Cerpen 1. Penyesalan!

19 10 21
                                    

Di dalam kesunyian yang meliputi pikiran, deru napas yang terdengar kasar di tengah tingginya rumput ilalang. Aku termerenung melihat sepasang kekasih sedang bersenda gurau di sepanjang jalan. Gelak tawa yang terdengar, sesekali jerit kegirangan memekik, perlahan wanita itu berlari mendekat disambut bahagia.

"I love you!" teriaknya merasuki indra pendengaranku.

"Aku lebih mencintaimu," balasnya dengan mencubit hidung wanita itu hingga merengek manja.

Telapak kaki mulai terdengar beradu, menjelajahi jalanan panjang ini. Sepasang kekasih itu berjalan beriringan dengan bergandengan tangan.

"Mereka sangat romantis," aku berucap lirih dengan menatap hampa.

"Apa kita tidak seromantis mereka?" Samar-samar terdengar suara, entah itu jawaban atau pertanyaan. Aku beralih menatap ke samping mencari sumber suara itu, sebuah wajah yang begitu sangat aku rindukan, menatap dengan penuh cinta.

"Kamu di sini?" Hatiku yang resah mulai menghangat.

"Kenapa kamu memperhatikan mereka?" Lagi-lagi suara lembut itu bagaikan berirama di gendang telingaku.

"Entah kapan kita bisa seperti mereka lagi? Menikmati alam bebas nan terbuka."

"Kita pasti bisa melewati ini semua, aku yakin itu." Terlihat senyum merekah yang terbit di bibir manisnya, namun, berbalut getar pilu.

"Kamu tidak akan meninggalkan aku, bukan?!" Entah kenapa keresahan kembali menyusuk relung hatiku.

"Aku akan selalu di sampingmu, tenang saja," balasnya tak mampu membuat hatiku tenang, aku masih merasakan ketakutan yang teramat dalam.

Aku mengutuk kebodohanku sendiri, menyesali perbuatanku, meskipun aku tahu, penyesalan tiada gunanya. Benar kata pepatah penyesalan itu selalu datang dari belakang.

"Ngapain kamu disana?" Sebuah seruan yang terdengar begitu sangar, hampir memecahkan gendang telingaku.

Aku tidak menggubris, terus kutatap wajah di hadapanku tanpa berkedip. Hingga sebuah tongkat yang cukup panjang mendarat di punggungku.

"Menggaggu saja!" gumamku beralih menatap tajam yang dibalas tajam pula.

"Apa kau tuli, hah?"

"Kamu mengganggu aku dan kekasihku!" Gelak tawa mulai pecah seolah tawa mengejek, diikuti oleh beberapa raga lainnya yang menghentikan aktifitasnya memotong rumput.

"Apa kau sudah tidak waras, hah?" Bentakan lagi yang diiringi tepukan keras kembali mendarat di kepalaku, aku sedikit meringis kemudian kembali menatap kekasihku yang masih senantiasa tersenyum, namun senyum itu lagi-lagi dibalut getir pilu.

Aku benci senyum seperti itu. Hingga pandanganku mulai berkunang-kunang, kepalaku terasa berat, dan semuanya menjadi gelap.

"Kamu baik-baik saja? Aku sangat cemas!"

"Aku baik, asalkan kamu selalu di sampingku!" Hatiku lega di saat melihatnya disisi aku.

"Lihatlah aku selalu di sampingmu, bukan!"

"Aku sudah tidak sabar akan menikahimu." Senyumku merekah disaat mengingat bagaimana aku melamarnya di hadapan ibunya, yang akan berjanji membawa orang tuaku secepat mungkin ke rumah mereka. Aku begitu bahagia saat ibunya merestui kami, begitu pun keluarganya yang sangat terbuka padaku. Akhirnya tidak sia-sia perjuanganku untuk mendapatkannya.

"Setelah Nak Andar bawa Orang tuanya kemari, acara pernikahan akan dilangsungkan setelah idhul adha nanti." Wanita paruh baya berucap dengan senyum merekah.

"Iya, Bu. Setelah Andar pulang, Andar akan menceritakan ini pada Ayah/Ibu!"

"Iya, Ibu juga akan memberitahu Ayah Jumri setelah kembali dari luar kota."

Kedua sejoli itu tersenyum bahagia.

Namun, wajah kekasihku terlihat berubah murung, manatapku penuh iba. Hatiku kembali resah.

"Sembuhlah dulu." Kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya hingga ia menghilang entah kemana.

"Sayang, jangan tinggalkan aku!" teriakku menggema.

"Hei, bangun!" Perlahan terasa sebuah tangan menepuk pipiku berulang kali.

Aku terbangun, tanpa kutahu di mana aku sedang berada. Sebuah valpon bercat putih dan ruangan yang juga bernuansa putih, aku bangun dan sedikit meringis kala mendapati sebuah benda kecil yang tertancap di punggung tanganku, rupanya aku berada di sebuah kamar rumah sakit.

"Apa anda mimpi buruk?" tanya seorang wanita yang menggunakan seragam serba putih.

Aku mengangguk bodoh, apa barusan hanyalah sebuah mimpi? Tentu bukan, itu kisahku dan kekasihku sebelum aku ditarik paksa oleh seorang pria berbaju coklat waktu itu.

Sebuah ringisan kecil kembali keluar dari mulutku, disertai darah di punggung tanganku, aku berjalan sempoyongan keluar dari ruangan itu, setelah wanita berseragam putih itu pergi.

Namun, langkah kaki ini terhenti, saat tatapanku menangkap objek yang begitu aku rindukan sedang berjalan lemah dengan rintihan kesakitan memegang perut, hatiku terasa ingin terbang mendekat, berlari penuh cinta untuk merangkul berbagi rintihannya.

Namun, samar-samar seseorang berlari mendekapnya penuh cinta.

"Tidak, seharusnya aku yang berada di posisi itu, mendekap dan memberinya kasih sayang yang dibalut cinta tulus!"

Namun, realitanya tak seperti ekspestasiku.

Masa terkelam dalam hidupku telah aku rasakan. Di mana kala hari itu kekasihku datang dengan mata merah bagaikan biji saga, jantungku berdegup kencang melihatnya seperti itu, apalagi di saat ia mengucapkan kalimat yang bagitu menikam hatiku, bagaikan seribu anak panah yang menerjangku. Sakit dan perih kurasakan.

Aku meraung meluapkan segala kekesalanku, kemarahanku pada tembok-tembok yang telah kusam. Hal ini yang kutakutkan meskipun aku sudah memprediksinya.

Perlahan pria itu membawanya berjalan mendekati tempatku berpijak, entak kenapa kaki aku begitu ringan menyembunyikan tubuhku di balik tiang rumah sakit.

"Payah! Kenapa aku sepengecut ini? Untuk apa bersembunyi? aku tau dia tidak akan mengenaliku."

Tubuh yang gagah sudah berubah kurus kering, yang di tumbuhi bulu-bulu kasar di area daguku.  Entah berapa tahun lamanya, aku baru keluar dari bangunan yang dipenuhi manusia-manusia yang berpikir dangkal, sepertiku.

Terkurung di balik ruangan yang dikelilingi besi, menikmati sepi dan dinginnya lantai keramik tanpa beralaskan kasur itu. Menikmati keseharian dengan menuangkan pedihku di secercak kertas bungkus rokok dan sebatang pena yang sebentar lagi akan habis tintanya. Setelah itu apakah kisahku akan selesai?

Aku tidak menyalahkan kekasihku, sampai kapan dia akan bertahan dan menunggu, Orang tua mana yang mengijinkan anaknya menjalin hubungan dengan seorang narapidana. Aku merutuki kebodohanku, karenanya aku harus kehilangan cintaku, kepercayaan orang tuaku, dan kebebasanku. Aku menyesal, benar-benar menyesal. Andaikan bisa kuulang waktu, aku tidak akan pernah bermain-main dengan bubuk putih sialan itu. Andai berandai, namun, semuanya hanya andaikan.

Jadikan sebuah pembelajaran!

Thankyou ❤

Semoga Syuka ❤

Jangan lupa vote, komen 😘

Kisah CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang