1 - Flashback

271 22 40
                                    

Sebuah mobil berhenti di lingkungan asri yang dikelilingi oleh pohon tinggi dan rindang. Suasananya sejuk, cocok sekali jika dinikmati dengan sekotak pop mie atau mie kuah yang diberi telur mata sapi setengah matang. Begitu kata Malik dan dua orang teman dari studio foto tempat ia bekerja saat dalam perjalanan tadi.

Malik tidak bisa tidak setuju ketika melangkahkan kakinya keluar dari mobil dan terpana dengan pemandangan sekitar. Tempat yang pas sekali untuk mengabadikan momen pre wedding para calon pengantin.

Setelah menyalakan rokoknya beberapa detik setelah turun dari mobil, Malik meletakkan rokoknya di mulut lalu ikut membantu Jose dan Brandon menurunkan peralatan memotret mereka hingga barang pribadi masing-masing.

"Hoi!"

Malik menoleh, menganggukkan kepalanya kepada Angga yang sudah tiba di lokasi pemotretan sejak kemarin sore.

"Cepat juga lo pada nyampai." ujar Angga sambil membantu Malik menurunkan koper.

"Kalau Jose yang bawa mobil, enggak usah lo raguin." canda Brandon lalu pergi lebih dulu untuk membawa kamera serta alat lainnya ke arah villa. Lelaki itu kemudian berhenti dan menoleh, "Ini villa isinya kita semua kan, Ngga?"

"Yoi. Enggak usah bingung, tinggal lurus aja." jawab Angga.

"Ramai?" tanya Malik yang akhirnya bersuara lagi.

"Lumayan. Ada sahabat-sahabatnya si pengantin cewek terus beberapa keluarga. Bukan lumayan lagi sih."

"Make up artist udah datang?" tanya Jose.

"Udah juga. Tapi mulainya kan besok pagi. Kata mereka, hari ini kita bisa nikmatin aja." balas Angga.

Ketiganya pun mulai meninggalkan mobil dan berjalan menuju arah villa. Angga tidak bohong ketika ia berkata bahwa tempat itu lumayan ramai. Sebab ketika mereka sudah mulai memasuki area rumahnya, memang terdengar riuh-riuh serta canda tawa dari dalam satu rumah. Sepertinya itu rumah yang dikhusukan untuk keluarga pengantin.

"Emang paling asik kalau klien kita kaya. Kita juga ikut kena rezekinya." Jose tiba-tiba berkomentar, membuat Malik dan Angga tertawa setuju.

"Lo enggak sibuk, Lik? Enggak ada project lain?" tanya Angga.

Malik menggeleng, menghembuskan asap rokoknya. "Udah kelar kemarin, makanya bisa ke sini."

Jose mengibaskan tangannya. "Ah, lo, Lik! Udara cantik gini malah disebarin polusi." ujarnya berdecak.

"Alah, gaya. Enggak lama lagi juga lo ikut menyebarkan polusi." balas Malik.

"Lagian enggak bisa tahan sebentar apa. Duduk dulu kek baru sebat." kata Angga.

Malik terkekeh lalu membuang puntung rokok dan menginjaknya. "Iya, iya. Gue buang nih."

"Enggak bakalan ada dalam sejarah, Denzel Malik berhenti merokok." ujar Jose dan Angga mengangguk setuju.

"Mas,"

Malik, Jose, dan Angga berhenti melangkah ketika suara seorang perempuan—yang terdengar seperti sebuah teguran itu—membuat ketiganya membalikkan tubuh.

Perempuan itu memungut sampah puntung yang Malik buang tadi dan berjalan mendekati Malik. Tanpa mengatakan apa pun, ia mengambil telapak tangan Malik dan meletakkan puntung rokok tersebut di sana.

"Kalau merokok, tanggung jawab dong. Jangan malah orang yang bersihin sampah puntungnya." katanya tegas lalu pergi begitu saja setelah melirik Malik dengan sebal.

Selama beberapa saat, Malik dan kedua temannya sama-sama terdiam. Terlalu terkejut karena pertama kali ditegur seperti itu oleh seseorang—dan perempuan pula.

Dissonance: Coffee, Books & SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang