« 00 - Kaset Pita »

411 64 114
                                    

Gadis bernetra legam itu termangu, menatap kosong berderet lampu jalan yang  per satu lesap dari penglihatan. Hela napas berat memunculkan setitik embun pada permukaan keras tembus pandang di sisi kirinya.

Sekian jauh menghindar, mengapa dirinya harus kembali ke kota ini lagi?

Satu-satunya tempat yang tak ingin lagi ia datangi.

Atensinya kini terarah pada pada cincin perak yang tersemat di jari manis tangan kiri, menatap lamat ukiran nama Dhara di sana. Ia mengelus pelan ukiran nama tersebut.

Sebuah cipratan cairan merah yang mengenai rok putih gadingnya, kontan membuyarkan lamunan gadis itu.

"Aduh. Maaf, ya." Tampak seorang siswi sekolah menengah itu langsung menutup botol sodanya dan menyambar secarik tissue dari dalam tas, menggunakannya untuk mengelap noda merah itu.

"Mampus. Siap-siap aja ganti rugi," kompor seorang lelaki di belakang gadis itu, sepertinya mereka tadi naik bis bersama.

"Eh, nggak perlu." Dhara menggeleng pelan. "Cuma noda biasa. Nggak apa-apa."

"Sekali lagi, maaf, ya." Siswi itu sedikit membungkuk sebagai permintaan maaf, lantas melangkah menuju kursi belakang bis yang masih kosong.

"Makanya, kalo minum jangan sambil jalan, apalagi di bis. Oleng dikit tumpah ngenain orang, kan?"

"Nyenyenye."

Kedua sudut bibir Dhara tertarik mendengar percakapan dua remaja tersebut.

"Lo tuh kalo dibilangin nurut gitu lho."

"Baiklah, Bapak Raka yang terhormat."

"Apa sih, boneka mampang. Masih tuaan lo juga."

Senyum simpul yang semula tergurat di wajah Dhara seketika pudar, begitu nama itu terdengar olehnya. "Raka." Suaranya terdengar getir ketika menggumamkan nama itu.

Nama yang sosoknya kini tak pernah terlihat lagi, bagai hilang ditelan bumi.

Tanpa disadari, setetes cairan keluar dari pelupuk matanya. "Sialan. Perkara lo yang lost contact doang, sampe gue nangis gini," rutuknya pada foto salah satu pemuda dengan tahi lalat pada dagu kiri--dari tujuh orang--yang tampak tersenyum lebar di lock screen ponselnya. "Kemana aja sih lo?"

"Woi, tolongin!"

Gadis itu tersentak begitu mendengar teriakan itu dari luar, trotoar di dekat halte bis. Dari balik jendela bis--yang kebetulan berhenti sejenak saat itu--tampak beberapa pria paruh baya memapah seorang lelaki berjaket abu duduk di bangku panjang halte. Cairan merah megalir dari lutut kanannya.

"Astaga." Dhara bergegas turun dan menghampiri begitu mengetahui lelaki yang kakinya terluka itu adalah orang yang dikenalnya.

"Kak Gavin."

Lelaki berjaket abu itu menoleh. "Ra," gumamnya.

Dhara dengan segera berlutut di depan Gavin, memindai sekilas luka di lutut laki-laki itu. "Sebentar." Ia merogoh ranselnya, mengeluarkan sebotol air dan pouch plastik berukuran sedang--berisi perban, obat merah, dan benda-benda lain yang mungkin berguna di saat tak terduga seperti ini. "Kok bisa luka gini sih, Kak?" tanyanya setengah mengomel.

Meski begitu, ia tetap merawat luka di lutut laki-laki itu dengan telaten.

"Kapan sampai?"

Dhara mendongak, usai menutup luka tersebut dengan perban. "Jawab dulu pertanyaanku."

"Masih ngotot juga ternyata." Lelaki itu menepuk pelan sisi bangku yang kosong di kanannya. "Duduk sini."

Gadis itu menurut. Ia menyamankan duduk pada tempat yang semula ditunjuk Gavin. Tak berselang lama, sebuah notifikasi muncul pada layar lock screen ponselnya. Berisi keterangan bahwa paket yang dipesannya--melalui toko online--telah diantar ke tujuan.

LOST, MAYBE?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang