001

385 22 2
                                    

Aku merasakan ketegangan yang cukup hebat saat melangkah lebih jauh, meninggalkan pintu besar dari rumah milik orang yang baru saja menikahiku. Langkahku teramat pelan, hingga tak mengeluarkan suara berisik untuk rumah sebesar ini yang biasanya satu sentuhan benda pun terdengar menggema.

Mataku melirik tak tentu arah, tirai tirai coklat yang menjulang tinggi menghiasi rumah berpoleskan cat warna putih ini, tampak lebih indah dibandingkan sebelum masuk kedalamnya. Beberapa pajangan lukisan yang tersusun rapih dan terlihat elegan didinding-dindingnya, tak lupa dengan tatanan foto disebuah meja kecil khusus tempat hiasan sepertinya.

Ditengah-tengah rumah agung itu terdapat sofa yang bisa menampung beberapa orang, meja yang terbuat dari armer kiranya, tak diisi oleh apapun, hanya ada sebuah majalah dan asbak ditempat singgahan meja tersebut. Tak ada yang lebih aku tunggu-tunggu sebelum melangkah menuju tangga yang menjulang keatas. Aku rasa, aku tidak perlu melakukan olahraga jika tinggal dirumah ini, setiap hari pasti aku akan mengeluh sembari menempelkan koyo disekujur badanku, membayangkan itu membuatku bergedik ngeri.

"Keberatan jika tidur satu kamar denganku?"

Suara berat itu membuatku terpejerat kaget, yang tadinya melirik tak sopan keberbagai arah, kini aku menatap pria yang jauh lebih tinggi dibandingkan aku.

"Tidak masalah selama itu tidak menggangumu," Jawabku.

Pria didepanku mengangguk, lalu membuka sebuah kamar dengan pintu bewarna hitam, aku dengan refleks mengikuti langkah itu.

Satu hal yang pertama aku tatap adalah sebuah kasur berukuran lebar, aku tidak bisa membayangkan seberapa nyamannya kasur itu jika aku tidur nanti. Membayangkan lagi, aku ingin segera tidur.

"Kau bisa meletakkan barang-barangmu disini, jika tidak merasa nyaman, besok aku akan memanggil seseorang untuk membenahi kamar sebelahku,"

Aku menggeleng keras, berusaha untuk tidak membuatnya repot.

"Tidak perlu, aku hanya perlu menyesuaikan diri saja," ucapku sembari tersenyum lebar.

"Kau bisa mandi, pasti lelah menghadapi tamu yang banyak tadi," sambungku.

Entah sejak kapan, aku mulai merombak total tatanan kamar ini, beberapa bajuku sudah aku masukkan kedalam lemari yang lagi-lagi bewarna hitam, disana terlihat sedikit sekali baju-baju milik pria yang kini menjadi suamiku.

Aku kira, suamiku seperti orang di drama yang aku tonton tiap harinya, seperti memiliki kamar luas yang terdapat Walk-in closet didalamnya, ternyata tidak juga. Beberapa barang disini masih normal seperti milikku dirumah.

Dan beberapa susunan hiasan mainan kartunku juga aku bawa, aku letakkan disela-sela bingkai foto, yang kini terdapat foto pernikahan ku dengan dirinya kemarin. Aku tidak akan berpikir suamiku akan marah, karena dirinya sendiri yang mengatakan bahwa aku bisa meletakkan apapun disini.

Aku mulai menganti sebuah karpet berbulu ukuran kecil dibawah kasur ini dengan karpet bulu warna lain yang aku lihat dilemari tadi, aku hanya tidak suka warna hitam, nyaris aku bisa buta melihat warna hitam itu terpilih menjadi warna favorit suamiku, pikirku muram.

Beberapa kali juga aku menyemprotkan pengharum ruangan milikku, wangi segar membuat kamar itu tampak tak suram. Hingga saat suamiku keluar dari kamar mandi, ia tampak sama sekali tidak marah, hanya menampilkan ekspresi datar setelah tadi sempat terkejut mendapati kamarnya yang sangat berbeda dari sebelumnya.

"Aku tidak menyangka kamu tidak keberatan atas sikapku yang tidak sopan ini," aku menyayangkan sikapnya yang tidak marah atas perbuatanku.

"Untuk apa keberatan?"

Aku menghela nafas, "Aku benar-benar merubah kamarmu!"

Suamiku melirik aku sejenak, lalu memakai kaos hitam dengan santainya dihadapanku yang kini terduduk dengan dua koper yang terbuka lebar, menghalangi jalan masuk kedalam kamar mandi, mungkin itu sebabnya suamiku berganti baju didepanku.

"Sekarang kamar ini kamarmu juga," acuhnya.

Aku mendengus, lalu menutup dua koper itu yang sudah kosong, aku meletakkannya disamping lemari karena disana juga terdapat koper lain yang aku pikir itu milik suamiku.

Tanpa menjawabnya lagi, aku segera mengambil sekotak tas kecil dan handukku kedalam kamar mandi, aku menatanya didalam sana. Di sebuah gelas khusus sikat gigi yang kini terdapat sikat gigi bewarna hitam, aku mendengus untuk kedua kalinya. Aku membuangnya dan menggantinya dengan sikat bewarna pink dan biru, lalu menulis inisial untuk keduanya agar tak tertukar.

Meletakkan sabun, shampo, lulur, dan lainnya khusus diriku, kini semuanya tampak ramai atas barang-barangku. Setelah mengatur semuanya, aku mulai bergegas membersihkan tubuhku yang aku rasa sedikit lagi akan lengket penuh dengan peluh. Dan keluar serasa aku sudah puas melirik ornamen-ornamen kamar mandi ini.

"Mari kita tetapkan peraturan rumah," tiba-tiba aku melontarkan kalimat itu kepada suamiku yang sangat serius menatap laptopnya.

"Peraturan?" ulangnya, aku melihat ekspresinya yang bingung walau tidak terlihat jelas, tapi aku bisa tahu karena alisnya tiba-tiba mengerut.

Aku mengangguk ditengah-tengah tempat tidur, menunggu suamiku mengatakan persetujuan untuk kalimatku barusan. Beberapa detik kemudian, suamiku berdiri dan meletakkan laptop itu di sebuah sofa, lalu melangkah menuju ke arahku. Ia tampak tampan dengan balutan kaos panjang bewarna cream dan celana panjang yang terkesan santai bewarna hitam.

"Peraturan tersebut harus saling menguntungkan 'ku pikir,"

Aku mengedikkan bahuku acuh, memilih untuk mengambil sebuah selembar kertas bewarna putih dan pena bewarna biru, karena entah dimeja suamiku tidak memiliki pena bewarna hitam.

"Kita tulis disini agar tidak terlupakan oleh masing-masing, lalu pasang disana agar dibaca setiap hari," ucapku menunjuk arah pintu kamar.

Suamiku hanya mengangguk setuju, tampak tak keberatan padahal aku akan mengambil bagian keuntunganku lebih banyak di peraturan ini. Aku akan membuatnya tidak bisa menolak apa yang aku inginkan dan aku perintah.

"Pertama, aku ingin kamar mandi terlihat selalu bersih, maka dari itu aku ingin kita saling membersihkan kamar mandi bergantian," aku memulainya dari ini.

"Kita punya seseorang untuk membersihkannya," dengus suamiku jengkel.

"Tidak tidak, mari kita tetapkan bahwa kamar ini sekarang kita yang akan mengurusnya sendiri, termasuk dengan kebersihannya," ini pertama kalinya aku menyela suamiku.

"Aku sibuk untuk mengerjakan hal-hal seperti itu membuat bebanku bertambah,"

Aku berpikir ulang, namun tidak ada ide untuk menolak kalimatnya barusan, kalau lagi-lagi aku memaksanya sudah dipastikan aku akan ditendang dari sini, lalu suamiku mengatakan, "Pergi kau sialan, beraninya kau membuat peraturan konyol itu pada orang sesibuk diriku!" Membayangkan itu, aku menggeleng cepat.

"Yasudah," akhirku lesu.

Kalau aku melanjutkan peraturan ini, bisa-bisa semuanya akan tertolak karena alasan pekerjaan suamiku, aku ini masih kuliah, jadi pasti ia berpikir bahwa akulah yang punya banyak waktu untuk berberes dan membersihkan rumah sebesar ini dibandingkan dia.

"Tidak perlu repot memikirkan hal seperti itu, aku sudah mengaturnya sebelum kau datang ke rumah ini," tampaknya suamiku berpikir keras sebelum mengatakan kalimat barusan.

"Baiklah, bisa kita tidur sekarang? Aku tidak bisa tidur dalam keadaan lampu menyala,"

Suamiku mengangguk, seakan melupakan pekerjaannya yang aku ganggu barusan, tugasnya terlantar begitu saja. Suamiku memilih menemaniku tidur dibandingkan berpikir kapan pekerjaannya akan selesai, hal ini membuatku sedikit tersipu.

tbc.

pernikahan bisnisNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