Prolog

7 1 0
                                    

Gita, seorang wanita pertengahan tiga puluhan, berjalan menyusuri pinggir jalan membelah beberapa pagar betis yang berjalan lambat di depannya dengan sedikit dorongan yang ia tumpukan pada bahunya yang melingkupi seorang bayi mungil dalam dekapannya. Beberapa orang yang melemparkan protes hanya dibalasnya dengan kalimat maaf kemudian berlalu membelah kerumunan, melawan arus manusia, menerjang rintik hujan yang mulai mengderas. Tak ada waktu untuk berhenti di cuaca yang seperti ini. Putri kecilnya mulai kedinginan. Ia harus segera sampai rumah jika tak ingin ia dan anaknya jatuh sakit. Gita melepaskan lilitan scarf pada lehernya lalu melebarkannya untuk melindungi bayi mungil itu dari air hujan yang makin lama makin deras dan dingin.

Sebuah mapping bag terjatuh tepat di belakangnya setelah ia melewati bayangan seorang laki-laki bermantel cokelat. Kancing bag-nya terbuka sehingga beberapa dokumen menyembul keluar tergeletak di atas trotoar yang sedikit tergenang air hujan.

"Aish!" laki-laki bermantel cokelat itu terhenti dari jalannya yang terburu-buru. Ia berjongkok memunguti dokumen-dokumennya yang basah setelah tahu bahwa seseorang yang bersalah padanya tidak akan bisa melakukan apapun sebagai wujud permintaan maaf.

"Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf. Saya sedang sangat terburu-buru," ucap Gita seraya berulang kali menundukkan kepalanya dalam-dalam sebelum sebuah suara yang sangat ia kenal menghentikan langkahnya untuk pergi dari tempat itu.

"Sialan!"

Gita makin menenggelamkan wajahnya dibalik scarfnya. Ia mendekap putrinya erat.

"Apa kamu pikir, cuma kamu saja orang yang terburu-buru di sini?" suaranya lantang memecah riuh manusia dan kendaraan yang lalu lalang yang bercampur dengan air hujan dan petir yang menggelegar.

"Apa kau tahu berapa nilai dokumen-dokumen ini?" laki-laki itu mengacungkan dokumen-dokumen basah dalam genggamannya yang siap dilemparkan ke wajah Gita. Otot-otot wajahnya menegang, gigi gerahamnya gemeletak menahan amarah yang sangat besar pada orang ceroboh tak dikenal yang merusak dokumen penting yang sudah ia siapkan selama beberapa bulan terakhir.

Gita hanya menundukkan kepala dan badannya berulang-ulang tanpa mengeluarkan suara sedikit pun agar tidak ketahuan.

"Mau kemana kau?" laki-laki itu menyambar lengan Gita, menghentikannya pergi dari sana.

"Kau harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kau lakukan!"

Gita menarik lengannya kuat-kuat tapi tetap tidak bisa lepas dari cengkeraman tangan laki-laki itu. Kain scarf yang ia bentangkan menutupi putrinya mulai tembus oleh derasnya air hujan. Namun, laki-laki itu masih ingin menyeretnya ke suatu tempat sehingga ia bisa mempertanggung jawabkan kesalahannya. Lalu, ia teringat bahwa lutut kiri laki-laki itu lemah. Sebuah tendangan tepat di tepi lutut sebelah kiri laki-laki itu berhasil membuat Gita terlepas dari cengkeraman tangannya dan berlari menghilang di tengah kerumunan orang-orang meninggalkan laki-laki bermantel cokelat yang mengerang menahan sakit di lututnya.

***

Gita memasuki sebuah lorong sempit sebuah toko roti. Ia berjalan ke sebuah tangga yang berada tepat di belakang dinding toko. Tangga batu bata yang diapit oleh dua dinding bangunan itu mengarah pada sebuah rooftop yang berada tepat di atas bangunan toko roti dengan sepetak rumah sederhana berukuran 4x8 meter lengkap dengan toilet di dalamnya. Gita menempatkan putrinya di atas springbed tanpa ranjang lalu mengeringkan tubuhnya dengan handuk dan mengganti pakaiannya. Bayi cantik itu tak sedikit pun menangis setelah kehujanan meskipun jari mungilnya jelas menunjukkan bahwa ia sedang kedinginan. Ia mengoceh sembari sesekali tertawa melihat foto ayah dan ibunya yang tergantung di dinding ketika Gita sedang membuatkan susu untuknya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 06, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Welcome to HOMEY || Penasari IksanWhere stories live. Discover now