REGRETA

560 27 5
                                    

Bisakah kau dengar bisikan? Di tengah malam? Di balik selimut bulan? Ketika indurasmi tak sampai menjentikkan jemari di celah antara dirimu dan kehidupan. Ketika mimpi tengah malam bergelantung di langit-langit kamar menantimu menutup netra. Namun, kau tahu sepasang netra itu enggan memblokir pandangan dari kehidupan malam. Selalu terjaga sebab kau mendengar bisikan; dan kilas balik monokrom pengkhianatan.

"Ini bulan November. Tahun 1888. Di Whitechapel dan kau seorang tunasusila. Pekerjaan yang harus kau gaji dengan nyawa."

Itu bukan bisikan, melainkan kilas balik monokrom pengkhianatan. Entah dari mana asal suara yang mengingatkanku dengan percakapan dua minggu silam, tapi selimut kini menggigil ketakutan. Alih-alih mendekapku erat–menyembunyikanku dari pasang netra yang ingin menghakimi wanita dengan keputusasaan, ia justru menggeliat dan perlahan-lahan terjun dari atas ranjang. Membiarkan udara yang menyelinap melalui celah jendela menggelitik kakiku–menyentil satu persatu bulu di sana.

"Lantas salah siapa jika sudah demikian? Kau tak bisa lari dari sana dan dia bersembunyi di balik bayanganmu. Di tempat di mana kau selalu menyembunyikan jati dirimu."

Ingatan itu menghampiri. Seperti naskah yang diketik di dalam kepala. Aku bersumpah masih mengingat setiap kata lara. Mereka mendatangkan elegi kemudian. Lantas menggelitik leherku. Menuntun tangan untuk membelenggu jejak-jejak keputusasaan wanita–di mana mereka bagai bahan santapan pria yang siap diterka kemudian, dibiarkan menumpahkan darah, menahan buaian, hingga uang dilemparkan dan setimpal pula penderitaan.

Tungkai gusar itu lantas bangkit. Menyingkap ujung gorden untuk memastikan Whitechapel masih sama. Jalanan di distrik gelap London itu selalu diramaikan pria bertampang sampah yang mabuk dan memaki pemerintah. Mereka adalah pria-pria industri yang tak segan mencuri dan mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Sesekali mereka akan membunuh ketika kesadaran hengkang dari jiwa. Namun, untuk suatu alasan, aku merasa aman jikalau masih mendapati pria-pria di pinggir jalan seperti malam ini. Meskipun kemungkinan mereka sedang menanti seorang wanita yang masih berkeliaran menjelang tengah malam hanya untuk menumpahkan libido secara bergiliran.

Kupikir semuanya baik-baik saja hingga detik jam hampir mendentangkan pukul dua belas malam. Meskipun dua hari silam, Janet, seorang wanita dua puluh tiga tahun tewas di atas ranjangnya bersama isi perut yan entah lari ke mana. Itu bukan pertama kalinya dalam kurun waktu dua minggu terakhir di bulan November seorang tunasusila kehilangan nyawa. Enam wanita sebelum dia bahkan telah diburu hingga kediaman di luar rumah bordil. Walaupun masih dalam wilayah Whitechapel, tapi si pembunuh seolah berasumsi bahwa jeroan tunasusila jauh lebih berharga ketimbang jenis lainnya.

Ya, dia mengantongi jeroan para tunasusila yang dibunuh. Bahkan inspektur belum mampu menemukan motif pembunuhan yang menghantui para tunasusila. Sementara mucikari kami tak bisa berhenti mengibaskan kipas. Selalu merasa was-was, sama halnya diriku yang baru saja menutup kembali gorden rapat-rapat. Terutama hari ini adalah hari Sabtu. Hari di mana pria itu akan di Whitechapel hingga tengah malam di hari Minggu. Mungkin Sabtu dan Minggu adalah hari kerjanya, atau dia seorang pegawai sipil yang gemar mengubrak-abrik isi perut tunasusila untuk alasan yang tak pasti.

Bukan untuk kembali berbaring kurapatkan gorden itu. Sudah cukup gelisah hati ini semenjak kabar itu mengudara di bawah atmosfer Whitechapel. Bahkan duduk di kursi rias menatap refleksi diri dari dalam cermin saja, membuatku paranoid parah. Hampir saja aku melarikan diri dari sana ketika kupikir seseorang ada di sudut ruangan sebab cermin tampak menunjukkan sosok lain yang bergentayangan. Beruntung itu hanyalah mantel yang digantung di sana.

Meski napas memburu, kupikir semuanya akan baik-baik saja sehingga kukembalikan pantat itu untuk mengisi wajah kursi rias yang menghangat. Mungkin itu bukan bayangan seorang pembunuh, melainkan lagi-lagi kilas balik monokrom pengkhianatan. Buktinya, setelah kuusap separo wajah, netra justru bertatapan dengan seseorang yang berbeda di dalam cermin. Seseorang yang baru saja berkata, "Kau tahu kita tak harus menjual harga diri untuk uang. Apa yang mereka lindungi dari para aristokrat wanita adalah keperawanan. Itu membuat pria-pria berlencana menundukkan kepala, mengecup tangan mereka, dan berkencan di dalam kereta kuda. Meskipun kita bukan seorang aristokrat wanita, kupikir tak ada salahnya untuk menjaga kehormatan itu, sebab aku mulai jatuh cinta dengannya. Pria yang bergaul dengan sahabat raja. Orso namanya."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 25, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

REGRETAWhere stories live. Discover now