Bab.1 The Beginning

114 15 15
                                    


Ubud, Bali.

Wina menapaki kakinya di daerah pemakaman umum setempat. Ia terheran kala netra cantik itu melihat seorang laki-laki sedang berdoa di sebelah makam yang ia tuju dan bersamaan dengan buket bunga Lili putih yang sama dengan yang ia bawa.

"Permisi, kamu siapa ya? Kenapa ada di makam Ayah saya," tanya Winna bertubi-tubi.

Laki-laki itu langsung menoleh ke arah Winna kemudian berdiri menghadap gadis itu. Kesan pertama yang Winna tangkap ialah urakan. Rambut gondrong gaya wolfcut, kaus oversize dengan robekan di beberapa tempat dan jeans yang juga robek, membuatnya tampak urakan tetapi jika boleh jujur tampilan ini tak membuat kadar ketampanannya tak berkurang sama sekali, justru tetap terlihat menawan. Berbeda sekali dengannya yang terlihat rapi, memakai gaun panjang hitam selutut dan rambut yang meski tergerai tapi tetap rapi.

"Lo Winna kan? Gue Calvin anaknya Bapak," jawab Calvin, membuat dahi Winna mengerut. "Anak angkatnya Bapak" tambah Calvin meluruskan.

"Calvin yang di Amerika itu ya." Winna mengangguk. "Ayah sering cerita cuma saya gak pernah lihat foto kamu, kamu juga gak dateng ke pemakaman Ayah."

"Sorry saya juga baru mengetahuinya beberapa bulan setelah Bapak udah gak ada," sesal Calvin yang mulai memakai bahasa formal untuk mengimbangi Winna.

"Saya paham kok, terima kasih masih mau dateng ke sini."

"It's okay, rumah Bapak udah jadi kampung halaman buat gu- ehm saya."


Bibir Winna menipis, sedikit menertawakan Calvin yang mati-matian menjaga keformalan tata bahasanya. " Saya terlalu formal ya, maaf saya gak tahu kamu umur berapa takutnya lebih tua jadi..."

"Kita seumuran kok jadi gak usah formal-formal amat sama gue," potong Calvin membuat dahi Winna berkerut lagi. "Bapak yang cerita kalo kita seumuran jadi gak usah formal banget ya ngomongnya."

Winna mengangguk lagi, ia melewati Calvin untuk berjongkok di samping makam sang Ayah. Bunga di tangannya ia letakan tepat di sebelah bunga yang diletakan Calvin. Setelah berdoa Winna bangkit dan terlihat ingin pergi dari tempat itu.

"Lo udah mau pergi?" tanya Calvin yang masih berjongkok di sebelahnya.

"Iya."

"Kenapa?"

"Aku gak suka kuburan. Kenapa? Kelihatan kayak anak durhaka ya karena gak mau lama-lama di makam Ayahnya."

"Enggak, enggak gitu," Calvin kembali bangkit dari jongkoknya dan berdiri lagi tepat di hadapan Winna, malahan jarak mereka kali ini lebih dekat membuat gadis itu sedikit mundur.

"Gue pikir lo gak lama karena gak nyaman sama gue, jadi biar gue aja yang pergi kalo lo masih mau di sini."

"Aku emang gak sedeket itu sama Ayah, mungkin karena jarang ketemu. Jadi ada kamu atau gk ada kamu gak ngaruh sama sekali." Kini giliran Calvin hanya mengangguk dan langsung memberikan jalan untuk Winna lewati.
Winna pergi setelah berpamitan kepada Calvin. Tujuan kali ini adalah rumah sang Ayah tempat yang dulu pernah ia tinggali dan tempat ia merawat ayahnya sebelum meninggal. Ayahnya memang seniman sejati tak ada hari yang ia habiskan tanpa melukis. Masih teringat betul sang Ayah meninggal setelah menyelesaikan lukisan terakhir di studio milik Ayahnya yang terletak di sebelah rumah itu.

Bagaimana keadaannya sekarang ya pasti sangat berdebu, batinnya ketika sudah sampai di depan rumah. Rumah yang sederhana namun memberikan kesan nyaman dan aman, tapi karena sudah lama tidak di tinggali pasti dalamnya sangat berdebu, sedangkan Winna alergi parah terhadap debu.

"Tenang rumahnya udah gue bersihin kok, lo alergi debu kan," ungkap suara dari arah belakang Winna, yang tak lain adalah Calvin.

"Kamu ngikutin aku?"

you're My Savior Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon