Penerbang Doa

21 5 2
                                    

Kagoshima itu...

Aku menghilangkannya...

Hartaku paling berharga...

Aku berdosa...

Aku menyesal...

Tolong, maafkan aku.

Itulah beberapa kalimat yang menjadi igauan Ibu Luna, Aiko Aizawa, yang terjadi di tengah malam sebelum dia koma pada esok pagi. Sejujurnya, Luna tak begitu mengerti mengenai ucapan Ibu. Namun, mau tidak mau Luna harus memecahkan teka-teki yang tersirat dalam igauan singkat Ibu. Mungkin, buku catatan tua Ibu akan membantunya menemukan harta paling berharga.

Tokyo, Oktober 2012

Seorang gadis berambut hitam panjang mengenakan topi beret oranye, mantel coklat selutut, dan sepatu boot hitam menelusuri jalan trotoar sendiri. Gadis itu membawa ransel biru di punggung dan sebuah tas hitam sedang di tangan kirinya. Sebenarnya udara di musim gugur tidak begitu panas. Namun, gadis bernama Luna itu merasa gerah. Keringat yang mengucur dari ujung kening dan pipinya terasa panas. Mungkin, karena sudah setengah hari Luna tak berhenti mencari penginapan murah di Tokyo.

Luna menghentikan langkahnya sejenak lalu segera meneguk setengah air dalam botol minumnya. Tak lupa, Luna mengambil sapu tangan merah dari saku mantel dan mengusapkannya pada ujung dahi serta sekeliling lehernya. Mendadak angin berhembus kencang, sapu tangan yang Luna pegang ikut terbang bersama dedaunan kering. Luna mengejar selembar kain persegi empat itu dan dia pun mendapatkannya tergeletak di depan halaman bangunan dominan putih dan kuning.

" Panti Asuhan Himawari," gumam Luna.

Luna tak segera pergi dari tempat itu. Dia sengaja berjalan-jalan di sekitar tempat itu, memandang anak-anak kecil yang sedang bermain di taman, dan memerhatikan beberapa anak lain yang sedang asyik melipat kertas lipat dari luar jendela.

" Apa yang kau lakukan?" tanya sebuah suara asing dari belakang dalam bahasa Jepang. Luna memutar tubuhnya. Luna setengah kaget ketika melihat seorang laki-laki jangkung berambut coklat telah berdiri di depannya.

" Jangan takut. Aku orang baik. Aku tinggal di sini. Aku hanya bertanya apa yang dilakukan orang asing sepertimu di sini," ucap laki-laki itu lugas.

" Maaf, aku hanya ingin mengambil sapu tanganku. Tapi, entah kenapa, kakiku tertahan ketika melihat anak-anak kecil," jelas Luna diikuti segaris ringisan polos.

Laki-laki itu mengayunkan kepalanya pelan sambil tersenyum tipis. Tak mau menjadi kikuk terlalu lama, Luna pun segera berpamitan. Luna berniat melanjutkan perjalanannya yang tertunda.

Namun, tanpa disangka, laki-laki jangkung berkata, " Kau bisa tinggal di sini. Jika kau mau, aku akan membantumu. Kurasa kau akan sulit mencari penginapan di waktu seperti ini, di sekitar wilayah ini. Panti asuhan ini memiliki beberapa kamar kosong. Kau bisa memilihnya."

Mendengar perkataan laki-laki jangkung, langkah Luna terhenti. Luna menoleh pada laki-laki itu dengan pandangan tak percaya.

˜

Langit berwarna gelap dan cahaya mentari telah tergantikan oleh cahaya bulan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam tetapi Luna masih belum bisa terpejam. Bukan karena kamar panti asuhan yang kurang nyaman melainkan sosok ibunya yang selalu membayanginya akhir-akhir ini. Teringat jelas, tepat di jalan depan gerbang gedung SMA-nya, taksi yang ditumpangi Ibu bertabrakan dengan mobil sedan dari arah berlawanan. Luna yang baru keluar dari aula sekolah sembari mengenakan toga kelulusan tidak bisa menahan teriakan dan tangisan histerisnya ketika mengetahui kondisi Ibu yang berlumuran darah dan tak sadarkan diri. Hari spesial pun seketika berubah menjadi hari muram. Sialnya, hari itu tidak dapat terlupakan begitu saja hingga sekarang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 01, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Penerbang Doa Where stories live. Discover now