Wasiat

13 3 0
                                    


Aku dibangunkan oleh suara berderik dari pintu depan yang tampaknya tidak tertutup rapat. Perlahan, terdengar suara langkah kaki seseorang yang masuk ke ruang tamu. Kulirik jam di dinding yang menunjukan pukul sebelas malam. Baru kali ini ayah pulang kerja hingga selarut ini. Biasanya dia akan berbaring dahulu di sofa ruang tamu, melepas kepenatan setelah seharian bekerja. Aku beranjak dari kasur, tak kuasa menahan amukan perutku yang menuntut dikeluarkan isinya. Akupun ke kamar mandi. Dengan langkah tergesa, aku membuka pintu kamar, berlarian menuju kamar mandi yang terletak di sebelah dapur.

Aku tinggal berdua dengan ayahku di sebuah kontrakan sederhana dengan dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Setelah kepergian ibuku, kehidupan menjadi sulit. Ayah harus berjuang menghidupiku dan adik perempuanku dengan bekerja sebagai kuli bangunan di proyek perumahan tak jauh dari tempat tinggal kami. Dia berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam. Upah yang diterima kadang tidak sesuai dengan jerih payah selama bekerja, namun setidaknya cukup untuk makan sehari-hari dan membayar uang sewa kontrakan.

Lega rasanya bisa mengeluarkan beban hidup dari dalam perutku. Aku berdiri menuju cermin dan membersihkan wajah, untuk sekadar merapikan penampilanku yang berantakan setelah tidur. Di luar hening sekali. Bahkan aku bisa mendengar suara jarum jam yang tergantung di atas rak piring. Memang suasana menjadi begini sejak tiga hari yang lalu, ketika adikku pergi mengunjungi nenek selama liburan sekolah. Aneh, ayah tidak mengucapkan sepatah kata pun. Biasanya dia akan berjalan ke ruang tengah dan memanggilku, menanyai kabarku setelah seharian kuliah, lalu menyambar remote yang ada di atas televisi.

Setelah selesai mencuci muka, aku keluar dari kamar mandi, dan...terdengar suara langkah kaki dari arah ruang tengah.

Tapi, suara itu terdengar aneh, seperti suara seseorang yang berjalan terpincang-pincang sambil menyeret kakinya. Lalu, aku mendengar suara lain, seperti sesuatu yang menetes ke lantai. Aku pun bergegas menuju ruang tempat suara itu berasal, untuk melihat apa yang sedang dilakukan ayah.

Ketika aku berjalan melewati lorong yang menghubungkan ruang tengah dengan kamar dan dapur, seketika aku memekik ketakutan. Bukan hanya karena mencium bau busuk yang begitu menyengat, tetapi karena aku baru menyadari bahwa ayahku sudah meninggal dalam kecelakaan kerja. Kepala dan tubuhnya tertimpa bongkahan beton dari pilar bangunan yang sebelumnya memang sudah rapuh. Tiga hari yang lalu dia sudah dimakamkan di sebelah makam ibuku. Adikku yang masih tidak bisa memercayai semua ini untuk sementara tinggal bersama nenekku, dan aku telah sendirian di rumah ini sejak saat itu. Namun sudah terlambat untuk berteriak sekerasnya, berlari keluar rumah lewat pintu belakang dan berpura-pura kejadian hari ini tak pernah terjadi, terlebih ketika aku sudah terlanjur melihat sesosok tubuh yang berjalan pelan memasuki ruang tengah, berjalan kearahku yang berdiri mematung.

Dia berjalan perlahan sambil menyeret kaki kirinya yang remuk dan mengeluarkan darah, meninggalkan noda merah di sepanjang jalan yang dilaluinya. Kepalanya hampir hancur dengan hanya menyisakan hidung dan mulut, tetapi dari kemeja biru lusuhnya yang kini basah oleh darah, aku sudah bisa menebak pemandangan mengerikan apa yang ada di hadapanku ini. Sosok itu berkata dengan lirih, "Bapak pulang, Nak."

***

"Dit, Adit! Bangun!" Seorang gadis kecil membangunkanku yang sedang berbaring di kasur sebuah kamar kecil.

"Maa..Adit udah siuman!" Dia berteriak ke luar ruangan sambil menyebutkan sebuah nama. Tak lama kemudian, datang seorang wanita yang memakai celemek merah dan memegang centong sayur. Dia berlari memasuki ruangan dengan memasang wajah cemas. Tampaknya aku sudah mengenali gadis dan wanita serta ruangan kamar tidur bernuansa minimalis ini.

"Syukurlah kamu baik-baik saja, Dit. Dari tadi Tante khawatir karena kamu nggak bangun-bangun."

"Apa yang baru saja terjadi?" aku yang masih terngiang-ngiang kejadian tadi malam mencoba untuk menelisik keadaan.

"Tadi pagi, Tante sama Naomi mau berkunjung ke rumah kamu. Pintu rumahmu nggak kekunci dan sedikit kebuka. Karena takut terjadi apa-apa sama kamu, Tante masuk ke dalam dan menemukan kamu yang tergeletak di ruang tengah. Ternyata kamu pingsan."ujar tante Novita sambil mencengkram centong sayur itu dengan khawatir.

Tante Novita adalah salah satu tetangga kami. Ia dan anak bungsunya, Naomi, tinggal di rumah besar bertingkat dua dengan halaman depan yang luas. Suaminya adalah seorang kontraktor yang sering pergi keluar kota. Dengan melihat kondisi perekonomian keluargaku, aku bersyukur punya tetangga yang baik.

Aku kembali ke rumahku setelah benar-benar dikatakan "baik-baik saja" oleh tante Novita. Setelah disuguhkan segunung makanan yang boleh kumakan sepuasnya dan boleh juga dibawa pulang. Aku membuka pintu ruang tamu, lalu melihat ke sekeliling. Tidak ada bercak darah, tidak ada aroma busuk, tidak ada penampakan mengerikan. Atau memang tadi malam hanya imajinasiku saja yang tentu merasa sedih kehilangan satu-satunya orang tua yang masih mau menafkahi anak-anaknya.

***

Hari-hari berlalu setelah kejadian itu. sejak saat itu pula, setiap beberapa hari sekali, ayahku akan menampakan dirinya secara tiba-tiba. Begitu seringnya hingga aku pun menjadi terbiasa dengan bentuk tubuhnya yang tidak beraturan dan kadang berubah-ubah. Aku sudah terbiasa ketika tiba-tiba terbangun di tengah malam untuk buang air, lalu mencium aroma busuk dari arah dapur dan mendapati ayahku sedang berdiri dengan santainya di depan lemari es sambil mengayun-ayunkan tangannya yang kurus keriput. Bahkan, aku sudah hapal tempat-tempat mana saja yang akan menjadi spot kemunculan ayahku: Di dekat sofa ruang tamu dan di depan kulkas yang ada di dapur.

Malam itu menjadi dingin karena hujan. Aku yang sedari tadi hanya tiduran di kasur sambil memainkan ponsel berinisiatif untuk membersihkan rumah dengan menyapu ruang tamu.

Rumah ini memang menjadi mengerikan setelah lama tak ada adik yang terkadang suka membantu ayah bersih-bersih. Kuperhatikan sofa reyot yang sudah bulukan itu. Sudah berapa lama bagian bawahnya tidak dibersihkan? Aku menggeser sofa itu hingga tampaklah harta karun yang terpendam di bawahnya. Sebuah amplop besar dengan isinya yang tebal dan berat. Aku mengkhayalkan isinya ketika merogoh isi amplop itu, dan mengeluarkan segepok uang seratus ribu yang masih baru. Aku tertegun. Masih banyak lagi setumpuk uang di dalam amplop itu. Sialan, desisku, bisa-bisanya Ayah merahasiakan harta ini dari kami hingga kematiannya. Pasti masih ada lagi yang Ayah sembunyikan di rumah ini.

Entah mengapa pikiran pertamaku adalah kulkas di dapur. Segera aku menuju ke sana dan melihat benda yang paling mencurigakan: Celengan berbentuk ayam yang bertengger di atas kulkas. Dengan hati berbunga aku meraih benda itu, memecahkannya dan memungut isinya. Gulungan uang kertas dan segunung koin perak. Namun ketika aku baru membayangkan apa saja yang bisa kulakukan dengan uang sebanyak itu, sebuah tangan keriput menepuk bahuku dari belakang dengan tiba-tiba. Aku menoleh, dan...astaga! itu wajah ayahku yang terbelah! Aku terkejut sejadi-jadinya hingga terpental ke belakang. Belum sempat aku melakukan apa-apa, sosok itu menunjuk ke amplop yang sekarang tergeletak di sampingku. "Tolong lunasi semua hutang bapak dengan uang-uang itu ya, Nak."

Itu tadi mimpi yang mengerikan. Tapi kini semua sudah jelas. Jadi selama ini dia "menghantuiku" hanya untuk memberitahu, dia punya banyak hutang yang belum terlunasi. Aku pun mencari tahu kepada siapa saja ayahku berhutang, lalu melunasi semuanya dengan uang dari amplop itu. walau agak mengecewakan karena ternyata uang itu bukan untukku, setidaknya dia tidak datang dan menggangguku lagi.

Jiwa ayah sudah tenang di alam sana.

WasiatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang