10. Sunrise

445 109 20
                                    

Angin mengasihani matahari yang harus segera pergi.

---

"Kau baik-baik saja?" suara itu datang dari Asahi yang duduk di kasurnya sembari mengotak-atik kamera filmnya. "Aku bisa panggilkan perawat kalau kau mau."

"Tidak apa-apa. Nanti juga aku akan membaik," jawabku.

Dari pagi sampai sore ini kondisiku tidak bagus. Gejala-gejala yang memberikan kode kalau kondisiku semakin parah bermunculan. Aku tidak sanggup berdiri tegak, badanku rasanya seperti ditusuk-tusuk, telingaku berdenging beberapa kali akibat menahan sakit, kaki dan tanganku dingin. Perawat memberikan obat dan memasangkan infus di tepi kasurku untuk sementara waktu. Asahi yang sekamar denganku terus merasa khawatir, bahkan Tuan Kim yang tidak pernah beranjak dari kasurnya pun menanyakanku setiap dua puluh menit sekali. Ibu dan ayahku berencana datang berkunjung malam ini karena manajer hospice berkata aku sedang tidak baik. Namun memang biasanya ayah dan ibu datang tiap tiga hari dalam seminggu.

Tubuhku rasanya panas, namun juga lemas sekali. Untung Mashiho tadi membuka jendela dengan lebar sehingga angin bisa masuk menyapa kulitku dan membuatku lebih baik.

"Film-film kamera itu, kenapa belum di cuci?" Karena bosan akhirnya aku membuka obrolan terhadap Asahi. Aku mencoba untuk bersandar di kepala tempat tidur.

Asahi memang suka memotret menggunakan kamera film. Di setiap momen kami bersama, dia tak pernah tidak memotret. Kendati demikian, Asahi tidak pernah menghitung dulu sebelum menekan shutter. Menurutnya itu merusak momen. Jadi pasti semua foto yang dia ambil akan sangat-sangat natural dan sesuai dengan emosi yang berusaha ia abadikan pada saat itu. Anehnya, ia belum mencuci satu film pun. Semuanya tersimpan berjejer di atas nakas samping kasurnya.

"Aku takut saja," jawabnya.

Keningku mengkerut. "Takut kenapa?"

"Takut jika aku melihat foto-foto itu, aku akan semakin berharap situasinya akan kembali terulang di masa depan." Asahi terkekeh pelan sambil menatap ke luar jendela. Melihat burung bertengger di kabel dan kemudian terbang bersama. "Tapi kita semua tau kalau itu tidak mungkin. Beberapa orang di foto yang kuambil saja sudah tidak ada."

Aku tercenung usai mendengar penuturan itu. Ada masa ketika aku terpaku melihat anak-anak berseragam sekolah berlarian melintasiku. Deru angin yang mereka kibaskan begitu kuat, penuh nyawa, dan menghantarkanku pada perasaan yang aneh. Perasaan yang menyajikan segala bentuk kebahagiaan masa muda yang kuharap berlangsung untuk selamanya. Ada masa ketika aku tertawa begitu lepas, begitu bebas, begitu leluasa, sampai rasanya perutku mau meledak, tapi di satu sisi aku mengasihani masa depanku yang entah ada atau tidak.

Dalam momen-momen bahagia, aku pikir aku akan hidup untuk selamanya. Dalam momen-momen menyakitkan, aku pikir aku hanya akan bernapas sampai besok.

"Mungkin nanti kalian saja yang cuci." Asahi menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan sendiri. "Mungkin kalian bisa lihat fotonya kalau aku sudah berhasil melihat matahari terbit."

Ah benar. Aku lupa ada keinginan itu dalam dirinya. Keinginan yang terus melekat seperti detak jantung.

---

Aku tidak tahu menahu soal apa yang berlaku selama aku tidak keluar kamar dua hari kemarin, tapi sepertinya Jeongwoo dan Jaehyuk terlihat tidak nyaman satu sama lain. Biasanya mereka bertingkah seolah-olah mereka adalah kakak beradik yang terlahir dari rahim yang sama. Aku bahkan mulai berpikir kalau keduanya mungkin memang bersaudara di kehidupan sebelumnya. Tapi hari ini Jeongwoo dan Jaehyuk seperti dua orang asing. Yang satu duduk menulis buku di meja resepsionis, dan satunya lagi hanya berjalan-jalan tak tentu arah dari pagi.

if you could see the wind ✓Where stories live. Discover now