Letter For God (1)

1.1K 148 87
                                    

Malam ini terasa begitu dingin, ditambah dengan rintik-rintik hujan yang jatuh membasahi bumi membuat siapa saja pasti akan malas untuk keluar dan lebih memilih untuk berdiam diri di dalam rumah dilengkapi dengan selimut tebal yang akan menghangatkan tubuh di temani dengan secangkir coklat hangat pasti akan terasa nyaman sekali. Namun nampaknya hal itu tak berlaku untuk dua anak kecil yang tengah berteduh di salah satu halte bus yang terlihat sudah sangat sepi karena waktu saat ini sudah menunjukan pukul 09.00 malam.

"Kak, dingin banget hujan nya ga mau berhenti," lirih si anak yang lebih kecil dengan tubuh yang bergetar akibat rasa dingin yang seakan-akan menusuk sampai ke tulang.

"Adik sabar ya, sebentar lagi hujannya pasti berhenti terus kita bisa pulang," sahut sang kakak seraya memeluk tubuh si kecil yang bergetar.

"T-tapi uang kita masih kurang, kalau uangnya kurang nanti kita dipukul, Acel ga mau dipukul lagi sakit kak."

Mendengar hal itu, sang kakak langsung terdiam sejenak.

"Kak, s-sakit.." ringis si adik kecil seraya menekan area dadanya.

"Adik sabar sebentar ya, obat adik abis, kalau minta pak Santoso bisa di marahin. Adik pasti bisa nahan sesaknya, kakak udah ajarin 'kan? Bernapas pelan-pelan ya, kak Digta bantu usap," sang kakak yang sepertinya bernama Digta itu mengusap-ngusap dada sang adik dengan penuh kelembutan.

"Acel mau pulang.. dingin kak," lirih si anak yang memanggil dirinya Acel itu atau lebih tepatnya anak kecil tersebut bernama Arsel. Terlihat air mata yang menetes di pipi tirusnya membuat sang kakak lagi-lagi terdiam.

Namun tak lama dari itu, Digta beranjak dari duduknya. Ia melepas kaos lusuh yang satu-satunya membalut tubuh kurusnya lalu memakain kaos lusuh tersebut pada tubuh ringkih sang adik yang kini tengah bergetar hebat diiringi dengan dadanya yang naik turun tak teratur.

"Adik tunggu disini ya, kakak lanjut cari uang tambahan biar bisa cepet pulang dan ga kena pukul pak Santoso," ucap sang kakak seraya mengusap lembut kepala sang adik.

"T-tapi kak Digta ga pake baju, nanti sakit.. Acel ga mau kalau kak Digta sakit.." sahut si kecil lirih.

"Kakak ga akan sakit, kakak kan kuat! Udah ya adik tunggu disini, mumpung sekarang udah lampu merah. Jangan kemana-mana ya, tunggu kakak."

"Um!"

Setelah itu sang kakak berlari kecil menuju lampu merah yang mulai dipenuhi oleh mobil maupun motor, sedangkan sang adik duduk di halte bus sembari memperhatikan sang kakak yang menyanyi-nyanyi kecil dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya untuk mendapatkan uang atau sekedar belas kasih mereka orang-orang kaya. Pengamen, satu kata yang menggambarkan kedua anak ini.

Digta dan Arsel adalah adik kakak kandung yang sudah tidak memiliki orang tua. Mereka terlahir bukan dari keluarga kaya raya dan juga orang tuanya tak memiliki sanak saudara di kota besar ini. Dulu meskipun tak punya uang dan hanya bisa makan sebungkus nasi untuk bersama-sama tapi Digta maupun Arsel sangat bahagia karena mereka sangat di cintai oleh kedua orang tuanya.

Hingga suatu hari gubuk mereka satu-satunya tempat tinggal mereka hangus terbakar beserta kedua orang tuanya yang ikut di lalap si jago merah yang begitu ganas tersebut kehidupan dua anak kecil ini semakin kacau. Karena sudah tidak memiliki siapapun lagi jadilah mereka luntang lantung di jalanan, mencari makan dengan belas kasihan orang lain, padahal umur Digta masih 10 tahun dan Arsel 7 tahun.

Orang-orang di sekitar yang merasa kasihan pun ingin membawa Digta maupun adiknya ke panti asuhan saja namun sayangnya Digta menolak keras karena panti asuhan tersebut hanya bisa menarima satu anak saja dan anak yang lainnya akan di titipkan ke panti asuhan yang lain, itulah kenapa Digta menolak untuk di titipkan ke panti asuhan hingga memilih untuk menggantungkan hidupnya pada jalanan.

Letter For God [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang