Vista Abadi

3 0 0
                                    


Pasar tidak pernah tidak ramai. Biarpun mentari dengan angkuh memamerkan panasnya hingga menyengat kulit, hal itu tak mampu melunturkan semangat para pencari nafkah demi sesuap nutrisi.

Trem jua tak kalah ramai, terisi kumpulan orang Belanda, Tiongkok, hingga Pribumi. Penuh sesak oleh napas orang dan bau keringat, ditambah orang merokok jua. Guna menutupi bau keringat, katanya. Bodoh, pikirku. Aku merapatkan diri ke tubuh Ibu yang berbalutkan kain sutra, menghirup wewangian kembang yang menguar. Ibu berikan senyum manisnya seakan mengerti alasan diriku merapatkan diri. Aku termenung. Elok nian paras Ibuku. Entah seberapa besar kebaikan yang telah Bapak lakukan hingga mendapatkan istri dengan pahatan paras bagai malaikat.

Tujuanku adalah balai kota. Teriakan penjual karcis terdengar ketika trem berhenti di tempat perhentian. Orang berbondong-bondong turun, termasuk aku dan Ibu. Hanya perlu berjalan beberapa saat lagi hingga kami sampai ke tempat kerja Bapak.

Dari kejauhan kulihat Bapak sedang berbincang dengan rekan kerjanya. Tak butuh waktu lama untuk Bapak menyadari keberadaan diriku dan Ibu. Buktinya sekarang Bapak menjauh dari kawanannya, menghampiri kami dengan pancaran kebahagiaan, dan merentangkan tangan; mengundang diriku untuk memeluknya.

"Bapak!"

Aku berlari ke arah Bapak, namun langkahku terhenti tepat di hadapannya. Menolak sambutan peluk itu.

"Bapak bau keringat!" protesku sebagai balasan ekspresi bingung Bapak.

Setelahnya, Bapak langsung merengkuhku kendati aku terus memberontak dalam tawa. "Biar kau bau keringat pula macam Bapak," balasnya.

Setelah puas berpelukan denganku, Bapak berbincang dengan Ibu. Dalam diam kuperhatikan tegapnya badan Bapak dalam balutan seragam kerjanya. Wajahnya teduh nian jika bercengkrama dengan Ibu, berbeda saat bersama kawanannya yang berwajah tegas nan menyeramkan.

Dalam hati, kubertanya-tanya akan seperti apa pula diriku nanti. Apakah diri ini bisa bahagia layaknya Ibu dan Bapak bermadu kasih? Atau jangan-jangan ada masa depan yang lebih indah, hilangnya diskriminasi antar ras mungkin. Kalaupun ada kemungkinan terburuk, kuharap itu bukan tentang Bapak yang harus gugur di medan juang.

Kugelengkan kepala, menepis segala pikiran buruk yang terlintas. Entah bagaimana ke depannya, yang pasti aku sangat bersyukur dengan keadaanku saat ini.


***


"Ra! Azura!"

Aku terperanjat mendengar pekikan lelaki di sampingku yang menatap dengan heran. Kuusap wajah dengan satu tangan, dalam hati menyesali lamunan yang meninggalkan lelaki tersebut sendirian.

"Ada apa, Sha?" tanyaku.

"Kenapa melamun?"

"Tiba-tiba teringat cerita nenekku."

Lelaki empunya nama Barsha menganggukkan kepalanya dan tidak bertanya lebih banyak lagi. Aku pun ikut memperhatikan sekitar. Saat ini aku dan Barsha berada di sebuah museum. Tempat barang-barang peninggalan dipajang tertata, beberapa miniatur menampilkan rekayasa adegan bersejarah, dilengkapi penjelasan peristiwa lampau yang dikemas secara ringkas. Barsha menatap semua itu dengan pandangan yang dalam, seakan pikirannya sedang berkelana jauh ke dalam masa lalu benda-benda tersebut. Tangannya maju-mundur ingin menyentuh benda tersebut, namun apalah daya hal tersebut merupakan larangan.

Mengingat cerita nenekku sebelumnya serta keadaan di sekitar yang mengundang rasa nostalgia asing, suatu pikiran acak hadir begitu saja dalam pikiranku. Aku menarik pelan lengan baju Barsha sebelum berucap, "Konsep waktu itu unik ya, Sha."

"Unik?" Barsha mengalihkan pandangan dari pajangan dan menaruh perhatian sepenuhnya kepadaku.

"Iya. Kita berada di tempat yang sama, namun keadaannya benar-benar berbeda karena kita terpaut di waktu yang berbeda. Dulu, Nenekku ada di sini karena mengunjungi Uyut yang bekerja. Sekarang, aku disini menatap benda-benda peninggalan zaman mereka," ungkapku menjelaskan maksud dari kalimat pembuka bicara tadi.

Barsha menggelengkan kepalanya sebelum membalas, "Tapi, jika bulan mengedari bumi; bumi mengedari matahari; matahari mengedari galaksi Bimasakti; galaksi Bimasakti mengedari pusat massa; kalau dilihat dari teori itu, kurasa kita tidak pernah berada di tempat yang sama, Ra."

Aku termenung mencerna kata demi kata yang Barsha lontarkan. Kepala kuanggukkan sebagai tanda mengerti, walau tidak sepenuhnya. Kembali kutatap pajangan terdekat dari posisi kami. Tidak seperti Barsha yang memang tertarik dengan sejarah, aku menatap barang-barang itu dengan pandangan tidak fokus karena pikiran yang melanglang buana entah kemana.

"Ya, tapi mereka abadi," ujarku.

"Ra, tolong, kalau mengganti topik jangan terpotong seperti itu. Jelasin!" protes Barsha.

"Terlepas dari ruang dan waktu yang semakin menjauh, masih ada konsep kenangan, Sha. Meskipun badan telah menyatu tanah, mereka tetap abadi dalam ingatan orang-orang yang menyayangi mereka. Baik itu berbentuk keabadian di dalam bayang-bayang imajinermu yang membaca cerita sejarah, mereka juga abadi di sebuah cerita turun-temurun keluargaku," jelasku.

Barsha mengangguk setuju dengan pernyataanku, "Kalau hidup dalam ingatan itu terhitung, mereka benar-benar abadi."

"Maaf."

"Hah?" Bagai buku yang terbuka, ekspresi bingung tergambar jelas pada wajah Barsha. "Ada apa, Ra? Kenapa tiba-tiba minta maaf?"

"Maaf karena aku tidak bisa membuatmu abadi."

Dahi mengerut; pangkal alis hampir bertemu. Kalimatku barusan justru membuat Barsha semakin bingung.

"Aku ini pelupa, Sha. Tempat ini, percakapan ini, bahkan kita saat ini mungkin saja akan terlupakan olehku esok lusa dengan mudahnya. Aku tidak bisa membuatmu abadi," tuturku dengan suara yang pelan.

"Kebiasaan. Jangan selalu mengambil kesimpulan sendiri. Aku tidak peduli dengan keabadian dan aku tidak perlu keabadian itu, Ra. Yang penting bagiku adalah saat ini, di tempat ini, kamu di hadapanku dengan segala perbincangan acak milikmu ini. Tak ada yang lain," tandas Barsha dengan perlahan seolah-olah dirinya sedang menerangkan sesuatu kepada anak kecil.

"Pasangan yang tak abadi, ya," gumamku.

Barsha memang selalu sabar menanggapi segala pikiran acakku. Kurva indah tercetak di iras tampan itu, sebuah senyuman yang memancarkan ketenangan bagai harum aroma terapi. Tangan kirinya menjalar, bertautan dengan telapak tanganku.

"Pulang, yuk!" ajaknya.

Kuikuti langkahnya yang melambat karena menyeimbangi panjang kakiku. Langit biru menyambut kami ketika keluar gedung museum. Disertai pendar matahari yang menyelimuti tubuh seakan mengejek kulit yang sensitif. Terlalu sibuk dalam pikiran membuat pertanyaan acak kembali muncul dalam batinku.

"Apa Nenek juga melihat pemandangan langit secerah ini di masa lalu?"

Meskipun pemandangan terlihat seperti berubah termakan waktu, kurasa itu tak cukup untuk melunturkan kenangan dan memoar yang ada. Karena vista itu abadi di dalam atma yang menyayanginya.




VISTA ABADI

7.1.2023

TAMAT

Yayımlanan bölümlerin sonuna geldiniz.

⏰ Son güncelleme: Jan 07, 2023 ⏰

Yeni bölümlerden haberdar olmak için bu hikayeyi Kütüphanenize ekleyin!

Birunya HujanHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin