang tergila-gila dengan idolanya. Bedanya, tidak akan ada yang sudi untuk mengidolakanku. Mungkin aku akan bisa lebih menikmati waktuku di sini kalau sosok itu tidak terus mengejar-ngejarku seperti orang gila.

"Bisa."

Tidak terlalu mengejutkan.

"Bagus. Sekarang jangan usik waktu kami di sini," cetusku terlalu terbawa emosi.

Waktu tetap mengalir, membawaku untuk menyadari bahwa perkataanku barusan itu dapat terlalu menyakiti. Namun, aku buru-buru menepis pemikiran tidak jelas itu. Menjadi terlalu baik tidak akan menyelesaikan semua masalah. Malah, bisa jadi dia akan terus seenaknya saja kepada kami berdua.

Tuduhan Palsu di Tengah Lautan PrasangkaWhere stories live. Discover now