PI (1)

54 2 1
                                    

Habba menatap langit kamarnya kosong. Sesekali ia menghela nafas berat. Dalam hitungan hari, ia akan melepas masa jomblonya ini. Pikirannya menelisik jauh kejadian 2 minggu yang lalu. Saat ia berniat kabur dari rumah karena Abinya yang meminta agar Habba menikah dengan Gus Azzam, yang notabenya sudah ber istri. Habba masih waras untuk tidak merusak rumah tangga orang lain. Meski kata Abinya, Istri pertamalah yang meminta Gus Azzam menikah lagi karena beliau tidak bisa memberi keturunan untuk Gus Azzam. Tapi tetap saja, Habba tidak mau! Habba ini perempuan, tidak ada satupun perempuan di dunia ini yang rela di poligami meski dalam mulut berkata iya.

Waktu itu, Habba memutuskan untuk kabur dari rumah. Niatnya mau pergi ke rumah nenek di Bandung, tapi naas di tengah jalan Habba tersrempet mobil. Disanalah ia bertemu dengan lelaki yang 2 minggu lalu meminta ijin untuk menikahinya. Rencana  Allah memang sangat mengejutkan, ia tidak pernah menyangka akan menikah muda seperti novel novel fiksinya.

Habba meraih foto yang selalu ia letakkan di samping kasurnya. Mengusap pelan sosok berarti disana, "Umma, Habba mau menikah besok lusa." air matanya mulai merembes.

"Besok Habba sama Mas Fathur mau bertemu Umma. Nanti, Umma mampir ke Mimpi Habba ya? Kasih restu ke Habba hehe," Tangannya mengusap setetes air mata.

"Kalau Habba nikah, Habba gak bisa traveling lagi kayaknya. Habba harus jadi istri solehah buat suami kan? Kayak Umma ke Abi. Doa in Habba ya Umma? Semoga Habba bisa jadi istri yang baik buat mas Fathur."

Ummanya, sosok bidadari yang selalu Habba rindukan. Di balik sifat Habba yang ceria, dan lemah lembut, Habba sering menangis sendirian di kamar. Diam diam ia menyalahkan dirinya sendiri. Dulu, ia sering mendapati Abi menangis di kamar sembari memegang foto Umma. Habba merasa sakit akan itu, jika dulu ia tidak ada, mungkin sekarang Umma nya masih hidup. Jika dulu Ummanya tidak memilih Habba tetap hidup maka Abi pasti sekarang tidak pernah menangis lagi. Rasa bersalah itu menyeruak kian dalam.

"Sudah tidur Kak?"

Cepat cepat Habba menghapus air matanya. "Belum Abi, Habba belum tidur."

Aris tersenyum. Ah, putrinya ini memiliki mata yang sama seperti Nabila. "Abi boleh masuk?"

"Monggo, Abi."

Aris duduk di samping Habba, mengusap pelan pucuk kepala anak semata wayangnya ini. "Akad nikahnya lusa bukan?"

Habba mengangguk.

"Abi gak nyangka, kamu kemarin nangis nangis gak mau Abi jodohkan ternyata sudah suka sama orang lain." Aris terkekeh pelan.

Habba menatap Abinya sedikit kesal, "Lagian, kenapa juga Abi nyuruh Habba nikah dengan Gus Azzam? Beliau kan sudah beristri."

"Abi gak maksa kamu kok. Kamu kalau waktu itu menolak juga gak papa, tidak boleh menikah karena terpaksa itu, kak."

Habba melotot, jadi seharusnya Habba sekarang masih jomblo gitu?

"Habba waktu itu boleh nolak? Ih, kok Abi baru ngasih tau Habba sekarang sih?"

Aris mengangguk, "orang kamunya waktu itu sudah marah dengan Abi duluan, malah kabur segala lagi." Aris menatap foto istrinya yang berada di kasur Habba. "Kamu rindu dengan Umma?"

Habba yang tadi sibuk melamun atas ketidak percayaan ini langsung kembali menatap Abinya. "Tadi Habba cuma nyampaikan maaf ke Umma saja Abi."

Aris bingung, "Maaf kenapa?"

