I

3.1K 314 104
                                    

Sanji duduk merenung sendirian di area sekitar perpus kampus. Matanya sibuk ngeliatin buku catatan yang baru dipenjemin Usopp. Sudah hampir satu jam lamanya ia menatapi kertas bertinta biru, kadang menyipit saking gak pahamnya. Jujur, tulisan Usopp kek ceker ayam. Jelek banget. Mana ditulis pake tinta biru yang udah mau wafat lagi. Ia menghela napas. Mau gimana lagi. Alamat nanyain empunya catatan sih ini.

Si pirang berdiri, menggeser tas selempangnya dan berjalan. Habis ini ada kelas lagi, tapi masih ada cukup waktu buat nemuin Usopp di area kantin yang super duper rame itu. Kakinya berhenti sebentar, mata memandang dari ujung kanan hingga ke ujung kiri, dari atas sampe ke atap, siapa tau Usopp nemplok di atas atap kan. Tapi tetep aja, dia ga bisa nemuin rambut ikal itu di antara ramainya mahasiswa yang lagi nikmatin makan siang mereka.

Sanji menghela napas lagi. Ga tau deh ini udah keberapa kalinya dia menghela napas kayak orang mau lahiran. Mending balik aja ke kelas, nunggu kelas keduanya hari ini dimulai. Pas masuk ke dalam kelas, kondisinya sepi dan cuma ada dia.

Sanji duduk di salah satu kursi dan meletakkan tasnya di lantai, mulai duduk dalam posisi siap bobok cantik dengan tangan dilipat dan wajah di atas meja. Pipinya nempel sama meja putih dingin dan iris biru mulai menutup, terbuai angin dari pendingin ruangan.

Kriet!

Pintu dengan suara engsel sekarat itu bunyi lagi, menandakan ada orang lain masuk ke dalam kelas. Sanji mengangkat kepalanya, berharap itu Usopp, satu-satunya sohib SMA di kelas. Sayangnya bukan idung panjang yang muncul melainkan cowo rambut ijo. Baju kemejanya rapi dengan pergelangan tangan yang dilipat dan celana formal hitam menggantung di pinggang. Penampilannya mirip dosen, rapi banget. Minus tato yang menghias seluruh tangan kanannya dan tiga anting emas di telinga kiri.

Sanji nggak banyak bicara dan balik tidur lagi, menunggu teman sekelas yang lain datang. Tidak lama kemudian kelas sudah dipenuhi beberapa mahasiswa, termasuk Usopp si penghianat yang kini duduk di depan Sanji.

"Noh, catatan lo ga bisa dibaca anjir, kek ceker ayam," Sanji ngedumel seraya nunjukkin halaman yang menurutnya paling ga jelas. "Ini gimana gue pahamnya kalo bacanya aja kagak bisa," dia ngedeketin tulisan ke depan muka Usopp persis.

"Haduh tuan putri, ntar gue cetak deh versi yang udah diketiknya, cerewet amat padahal udah dipinjemin juga," Usopp ngambil balik buku catatannya dan ngetawain muka cemberutnya Sanji. Udah 5 tahun lebih dia temenan sama si pirang dan bawaannya selalu gemes. Ngamuknya Sanji itu beda, berasa diamukin bidadari.

"Diam! Saya akan mulai pelajarannya sekarang," mendadak suara rendah itu membentak seisi kelas dan membuat Sanji segera menatap ke papan tulis. Pria yang semula ia kira mahasiswa berpenampilan dosen itu ternyata malah dosen beneran.

"Pak," seorang mahasiswi mengangkat tangan. "Pak Garp ke mana?"

"Saya ngegantiin kelasnya karena jadwal beliau ternyata tabrakan sama kelas lain, jadi kelas ini saya yang bakal ngajar sampai UAS," jawab pria itu. "Ayo buka buku kalian halaman 60,"

"Pak, nama bapak siapa?" tanya yang lain.

"Panggil Zoro aja," jawabnya singkat. "Kamu yang tadi nanya, ayo baca satu paragraf dulu, saya mau tau seberapa bagus tingkat speaking kelas ini, denger-denger Pak Garp selalu muji muridnya di sini," untuk pertama kalinya ia tersenyum. Tapi bukan senyum tulus melainkan mengejek.

"Maksudnya muridnya itu lu bukan sih?" Usopp berbisik. Sanji hanya terdiam. Dosen mereka sebelumnya suka banget nunjuk dia buat baca, gatau kenapa. Katanya pelafalannnya udah mirip native. Ya, tapi kan Sanji emang udah bule dari jabang bayi. Pak Garp ada-ada aja.

Kelas sunyi saat mendengarkan si yang ditunjuk. Sanji melamun ngeliatin papan dengan buku masih ketutup. Dia baru sadar dipanggil pas Usopp ngeguncang bahunya yang lagi santai. "Iya?" Buru-buru matanya ngeliatin Zoro.

Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang