Let's End The Party

204 33 41
                                    

Kala para penghuni utuh terlelap, kekosongan bertamu hingga ke sudut kota. Sesaat, sempat-sempatnya kawanan burung membelah sunyi. Tak berlangsung lama, tetapi entah mengapa terasa begitu berarti di kala tak seorang pun sudi menginjakkan kaki di jalanan sepi.

Malam yang menghias diri dengan bulan purnama merah yang mempermuram suasana. Sementara angin mengunjungi penghujung, mengantarkan dingin; menyibak dedaunan menggantung tenang di atas dahan. Kawanan yang hampir mencium tanah terhempas menjauh dari pohonnya, berkerumun bersama yang terlanjur mengering. Tanpa ampun, angin menggiring mereka ke sebuah pekarangan.

Kuasa angin semakin besar, begitu tak sabar membuka gerbang megah yang menghalangi dedaunan masuk. Demikian kedatangan mereka disambut oleh patung-patung setinggi tiga kali lipat dari tinggi manusia yang tak terawat. Lampu-lampu tua di sisi jalan masuk konon mengobarkan api, membuat segalanya tampak berwarna.

Tampaklah sebuah rumah besar di depan mata, lengkap dengan segala detail yang ia miliki. Tanah kering entah bagaimana sanggup membesarkan rumput dan ilalang. Pilar-pilar retak, salah satunya tumbang dimakan lumut bersama setiap dinding yang pecah-pecah.

Bagaimana bisa empunya rumah besar ini sanggup menetap membiarkan tempat tinggal terus berserak? Tapi, barangkali tuan rumah sungguh beruntung. Sebab dedaunan yang baru saja bertamu tidak keberatan atas segala hal yang tersuguh di sini. Bahkan angin membantu mereka menari-nari mengitari rumah besar tersebut.

Betapa pun riuh di luar sana tiada seseorang berkeinginan menghiraukannya.

Sebab perjamuan yang terlaksana di ruang dansa lebih menawan.

Ruang dansa itu bertemakan perpaduan emas dan putih. Ditemani lampu kristal pula. Semuanya terlihat bagai kemewahan tak bercelah.

Puluhan manusia bertopeng bertamu di dalamnya. Para pria tampak rapi dengan setelan jas terbaiknya, pun tamu wanita mengenakan gaun-gaun kebanggaan yang berkilauan diterpa cahaya. Beberapa kelompok bergosip dengan suara berbisik bagai dengungan lebah. Denting gelas sampanye yang saling beradu tercipta, saling bersahutan dari segala penjuru. Konon orkestra melantunkan musik, seutuhnya mengoyak canggung.

Tuan Rumah juga turut serta.

Orang tersebut duduk di singgasana, sedang memangku dagu. Tiada seorang pun yang mampu menerka apa yang batinnya rasakan. Lagi, siapa pula yang mampu menerawang ke balik topeng yang ia kenakan?

Sang Tuan Rumah terus memandang keramaian yang tersuguh di tengah ruang dansa. Tidak ada yang menarik perhatiannya. Pun, ia belum berminat beranjak, konon pula berkeliling menghibur diri.

Namun, sekarang sudah saatnya ia harus turun dari tempatnya.

Dia harus menyambut tamu istimewa yang sudah ia nanti sejak lama.

Persis langkahnya menciptakan jejak nyaris mencapai tengah ruang dansa, pintu kembar menganga. Mereka mempersembahkan seorang gadis bergaun biru, bermahkota rambut keriting pirang madu yang ia biarkan menjuntai menyentuh punggung.

"Akhirnya yang kutunggu telah tiba." Bisikan Tuan Rumah mengalun merdu, seolah diisi banyak kasih.

Bagai objek yang bertemu dengan bayangannya di cermin, baik si gadis dan Tuan Rumah melepas topeng sembari melayangkan senyum penuh rindu. Maka Tuan Rumah mengulurkan tangan seiring si gadis menghampiri.

"Maafkan aku yang telah membuatmu menunggu lama ...." Demikian si gadis sampai di hadapan Tuan Rumah, ia menggenggam tangan yang tengah menggantung tersebut dengan lembut. Senyum si gadis semakin lebar kala ia menerima ciuman di punggung tangannya. Namun, setidaknya ia masih sanggup meneruskan patah katanya, "Pemanggil keramaian di tengah sunyi ... Louis."

Let's End The Party [ONESHOT]Where stories live. Discover now