Prolog

192 11 0
                                    

Aku tak pernah mengerti, mengapa diriku seperti bermimpi dengan mata terbuka. Hatiku pun menjadi kacau. Aku rindu senyuman indah yang terukir di bibir merah mu. Aku membenci ketika diriku tak pernah mengekspresikannya kala itu.

Aku menunjukkan lukaku padamu, namun diriku menolak untuk disembuhkan. Disaat aku berbicara tentang kesepian, justru aku mendorongmu pergi. Dengan pemikiran dangkal merasa tak memiliki daya dengan rasa berserah. Saat itu, diriku masih muda dan berpikir jika diriku tak dapat diperbaiki lagi.

Saat waktu berlalu, menyadari jika diriku terlalu bodoh. Aku pun sempat gila, karena menyadari jika perasaanku lebih dari itu saat kau menarik kehadiranmu. Cinta telah tumbuh di dasar hatiku dan kian membesar setelah luput. Tumbuh di saat diriku mengenali diriku sendiri.

Kata-kata dan sikapku yang telah kutunjukkan padamu adalah duri dan dirimu dengan senang hati menelan duri itu. Saat dirimu dibinasakan dengan duri yang tak sengaja kuberi, justru dengan bodohnya diriku tersadar jika diriku salah menafsirkan perasaan yang tumbuh ini. Maaf telah memberimu duri,,

Kau adalah seseorang yang lebih istimewa dari diriku sendiri.

Diriku telah kehilangan seseorang yang lebih istimewa dari diriku itu sendiri.

Maukah kau kembali berkenan memanggil namaku? Maukah kau berkenan memberikan aromamu dan berkenan menjadikan aromamu milikku. Aku tahu ini egois namun bolehkah aku berbalik mengejarmu? Wahai cintaku yang dulunya cintamu tak berbalas yang mengharuskan dirimu menelan duri yang tak seharusnya kau telan.

-JJH-

.

.

.

Saat itu

Air hujan telah memasung pergelangan kakiku. Terpasung olah air hujan yang telah kutahan sekian lama, menggenang di bawah mataku. Suara jarum jam di dalam ruang yang kosong dan suara tangisan hujan yang keluar dari bibir sembari memandangi potret yang tersimpan lama di dalam catatan harian yang telah lama tak kubuka.

Sebuah kilasan merembes dan keluar dari celah kedua telapak tanganku setelah menembus lembaran itu. Saat itu Seoul sedang dilanda hujan badai selama beberapa hari terlebih pada saat malam hari dan jadwal kita sedikit tak beraturan karenanya.

Air hujan itu adalah sebuah cermin kecil atas duri yang dengan sadar telah kutelan selama bertahun-tahun. Saat aku tak sengaja tersandung saat diriku mencoba berlari menjauhimu. Meski tahu jika pada akhirnya aku menjadi sebuah kursi dengan salah satu kakinya yang pendek.

Payung yang telah kubuat dapat menampung kita berdua, meski salah satu diantara bahu kita akan basah karena hujan dan tentu saja itu adalah bahu kiriku (apa yang telah kulakukukan?). Payung yang seperti pulau tropis nan hangat di tengah-tengah dunia yang dingin.

Maaf telah membuat payung itu membesar dan menjadi canggung.

Aku menundukkan kepalaku karena beban kenangan juga tali sepatuku telah terlepas dan terbengkalai. Saat ini hanya ada hujan dan angin yang tersisa di sisiku (sesungguhnya diriku tak ingin demikian, namun ini yang telah kuputuskan). Seseorang yang menjadi pemegang payungku telah sirna perlahan. Dan diriku menangis karena itu,

Air hujan menjadi penghias malamku yang dingin dan aku sadar jika diriku tak bisa tanpamu.

Sendirian di tengah guyuran hujan badai tidak menyisakan perasaan selain dari rasa sakit. Jaehyun, aku hanya ingin kau tahu jika sendirian di tengah-tengah guyuran hujan badai itu tidak menyisakan perasaan selain dari rasa sakit.

Dirimu adalah sebuah rembulan yang terlihat dari celah-celah awan mendung di malam hariku dengan latar gemintang yang bersinar indah. Sejujurnya, diriku tak rela membiarkanmu pergi. Namun apalah daya, duri yang telah kutelan menjadi air yang turun dari langit yang membasahi tanah. Perasaan sepihak ini telah menyadari jika kita tak bisa melalui gang-gang sempit di depan mata kita secara bersamaan dan saat itu diriku tersadar jika hanya suara gema yang sepi dari sol sepatu yang telah kukenakan. Mendengar gema itu, membuat diriku merasa tak berdaya.

Sepertinya, hati kita tak akan pernah bertemu satu sama lain, itu adalah hipotesa dariku. Aku tak kuasa mengetahui hasil pastinya. Memburamkan gambar dan jawaban yang ada di kepalaku, Payung yang terlalu besar itu telah terlipat ke arah dunia dan membuat hujan mengguyurku. Payung yang terbuka lebar dengan harapan yang menyiksa.

Bahkan jika diriku melihat kebelakang dengan salah satu telapak tangan yang kusembunyikan ke dalam saku itu pun tak kan bersisa dan tak ada lagi. Bahkan, jika diriku bisa berjalan dengan bebas. Kedua pipiku lagi-lagi basah meski hanya dengan gerimis. Kunci hatiku menghilang dan pintu hatiku terbuka. Dirimu adalah satu-satunya pemegang payungku, bayanganmu adalah bayanganku. Dirimu adalah satu-satunya pemegang payungku disisiku karena kau tak mempunyainya.

Saat memutuskan memegang payungku sendiri dari luar jendela, malam hujan dingin kembali menderaku. Karena sudah menjadi kebiasaan jika dirimu menjadi pemegang payungku. Diriku tak bisa tanpamu, sejujurnya diriku membutuhkan kehadiranmu kembali di dalam duniaku. Payungku telah terbengkalai dan aku membutuhkan pemegang payungku kembali. Payungku akan terbengkalai tanpamu, Jung Jaehyun.

-NY-

End of A Day ( Jaehyun & Yuta Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang