[PROLOG]

248 25 10
                                    

●●●Segala sesuatu yang ada di dalam cerita bersifat fiksi dan tidak berkaitan dengan hal-hal di dunia nyata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

●●●
Segala sesuatu yang ada di dalam cerita bersifat fiksi dan tidak berkaitan dengan hal-hal di dunia nyata.
●●●

Suara meriam yang mengudara di malam hari membuat kekacauan di negeri itu menjadi semakin mencekam dan menghantui setiap warga yang tinggal di sekitarnya, tak terkecuali para prajurit yang mulai kehabisan akal ntuk menahan musuh mereka yang seolah tak bisa mati hanya dengan tembakan dan juga ledakan. Tumpah ruah rasanya ketakutan dan erangan meminta tolong semua kala itu, para tabib dan juga penjaga pengungsian ikut tersudut dengan semua ini.

Putra mahkota kerajaan Turka, Harisson Luke, terbangun dari tidurnya dan bergegas menemui permaisuri raja yang merupakan ibu kandungnya yang berada di kamar utama lantai paling atas, para dayang kerjaan pun turut serta dengan berjalan di belakang sang putra mahkota.

Pintu dibuka dengan sigap oleh Harrison, terlihat perempuan paruh baya yang tak pernah menua meski telah melahirkan lima orang anak yang di mana hanya Harrison seorang anak laki-laki diantara saudaranya yang lain. Sang ibu menoleh perlahan dan menatap putranya dengan tatapan yang tenang, tak tampak raut kepanikan atau pun kalut di wajahnya.

"Kau tidak mengetuk pintu." Sergah sang ibu.

Harrison hanya membungkuk kecil sebagai permintaan maaf kemudian berlutut di hadapan ibunya. "Kita harus keluar dari sini, bawa keluar adik-adik ke tempat yang lebih aman." Ujarnya lugas.

Sementara itu sang ibu hanya tersenyum singkat, "Aku tetap di sini."

Embusan napas jengah pun terdengar dari bibir Harrison, geram akan jawaban ibunya itu, "Turka sudah tidak aman, Bu. Monster itu mulai menyerang kerajaan dan menghancurkan gerbang!" Bujuknya lagi.

Sang ibu menggeleng, "Sudah takdirku berakhir di kerajaan ini, Haris. Ini adalah harga yang harus kita bayar." Ujarnya.

Seorang dayang pun masuk ke dalam kamar diikuti seorang pria dengan pakaian zirahnya dengan langkah gontai berlurtut di hadapan sang permaisuri dan juga putra mahkota kerjaan. "Raja tewas di medan perang, Yang Mulia." Ucapnya getir.

Berita duka itu sampai ke kerajaan tepat pukul dua belas dini hari, Harrison termenung di tempatnya sementara sang ibu hanya memejamkan matanya sambil memegang erat pakaian tidurnya di bagian dada menahan kesedihan. Semua orang di sana ikut berlutut memberikan belasungkawa atas kepergian pemimpin kerajaan sekaligus suami dan ayah keluarga kerajaan.

"Waktunya kau yang mengambil alih, Haris." Ujar sang ibu.

Harrison menggeleng berat sambil memijam matanya yang berair, sang ibu pun lantas berdiri dan membenarkan kerah piyama milik Harisson, mengusap wajah putranya itu dengan penuh rasa dan sayang. "Tegakkan kepalamu, Nak. Hadapi semua sampai di mana kemampuanmu bisa menyelesaikanya." Ujarnya tegas.

Sound of Words | Lee Heeseung (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang