Prolog

38 6 2
                                    

PROLOG

Suara dokter dan para perawat saling bersahutan. Instruksi diserukan di sela kegiatan memanggil dan menepuk-nepuk pantat bayi merah yang baru saja diangkat dari rahim. Sang ibu yang juga masih dalam perawatan mulai menangis.

Bayinya tidak menangis!

Satu kalimat yang membuat dunianya seolah jungkir balik. Bingung, takut, khawatir jadi satu. Menangis, hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang ini saat lebih dari separuh tubuhnya masih terpengaruh oleh obat bius. Walau dalam keadaan sadar, dia tidak bisa melakukan apa-apa.

Air mata mengalir deras, tangan yang terasa setengah kebas terangkat menutup mulut. Berusaha keras agar tidak menjerit saat melihat dokter dan perawat memukul, membalik, menggali hidung dan mulut, memanggil dan melakukan hal-hal yang terlihat menyeramkan pada bayinya.

Ya Tuhan! Tolong selamatkan anakku.

Berbeda dengan keadaan di dalam yang sibuk, keadaan di luar justru terasa hening karena tidak ada satu orang pun yang bersuara, larut dalam perasaan khawatir. Seorang wanita paruh baya hanya merapatkan tangan di depan dada sambil berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang operasi. Satu-satunya pria di sana, yang juga sudah berumur, sibuk menenangkan wanita yang tampak khawatir di pelukannya.

"Sudah hampir tiga jam, dan belum satu pun dari mereka ada yang keluar," gumam wanita yang mondar-mandir sambil beberapa kali melihat jam. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Isakan yang awalnya pelan, perlahan terdengar semakin jelas. Ketegangan akhirnya terpecah saat pintu ruang operasi terbuka, dan seorang pria mengenakan jubah putih, masih dengan penutup rambut di kepala serta masker, keluar dari dalam. "Keluarga Ibu Anis?" Ketiga orang tersebut langsung berkumpul di depannya. Menanyakan keadaan Anis.

Pria tersebut memandang orang-orang di depannya, tampak sedang mencari. "Suaminya?"

"Suaminya masih bekerja, Dok," wanita yang sejak tadi mondar-mandir menjawab cepat.

Pria berjubah putih tersebut mengangguk paham. "Kondisi bayi Ibu Anis sangat lemah, saat ini kami akan berusaha membuatnya lebih stabil. Untuk Ibu Anis sendiri sekarang dalam keadaan tidak sadar. Pendarahannya lumayan banyak, dan secepatnya akan segera dipindahkan ke kamar rawat."

Dokter berlalu meninggalkan mereka setelah sedikit berbasa-basi. Pintu kembali terbuka. Sebuah brankar, dengan tubuh tergolek lemas di atasnya, didorong oleh seorang perawat pria melewati mereka. Wajah pucat Anis dengan mata terpejam terlihat jelas oleh ketiga orang di sana yang menatapnya dengan pandangan khawatir.

Wanita yang sedang berada dalam dukungan suaminya meratap, "Ya Tuhan … tolonglah putriku."

*****


Anis tersadar dalam keadaan lemas di kamar rawat beberapa jam kemudian. Di dalam ruangan itu, tidak ada orang lain selain ibu mertuanya yang duduk di atas gelaran tikar di lantai. Pun tidak ada pasien lain di ranjang sebelah.

"Bu, anakku gimana?" tanya Anis begitu sang mertua bergegas bangkit menghampirinya.

Menepuk ringan tangan Anis yang bebas tanpa infus, Triana tersenyum sendu. Berusaha memberi jawaban untuk menenangkan Anis yang tampak gelisah, "Sudah ditangani oleh dokter, kami belum mendapat kabar lagi. Ibu bapakmu juga masih keluar cari makanan, kamu tunggu sebentar, ya? Ibu panggil dokter dulu."

Anis mengangguk setuju. Lagi pula, dia ingin menanyakan keadaan putranya pada dokter.

Seorang pria dengan jas panjang putih khas dokter masuk tak lama kemudian. Menyapa dengan sopan, kemudian memeriksa keadaan Anis secara menyeluruh, mengatakan hasil pemeriksaan kepada perawat di sampingnya untuk dicatat.

"Keadaan tubuh Bu Anis sudah mulai membaik. Efek obat bius akan habis dalam satu sampai dua jam lagi, saat itu baru boleh makan dan minum. Sebisa mungkin, jaga  luka jangan sampai terkena air untuk beberapa hari ke depan supaya cepat kering. Serta jangan lupa minum obatnya secara teratur."

Di saat yang sama, dua orang pria berbeda usia masuk ke dalam ruang rawat. Pria yang lebih muda mengangguk singkat pada dokter yang memeriksa Anis.

Dokter menyapa dengan senyuman ramah, "Anda suaminya?"

"Benar, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?"

"Kebetulan sekali saya menunggu Anda, bisa kita bicara di luar?"

Andrian mengangguk, mengikuti dokter yang lebih dulu berjalan keluar. Keadaan rumah sakit sudah sepi karena jam besuk sudah hampir berakhir. Pemilik ruangan membuka pintu dan mempersilakan Andrian masuk.

"Jadi bagaimana, Dok?"

"Jadi, sebenarnya putra Anda lahir dalam keadaan sangat lemah, bahkan sejak masih di dalam kandungan. Terlahir dalam keadaan tidak menangis karena sebagian air ketuban memasuki saluran pernafasan, serta Ibu Anis yang mengalami anemia parah selama kehamilan. Saat ini kami masih berusaha sebisa mungkin untuk membuatnya stabil.

Selain itu, ada satu hal yang ingin saya sampaikan terkait kondisi putra anda. Hasil pemeriksaan lanjutan menyatakan jika reaksi pupil matanya kurang baik terhadap rangsangan cahaya yang diberikan oleh tim dokter. Kami rasa, ada kemungkinan jika dia mengalami kebutaan."

"Buta?" lirih Andrian, pikirannya kalut, ucapan dokter selanjutnya sudah tidak lagi didengar dengan benar.

Dengan muka merah padam, Andrian kembali ke ruang rawat, membuka pintu dengan kasar, tidak lagi memedulikan siapa pun, matanya hanya tertuju pada Anis. Mengucapkan apa yang sudah ditahannya sejak berada di ruangan dokter.

"Apa yang kamu lakukan sampai membuat anakku buta?!"

Bagaikan disambar petir di siang hari, Anis merasa dunianya runtuh seketika mendengar pertanyaan Andrian.

Kedua orang tua dan mertuanya tidak kalah terkejut mendengar kabar tersebut. Hanya bisa menyaksikan bagaimana Andrian dengan wajah memerah mendekati Anis yang masih berbaring.

"Apa yang kamu lakukan selama hamil? Apa kamu pernah berusaha membunuhnya?" Tangan terangkat, jari menekuk seolah ingin mencekik, beruntung Susanto sigap untuk menahannya.

"Yan, sabar, nyebut, Le, eling*!" ratap Triana mencoba menyadarkan Andrian yang tampak tak terkendali.

(*dalam bahasa Indonesia "Yan, sabar, istighfar."

Andrian mundur selangkah, melepaskan diri dari cekalan sang Ayah kemudian berbalik masih dengan wajah memerah, melangkah pergi meninggalkan ruangan tempat Anis dirawat.

Anis masih terdiam, efek obat bius belum sepenuhnya menghilang. Tubuh yang masih terasa kebas membuatnya semakin tak berdaya. Mau menangis pun tak mampu, seolah air matanya sudah kering saat melihat dengan mata kepala sendiri putranya mendapat pertolongan darurat dari tim dokter di ruang operasi. Hingga akhirnya dia dibuat tertidur agar pendarahannya tidak semakin memburuk setelah dokter menyelesaikan penanganan terhadap luka operasinya

Hah! Lembu punya susu, sapi punya nama. Hanya saja dalam kasusnya kali ini, berlaku kebalikan. Siapa yang salah, siapa yang disalahkan.

"Ini salahku," lirih Anis, tertawa miris.

"Benar, semua memang salahmu. Ini semua tidak akan terjadi andai saja kamu tidak bersama Andrian. Ibu sudah sering bilang sebelumnya, cari pemuda lain. Tapi kau masih berkeras. Dan sekarang kamu lihat sendiri apa yang terjadi pada anakmu," sang ibu meratap dengan suara pilu.

Anis menatap nanar pada sang ibu, mungkin memang semua ini karena kesalahannya. Andai saja dia menuruti nasihat ibunya, semua ini tidak akan terjadi.

Perlahan Anis memejamkan mata kembali, ia lelah. Menyesal sekarang pun tak berguna. Andai ia bisa mengulang semua dari awal.

—▪︎—

PANTANGWhere stories live. Discover now