MENUR DAN PRIANGAN.

27 2 0
                                    


ᅠ ᅠ VRIEND, 1909.

Pagi menyuguh sabda-sabda penyair kampung yang beraksi di atas batu kali, ditemani kicau-kicau burung uncuing dengan semilir aroma nasi dari dandang yang bercangkung di atas suluh setengah padam. Tembangnya selalu berisi anomali, atau curahan yang betah mampat di ulu hati.

Sejauh abad ini, haparan Priangan merajai seperenam tanah Jawa. Sisi Timur berbatasan dengan Banjoemas dan Tjirebon, kalau Utara jelas dengan Keresidenan Batavia, sedangkan area Selatan bertepi dengan Samoedra Hindia.

Mata penghidupan rakyat Priangan bermula di tanah ladang milik para londo yang menamai diri mereka sebagai Preanger Planters. Selain kopi, mereka juga pergi ke Onderneming kina, karet, kelapa, cokelat, serat nanas, lada, dan teh. Lantas barulah sebagiannya mengais kemujuran dalam bersawah.

“Menur! Menur!”

Anak-anak berhambur dari jalan setapak di petak kebun teh milik Juragan Bosscha, padahal matahari belum menyetubuh Pangalengan dengan utuh. Mereka mengenakan baju serupa, dibalut celana pangsi yang hanya boleh ganti tiga hari sekali. Septa, Wawan, dan si bungsu perempuan; Suni.

“Menur!”

Suara itu bergema lagi, lantas yang dipanggil namanya mau tak mau harus keluar sebab takut Mak Awung marah perkara kawannya berisik di pagi buta. Namanya Menur, anak perempuan cantik berkepang dua Indo-Eropa yang diasingkan jauh sebab Ibunya──Enok adalah seorang moentji, dan pasukan KNIL yang memelihara Enok tak mau mengakui Menur.

Sebenar-benarnya, anak hasil pergundikan lelaki Belanda dan seorang Nyai bernasib amat sial, musabab derajatnya tak akan pernah setara dengan bangsa kulit putih, tidak pula bisa masuk ke dalam ranah Pribumi. Mereka-mereka adalah penghuni neraka sebelum mati.

“Ada apa? jangan berisik, Mak Awung nanti marah!”

“Ada teman baru, dari Dayeuh!”

“Teman baru siapa?”

“Tidak tahu! ayo kita lihat!”

Septa menarik tangan anak perempuan tujuh tahun itu buru-buru, lalu tanpa diminta Menur mengajak Suni dalam genggamnya begitu erat. Kata Menur, Suni lambat sekali! kalau tertinggal mereka kepalang malas untuk menyusul, apalagi kalau harus ngakod tubuhnya yang gempal dan banyak makan.

“Aku lupa tidak pamit pada Mak Awung! celaka!”

Menur berhenti di pengkolan menuju jalan besar, matanya melotot!

“Sudahlah kita tidak akan lama!”

Wawan menimpali, lantas mereka kembali lari menuju sebuah rumah yang Menur kenal betul siapa pemiliknya.

“Ini kan rumah Mang Puja. Memang dia tinggal disini? Mang Puja saja tidak pernah pulang!”

“Kau berisik sekali Menur, sudah kita panggil saja! punteeen! punteeeen!”

Septa mengetuk-ngetuk, berisik sekali seperti hendak cari perkara. Memantik penasaran Menur──sedangkan Suni hanya manggut-manggut sambil menaik-naikkan samping batik untuk mengelap ingus.

“Cari siapa?”

Seorang anak lelaki keluar, tingginya hanya sebaris manik anak angkat Mak Awung. Kulitnya putih, saat bicara terlihat gigi-gigi jagung berbaris rapi.

“Jadi teman kita mau tidak? kudengar kau pindahan dari Dayeuh. Apa benar? “Kau pindah naik apa? namamu siapa?” Dua anak lelaki itu bertanya sarat ketidak-sabaran.

“Pelan-pelan! dia akan bingung!”

Menur membela, sedangkan yang ditanya hanya mesem-mesem saja.

MENUR DAN PRIANGAN.Where stories live. Discover now