"Habba merasa bersalah atas lahirnya Habba. Se andainya dulu Habba tidak lahir, mungkin Umma tetap di sisi Abi. Dan Habba tidak akan melihat Abi menangis setiap malam. Abi, pasti rasanya sakit ditinggalkan Umma." Suara Habba menjadi serak, ia akan menangis.

"Astagfirullah Habba. Bagaimana kamu berpikiran seperti itu nak? Abi sama sekali tidak pernah merasa kamu itu penghalang. Habba, dengarkan Abi,"

"Dulu, Umma sama Abi bertemu ketika kita berada di salah satu pengajian. Waktu itu, kita sama sama di beri amanah untuk menjadi pengisi acara disana. Umma mu duduk di depan Abi. Dia memakai cadar, tapi tidak membuat Ummamu kehilangan kecantikkannya."

Aris tersenyum tipis, namun tulus ia sangat merindukan bidadarinya, "Habba tau? Dulu Abi ini sangat pemalu, bahkan untuk memberikan ajakkan taaruf pada Umma mu saja tidak berani. Abi terlalu gengsi. Lalu Abi disana terus saja memandangi cara Umma mu menyampaikan materi. Cantik, anggun dan pintar."

Habba ikut tersenyum, ia suka ketika Abinya bercerita tentang Ummanya. "Pasti Abi disana mikir gini, Maa syaa allah ada bidadari di depan, begitu kan?"

Aris tertawa namun mengangguk, "Setelah acara itu berakhir, Abi sama sekali tidak pernah bertemu dengan Umma mu, tapi setelah acara itu berakhir, menjadi awal Abi berani menyebut perempuan di doa Abi."

Habba tersenyum, manis sekali Abinya ini. Betapa beruntungnya Umma saat itu.

"3 bulan setelah saat itu, Abi di ajak sama kakekmu untuk sowan ke salah satu pesantren milik temannya. Kamu tau kak, disana Abi bertemu lagi dengan Umma mu. Waktu itu, Abi berani menatap Umma mu sampai kakekmu tau kalau Abi ada perasaan dengan Umma mu."

Habba semakin penasaran, "Terus?"

"Kakekmu langsung melamarkan Umma mu untuk menjadi istri Abi."

Habba menutup mulutnya tak percaya. Sungguh, romantis sekali! Sudah seperti kisah novel yang sering ia baca. "Setelah kami menikah, 7 tahun sepertinya dan kami belum di beri momongan. Umma mu sudah putus asa kak, bahkan sering meminta Abi buat menikah lagi tapi Abi tetap tidak mau. Abi tidak ingin berbagi surga dengan wanita selain Umma mu, surga Abi hanya untuk Umma mu dan itu berlaku selamanya."

"Abi itu seperti kamu kan? Anak tunggal jadi yah, Abi di paksa untuk menikah lagi. Umma mu bahkan sudah mendatangkan calonnya." Aris tertawa lirik mengingat momen itu. Lucu sekali.

"Tepat saat akan akad, Umma mu pingsan. Padahal Umma mu sendiri yang mencarikan calon buat Abi tapi dia sendiri yang pingsan. Abi yang panik bukan main saat itu langsung membawa Umma mu ke rumah sakit. Dan kamu tau kak? Allah saat itu sudah menitipkan kamu di rahim Umma mu."

"Kak, Abi boleh minta sesuatu dengan kakak sebelum kakak resmi menikah? Jangan pernah merasa bersalah lagi ya? Kak Habba buat Abi itu segalanya, kalau Kakak meninggalkan Abi, dengan siapa lagi Abi akan kembali? Kakak itu hal yang sangat Umma dan Abi tunggu kedatangannya. Abi sering menangis Umma mu karena mungkin rindu. Abi tidak menyangka kamu bisa tumbuh menjadi sosok yang sangat Abi banggakan."

Habba sudah menangis, ia berhambur memeluk Abinya. "Maafkan Habba, Abi yang sempat berniat pergi. Maaf, Habba sudah durhaka dengan Abi."

Aris mengangguk, "Abi Maafkan. Sekarang berhenti menangis, kamu sebentar lagi mau menjadi istri orang masa masih cengeng."

Habba tertawa renyah. Allah maha baik, karena sudah mendatangkan cinta pertamanya bahkan saat ia baru lahir. Abinya.

Tbc

Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang